Sabtu, 26 Maret 2011

Aku Hanya Dikalahkan

aku hanya dikalahkan
oleh mata yang buta
aku bukan kalah
tapi aku tidak punya kesempatan untuk membela

aku bukan menyerah
tapi aku tidak mau ada luka
apalagi darah!
aku bukan takut
tapi aku hanya menurut

aku bukan marah
biar saja semua seperti tiada
anggap saja ini biasa
karena akupun tak mau terpenjara

aku hanya dikalahkan
oleh tuntutan yang tidak berdasar
oleh dusta yang mengatasnamakan
oleh jiwa kerdil yang merajai

Aku hanya dikalahkan
tapi tak dapat dipatahkan
tapi tak dapat dimatikan
meski ada yang bertepuk riuh dalam pesta

Aku hanya dikalahkan
meski tanpa perang
apalagi sejumlah perundingan
tidakpun pandangan

aku hanya dikalahkan
seperti ketulusan yang dibenam kepentingan
seperti ikhlas yang digadai kecongkakan
laksana rasa yang didustakan
ibarat perih yang ditertawakan

aku hanya dikalahkan
tapi ada tuhan yang menyaksikan
yang akan menjawab setiap permohonan
yang akan mengabulkan segala permohonan

biar saja ini hanya sebuah peristiwa
biar saja ini bersemayam di pelupuk mata
aku akan terus percaya
aku ingin terus berkelora

sampai waktu tiba
sampai saat engkau mengerti arti perjuangan
sampai masa engkau merasa makna pengorbanan
sampai hari engkau mengingat kenangan panjang

bila bila itu menyapamu
apa kamu akan menang?
jika-jika menghampirimu
apa kamu akan senang?

aku bukan kalah
aku hanya dikalahkan...
tapi aku tidak dendam
karena ada tuhan yang menyaksikan

azwir nazar
setia budi, 27 Maret 2011, 00.00 WIB

Rabu, 23 Maret 2011

Mengenal Political Marketing dan Komunikasi Politik

Oleh Azwir Nazar
Pengantar
Kajian tentang komunikasi politik makin menarik untuk dikaji. Tidak saja bagi sarjana komunikasi dan politik. Tapi mulai disukai dan digeluti oleh para politisi, aktivis dan professional lainnya. Komunikasi politik masih tergolong baru bila dilihat sebagai sebuah disiplin ilmu (subject area).

Dalam buku Dan Nimmo, “Handbook of Political Communication” dikatakan bahwa di Amerika saja komunikasi politik masih mencari bentuk, as fields of investigations go, political communication is obviously still in infacy” (2000 : vii) tetapi penelaahan komunikasi dan politik sekaligus pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan politik sebetulnya sudah berlangsung sangat lama.

Ada empat orang yang berkontribusi besar terhadap perkembangan teori dan penelitian komunikasi. Mereka bisa disebut founding fathers-nya studi komunikasi politik di Amerika. Meski sebenarnya memiliki background pendidikan yang berbeda, misalnya Kurt Lewin, Paul Lazarsfeld, dan Carl Hovland berlatar pendidikan psikologi. Sedangkan Harold D. Laswell ialah ilmuan politik. Lalu, beberapa murid Laswell juga tertarik pada ilmu ini. Seperti; Ithiel de Sola Pool, V.O Key dan Gabriel Almond.

Key dalam bukunya, “Public Opinion and American Democracy” dengan detail mempertemukan komunikasi dan politik. Pool menulis buku “the people look at educational television; candidates, issues, and strategies; a computer simulation of the 1960 election compaign”. Almond mengkaji berbagai konsep untuk memahami fungsi komunikasi dalam sistem politik.
Sementara di Eropa, sebagian besar penelitian komunikasi yang menyentuh bidang politik kebanyakan berbicara tentang penelitian dalam rangka pemberian suara (voting) serta penelitian tentang pengaruh komunikasi trehadap respon masyarakat tentang kampanye. Seperti; Campbell, Converse, Miller dan Stokes yang meneliti tentang “The Voters Decides”.

