Kamis, 05 Mei 2011

Gubernur ‘Layak Jual’

Oleh Azwir Nazar
SIAPA calon gubernur yang saleable (layak jual) untuk Aceh 2011 menarik untuk didiskusikan. Pertama, menyangkut masa depan Aceh 5 tahun mendatang. Kedua, banyaknya kandidat yang muncul. Baik secara terang mengumumkan akan maju, maupun yang masih malu-malu tapi terus melakukan soft compaign.

Pertanyaan ini penting dimunculkan. Bukan saja bagi masyarakat Aceh yang (mungkin) mengalami “kebingungan” untuk memilih. Melainkan harus pula disadari oleh kandidat, layak tidakkah ia mencalonkan diri. Demi mengetahui posisioning dan diferensiasi kandidat atau partai di mata publik. Cukup berintegritaskah, baik dalam hal identitas maupun citra kandidat. Atau hanya sampah yang “didaur” ulang. Istilah klasiknya, peng jameun, han lagoet lee.

Menjadi calon gubernur memang hak asasi dan dilindungi konstitusi. Sama halnya hak politik lain sebagai warga negara dengan ketentuan dan syarat yang berlaku. Baik melalui calon perseorangan, maupun jalur partai. Apalagi dalam iklim demokrasi yang sedang kita rajut dan bangun bersama pascadamai di Aceh. Yang pasti, adagium jangan kalah atau menyerah sebelum bertanding mesti diakomodir. Walau, ongkos politik menuju kursi Aceh 1 tidaklah murah. Begitupun halnya pemilih, harus benar-benar mengetahui calon mana yang layak untuk dipilih atau kita “beli” untuk memimpin Aceh mendatang.

Political marketing
Dalam konsep dasar political marketing, bicara produk politik biasanya dirumuskan dalam 4 hal. Yaitu, person, party, policy dan presentation. Pertama, person. Bicara tentang orang. Bagaimana memasarkan seseorang. Kalau kita berkaca dari Pemilu 2009 lalu, bagaimana SBY begitu penting. SBY tidak saja mempengaruhi Demokrat, partai yang didukungnya. Tapi figur SBY juga memengaruhi yang lain, yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengannya. Ketokohan SBY saat itu sangat saleable (layak jual) bila dibanding calon presiden lain.

Nah, kalau di Aceh, siapa kira-kira dari para kandidat gubernur sekarang yang memiliki modal itu? Punya kharisma untuk diomongin sampai di pelosok dan sudut gampong. Tentu, yang dibicarakan adalah hal-hal positif. Figur yang layak digantungkan harapan perubahan.

Kedua, party, kita boleh punya partai yang luar biasa, atau menang besar dalam pemilu legislatif. Tapi di hadapan pemilih yang menginginkan ada figur yang membuat mereka tertarik untuk memilih, maka partai tidak ada arti apa-apa. Apalagi potret figur yang selama ini muncul, sangat mengecewakan, dan tidak mampu mengemban amanah rakyat. Jadi, wajar bila ada yang “membelot”, memunculkan kandidat lain. Di sinilah ketakutan partai politik dominan untuk menjegal calon independen. Sebab bila muncul lebih dari satu calon dari basis yang sama, akan sulit menggapai kemenangan.

Ada juga partai, memang tidak mengandalkan figur. Namun, mereka harus siap dengan konsekuensi bahwa mereka harus membina basis dukungan partai dengan cara yang lebih keras. Dengan ihktiar yang lebih kuat. Depersonalisasi lebih tegas. Memutuskan kecendrungan personalisasi. Jadi, network lebih penting. Menjual person tidak perlu pakai network. Seperti multi level marketing, kita terjerat dalam suatu sistem, sehingga kita terus mengomongkan seseorang.