Definisi Komunikasi Politik
Komunikasi Politik adalah setiap penyampaian pesan yang disusun secara sengaja untuk mendapatkan pengaruh atas penyebaran atau penggunaan power di dalam masyarakat yang didalamnya mengandung empat bentuk komunikasi, yaitu: elite communication, hegemonic communication, petitionary communication, associational communication. (INT”L ENCYL OF Communication, 1989).

Menurut Muller (1973:73), Komunikasi Politik didefisinisikan sebagai hasil yang bersifat politik, apabila mereka menekankan pada hasil. Bagi mereka yang menekankan komunikasi politik pada sistem politik, komunikasi politik di definisikan sebagai komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara system tersebut dengan lingkungannya.

Almond dan Power menyebut komunikasi politik sebagai fungsi politik bersama-sama fungsi artikulai, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen yang terdapat di dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat (prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain.

Plano (1982: 24) melihat komunikasi politik merupakan proses penyebaran arti, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu system politik.
Beberapa ilmuan lain, melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan politik. Karena itu komunikasi politik memiliki fungsi yang istimewa, yang meletakkan basis untuk menganalisis permsalahan yang muncul dan berkembang dalam keseluruhan proses dan perubahan politik suatu bangsa.

Menurut Harsono Suwardi (1997: 12), komunikasi politik dapat dilihat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit komunikasi politik adalah; “setiap bentuk penyampaian pesan, baik dalam bentuk lambang-lambang, maupun dalam bentuk kata-kata tertulis atau terucapkan, ataupun dalam bentuk isyarat yang mempengaruhi kedudukan seseorangyang ada dalam suatu struktur kekuasaan tertentu. Sedangkan dalam arti luas, komunikasi politik adalah; setiap jenis penyampaian pesan, khususnya yang bermuatan info politik dari suatu sumber kepada sejumlah penerima pesan”.

Dalam batasan yang lebih sempit adalah suatu komunikasi dapat dikatakan memiliki nilai atau bobot politik bila komunikasi yang dimaksud mempunyai konsekuensi atau akibat politik (factual/berkemampuan) yang mengatur tingkah laku manusia di bawah pertentangan (Suwardi,1995: 6).

Objek dari komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang bersifat politik (political outcomes) disamping sebagai salah satu fungsi yang menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik. Jika komunikasi politik, dilihat sebagai jembatan metodelogis antara disiplin komunikasi dan politik, maka objek formal komunikasi politik juga dalah proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan peristiwa politik .

Marketing Politik
Marketing sebagai salah satu cabang ilmu merupakan kontruksi sosial. Marketing berkembang pesat di khalayak luas, tidak saja di tataran akademisi. Cara dan metode marketing telah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Meski dalam suatu disiplin ilmu masih baru, tapi sebagai aktivitas dan praktik sosial telah terjadi sejak dahulu kala.
Bagozzi (1974; 1975) melihat bahwa marketing adalah proses yang memungkinkan adanya pertukaran (exchange) antara dua pihak atau lebih. Artinya aktivitas marketing akan selalu ditemui dalam proses pertukaran. Marketing adalah hubungan dan pertukaran.

Dalam tulisan Bruce I. Newman dan Richard M Perloff tentang Political Marketing; Teori, research, and application yang dikutip oleh prisgunanto (2008) dari Hanbook of Political Communication Research, pemasaran politik didefinisikan sebagai aplikasi prinsip-prinsip pemasaran dalam kampanye politik yang beraneka ragam individu, organisasi, prosedur-prosedur dan melibatkan analisis, pengembangan, eksekusi, dan strategi managemen kampanye oleh kandidat, partai politik, pemerintah, pelobi, kelompok-kelompok tertentu yang bisa digunakan untuk mengarahkan opini publik pada idiologi mereka .

Marketing politik yang dari istilahnya sendiri terasa sebagai contradicto in terminis. Tapi sesungguhnya tidak demikianlah adanya. Strategi-strategi marketing memang sudah saatnya diterapkan dalam politik. Apalagi situasi dan kondisi masyarakat telah berubah. Seiring dengan kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi, semakin terintegrasinya masyarakat global dan tekanan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, institusi politikpun membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat luas.

Penggunaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik (political marketing). Dalam marketing politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat.

Maketing politik sudah menjadi fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tapi juga menimbulkan pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Marketing mengalami pergeseran perpektif dari orientasi internal perusahaan (internal oriented) ke orientasi pasar (market oriented).