Ya, dari mulut ke mulut. Jadi, konsekuensinya memperkuat partai adalah memperkuat jaringan. Bertumpu pada figur orang, itu akan berbeda. Partai harus punya network yang kuat. Basisnya tidak boleh keropos. Ketiga, policy, yaitu platform, orientasi dan lain-lain. Di Indonesia seringkali tidak dianggap penting. Dulu, PAN adalah partai yang ingin mempelopori sebagai partai yang berbasis platform. Jadi, mereka tidak saja menjual Amien Rais sebagai figur, tapi juga platform yang luar biasa. Malah saat itu, platform digodok bersahaja bersama para tokoh nasional. Semakin lama produk itu ada, maka semakin jelaslah posisioning dan diferensiasi partai itu.

Tiga produk tersebut harus dibungkus. Itulah yang keempat disebut presentasion. Dalam konteks political marketing, maka presentasi adalah branding, atau citra. Produknya terbatas, tapi dibungkus dengan kualitas branding yang hebat. Seperti air minum, yang kita masukkan dalam botol yang berbeda. Produknya sama, tapi karena kemasan yang berbeda, kita ciptakan branding dengan class yang berbeda. Artinya, kita mementingkan branding. Identitas dan integritas menjadi tidak penting. Menurut Eep Saifollah Fatah, pendekatan political marketing yang berlandaskan citra saja, hanya 1/3 dalam political marketing.

Presentasi harus membungkus kualitas produk tertentu. Kadang-kadang produk yang mau dijual adalah bagus, tapi presentasi yang buruk. Presentasi produk jadi tidak berguna. Sebaliknya, produk jelek, bungkusnya bagus, orang akan terpengaruh.

Jadi 4 bagian produk ini sangat penting untuk dikemas. Mengemas presentasi bisa pakai cara instan dan mudah. Tapi, mengemas keseluruhan produk ini tidak bisa instan. Butuh proses dan kerja keras. Itu bedanya. Mengemas presentasi cukup dengan melakukan pencitraan, lewat serangan udara. Iklan yang banyak, membagikan kalender di warung-warung kopi, TV, atau media cetak. Tapi pada saat yang sama presentasi itu tanpa dikaitkan dengan produk yang lain, tidak akan banyak gunanya.

Sisi lain, adalah faktor etika. Budaya masyarakat yang masih terpengaruh dengan money politic, intimidasi dan kekerasan. Sepatutnya, kandidat gubernur atau partai yang memilih jalan ini harus dilawan. Menghalalkan segala cara untuk menang adalah sangat keji dan pembodohan sistemik. Politisi busuk tidak layak memimpin kita. Rakyat Aceh harus melihat perubahan diri sendiri sebagai tumpuan perubahan, bukan mengharapkan perubahan itu datang dari atas. Salah satunya adalah dengan cara memilih pemimpin yang benar, dengan cara-cara yang benar. Mengetahui benar kandidat atau partai berikut programnya. Track record perlu dilihat dan dipertimbangkan. Jangan asal pilih. Lalu rugi 5 tahun mendatang.

Menjadi saleable yang tak kalah penting juga untuk calon gubernur Aceh adalah ia harus diyakini oleh banyak orang mampu mempertaruhkan nilai-nilai kebenaran, keterpercayaan, dan kejujuran. Selain memiliki modal intelektual, modal kultural dan modal simbolik, berupa status dan prestise yang baik di tengah masyarakat. Melihat realitas calon yang muncul, saya pikir semua masih memiliki peluang. Tidak ada yang terlalu dominan satu dengan yang lain.

Kalau merujuk hasil survei beberapa lembaga, seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), beberapa nama muncul dengan rating tinggi. Tapi survei itu juga memiliki kekurangan, Misalnya pada sampling error-yang diambil. Jangan heran bila hasil satu lembaga dengan lain jadinya berbeda. Hasil survei memang sedikit banyak memengaruhi psikologi pemilih atau menggiring pemilih pada kandidat tertentu. Tapi belum tentu orang yang memilih dalam survei itu akan memilih dalam pilkada. Sebab riset politik lebih complicated dibanding riset pasar.

* Penulis adalah mahasiswa S2 Komunikasi Politik UI. Sekjen Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta

Tulisan ini dimuat di rubrik OPINI Harian Serambi Indonesia, 20 April 2011.