Di tengah era demokratisasi dan kapitalisme, strategi-strategi marketing merupakan cara yang tepat untuk menghasilkan kemenangan dalam pemilihan umum. Tentu, metode dan konsep marketing memerlukan banyak sekali adaptasi dengan situasi dan kondisi dunia politik. Memang tidak semua metode marketing dapat digunakan dalam dunia politik. Tapi, partai politik dan konstestan sangat membutuhkan metode efektif untuk bisa membangun hubungan jangan panjang dengan konstituen dan masyarakat luas.

Debat Marketing Politik
Marketing politik sebagai suatu domain baru tidak dapat dipisahkan dari polemik yang melingkupinya. Marketing politik merupakan penerapan ilmu marketing dalam kehidupan politik. Tidak ubahnya domain aktivitas sosial lain, politik telah menjadi lebih terbuka dan transparan. Dunia politik tidak kebal dalam persaingan, bahkan sangat kental. Maka, diperlukan cara dan metode efektif untuk merebut hati konstituen dan masyarakat luas.

Kotler dan Levy (1969) menganjurkan penggunaan metode marketing dalam dunia politik. Mereka melihat bahwa marketing sebagai media interaksi antara dua atau lebih struktur sosial (Bagozzi, 1975). Wring (1996) menunjukkan aktivitas marketing politik telah lama dilakukan oleh partai-partai politik di Inggris.

Sikap skeptis terhadap marketing politik juga ada. Berangkat dari pemahaman bahwa marketing adalah ilmu yang dikembangkan dalam dunia bisnis dan ditujukan untuk mengejar keuntungan. Aplikasi marketing dalam dunia politik, juga meninggalkan masalah etika dan moral (Laczniack et al., 1979; Lock & Harris, 1996). Karena dalam aktivitas marketing tidak jarang sebuah organisasi mengemas informasi berbeda dengan kenyataan bahkan sampai memanipulasi informasi yang ditransfer.Tapi, konsep agar dunia politik berorientasi pasar bukan berarti sebuah partai politik ataua seorang kandidat harus at all cost memenuhi apa saja keinginan pasar (masyarakat).

Simpulan
Marketing politik harus dilihat secara komprehensif (Lees Marsmant, 2001), Pertama, marketing politik lebih daripada sekedar komunikasi politik. Kedua, marketing politik diaplikasikan dalam seluruh organisasi partai politik. Tidak hanya tentang kampanye politik, tetapi juga sampai pada tahap bagaimana menformulsikan produk politik melalui pembangunan simbol, image, palatform, dan program yang yang ditawarkan.

Ketiga, marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya terbatas pada tehnik marketing, namun juga sampai strategi marketing, dari tehnik publikasi, menawarkan ide dan program, dan desain produk, sampai market intelligent serta pemrosesan informasi. Keempat, marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pembahasannya, seperti sosiologi dan psikologi. Kelima, konsep marketing politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilihan umum sampai ke proses lobi di parlemen (Harris, 2001) .
Dengan demikian, ilmu marketing politik tidak dimaksudkan untuk menjual kontestan pada khalayak, melainkan sebagai tehnik untuk memelihara hubungan dengan publik agar tercipta hubungan dua arah yang langgeng.

References :
1. Bruce I. Newman, Handbook of Political Marketing, Sage`Publication, 1999
2. Lely Arrianie, Komunikasi Politik, Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Widya Padjajaran, 2010
3. Ronald A. Faucheux, Winning Elections, Political Campaign Management, Strategy & Tactics, New York, 2000
4. Firmansyah, Ph.D, Marketing Politik, antara pemahaman dan realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2008,
5. Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc, Komunikasi Politik, konsep, teori dan strategi, Rajawali Pers, 2009.

*mahasiswa s2 Komunikasi Politik UI

Wikileaks and The Power of New Media

Oleh Azwir Nazar
Fenomena WikiLeaks telah menguncang dunia. Sebagai new media situs Wikileaks telah membocorkan dukumen rahasia dan kawat diplomatik tentang banyak negara. Terutama sepak terjang Amerika dan milter Negara adidaya itu. Situs ini mulai membocorkan 90 ribu catatan rahasia laporan intelijen Amerika tentang perang Afganistan. Lalu, disusul dengan penayangan sebuah video tentara Amerika yang terbang dengan Halicopter Apache di atas Bagdad pada 12 Juli 2007.

Dari video itu terlihat para tentara memborbardir bedilnya ke arah sekelompok orang di darat. Desingan peluru mereka ditingkahi suara tawa dan saling memuji saat tembakan mengenai sasaran dan jasad-jasad bergelimpangan. Sebelum video ini bocor, tak ada laporan soal tentara Amerika yang melakukan penyimpangan. Yang muncul adalah laporan baku tembak tentara Amerika dengan sekelompok orang bersenjata mesin dan rudal. Ternyata, dari video itu terungkap, mereka adalah warga sipil, di antaranya dua anak-anak dan dua wartawan Reuters. Video menghebohkan itu menempatkan Wikileaks pada peringkat pertama sebagai situs yang mengubah berita dunia. Sebagaimana ditulis New York Daily pada Mei lalu. Hebatnya, sebelum ditayangkan, Wikileaks mempersiapkan secara matang. Ia bekerjasama dengan aktivis internet Belanda Rop Gonggrijp dan televisi nasional Eslandia (RUV), Menurut situs yahoo.com, Wikileaks sudah menguji video yang didapatkannya ini. Bahkan disebutkan, tim wartawan Eslandia sampai pergi ke Bagdad untuk berbicara dengan para korban yang selamat.

Konon, bukan hanya rahasia kisah perang dan darah saja yang bertaburan di situs Wikileaks. Ada soal perempuan dan narkoba yang melibatkan tokoh penting. Cerita-cerita seperti ini muncul setelah mereka membongkar kawat diplomatik para diplomat Amerika di seluruh dunia. Misalnya, dokumen Departemen Luar Negeri AS tentang Pemimpin Lybia, Muammar Gadhafi. Para diplomat di Tripoli melukiskan bagaimana Gaddhafi sangat bergantung kepada Galyna Kolotnytska. Bahkan disebutkan sang pemimpin tak dapat melakukan perjalanan tanpa si "pirang yang menggairahkan" itu. Selain itu, disebutkan juga bahwa Gaddafi yang takut tinggal di lantai atas bangunan bertingkat dan tak mau terbang di atas air.

Lain lagi cerita kawat diplomatik dari diplomat AS di Arab Saudi. Para pejabat Konsulat AS di Jeddah menggambarkan sebuah pesta Halloween bawah tanah yang digelar tahun lalu oleh seorang anggota keluarga kerajaan. Pangeran kaya dari keluarga besar Al-Thunayan disebutkan menggelar pesta dengan menghadirkan pelacur dalam jumlah berlimpah. Tentu ada alkohol juga. Sejumlah dokumen yang dibocorkan itu, ada juga diplomat Amerika yang membandingkan antara Presiden Iran Ahmadinejad dan Adolf Hitler. Adapun Presiden Perancis Nicolas Sarkozy diledek sebagai kaisar tanpa busana. Olok-olok untuk Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin adalah seekor anjing alpha. Sedangkan Presiden Afganistan Hamid Karzai dikatakan sebagai orang yang didorong oleh paranoia. Menurut khabar, kawat diplomatik yang sudah mulai dibocorkan Wikileaks itu baru segelintir. Situs ini memiliki 250 ribu dokumennya, termasuk di antaranya adalah 3000 lebih kawat diplomatik dari Kedubesnya yang ada di Indonesia. Memang belum ada dokumen yang berasal dari Indonesia yang sudah dibocorkan.

Pembocoran ini telah membuat Amerika dan banyak negara kocar-kacir. Ini juga mempengaruhi hubungan diplomatic antar Negara, dan juga akan mengancam perdamaian dunia. Begitu sebut Amerika dalam kepanikannya, menanggapi beredarnya bocoran rahasia tersebut. Dan sejak pembocoran dokumen itu, Sebelumnya, Perdana Menteri Australia, Julia Gillard menilai kegiatan Assange adalah perbuatan ilegal dan tidak bertanggung jawab. WikiLeaks mendapat masalah. Ia diblokir oleh lembaga sejumlah keuangan dunia, seperti Visa dan MasterCard, Paypal juga ikut memblokirnya. Bahkan, alamat WikiLeaks.Org dihapus permanen oleh penyedianya, EveryDNS.net. Assange dan timnya menyewa tiga domain baru di Eropa, yaitu WikiLeaks.de (Jerman), WikiLeaks.fi (Finlandia), dan WikiLeaks.nl (Belanda).

Julian Asange selanjutnya menjadi seorang yang paling dicari di akhir tahun 2010 ini. Dia masuk “the top list” dari buronan international (red notice of Interpol) kepada 188 negara anggotanya. Asange, disebut-sebut seorang wartawan yang lahir di Quinsland Australia pada tahun 1971, dikenal sebagai hacker komputer, sudah dihukum karena 24 kali berhasil meng-hack website penting pemerintah, ia juga dikenal jenius. Akhirnya, pembocoran kawat diplomatik tersebut berujung pada penangkapan Assange, sebagai aditor WikiLeaks. Ia dituduh melakukan pemaksaan yang melanggar hukum, dua pelecehan seksual, dan satu pemerkosaan, diduga pada Agustus 2010” begitu bunyi pernyataan kepolisian London, sebagaimana dikutip sejumlah media massa. Kuasa hukumnya, Mark Stephens menyebut ini hanya sebuah permainan politik. Christine Assange, Ibunda Julian, mengatakan tuduhan untuk anaknya sangat tak masuk akal. Tapi tetap saja surat perintah penangkapan atas permintaan aparat berwenang Swedia menjadi dasar polisi Inggris menahan warga Australia berusia 39 tahun itu. Tapi, kemudian dia datang sendiri ke kantor polisi London pada Selasa, 7 Desember 2010. Tapi ia langsung di tahan oleh kepolisian Metro Inggris melalui unit ekstradisinya.

Memang sekarang dia sudah dilepas. Dan berada dalam jaminan. Assange, yang juga seorang ahli computer Autralia ini kini tinggal di pedesaan Inggris sebagai tahanan rumah, tempat untuk mempersiapkan dirinya melawan ekstradisi ke Swedia. Sekali lagi, justru kasusnya adalah mempertanyakan masalah atas dugaan seksual. Bocoran-bocoran ini memang terus menjadi pembicaraan hangat di dunia sampai akhir tahun ini, pro kontra ini pun telah memicu penyelidikan lebih dalam bagi professional dan media sendiri, seperti New York Times, The Guardian, Le Monde, El Pais, dan Del Spiegel. Bahkan, Reporter Without Borders, Jean-Francois Julliard ini sebagai evolusi.

Assange boleh saja ditahan atau menjadi tahanan, namun kawat rahasia terus saja meluncur satu per satu dari Wikileaks. Pendukung Wikileaks juga terus bekerja membantunya berperang dalam dunia maya. Inilah yang disebut perang internet dan media baru yang sangat dahsyat.

Apa itu WikiLeaks?
Menurut Wikipedia, WikiLeaks adalah organisasi internasional yang bermarkas di Swedia. Situs Wikileaks menerbitkan dokumen-dokumen rahasia sambil menjaga kerahasiaan sumber-sumbernya. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006. Saat ini alamat situs telah dialihkan ke http://www.wikileaks.ch untuk alasan keamanan. Organisasi ini didirikan oleh disiden politik Cina, dan juga jurnalis, matematikawan, dan teknolog dari Amerika Serikat, Taiwan, Eropa, Australia, dan Afrika Selatan. Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks. Situs Wikileaks menggunakan mesin MediaWiki.

WikiLeaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award dari majalah Economist untuk tahun 2008. Pada bulan Juni 2009, WikiLeaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun 2008 berjudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances, sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenyatentang pembunuhan oleh polisi di Kenya.

Media Baru
Perkembangan teknologi memberikan pengaruh signifikan dalam kehidupan manusia. Setiap saat manusia menggunakan teknologi untuk efektifitas dan efisiensi. Menurut Mc Luhan, manusia memiliki hubungan simbolik dengan tehnologi. Kita menciptakan tehnologi, dan tehnologi pada gilirannya menciptakan siapa diri kita. Tehnologi media, terutama media baru (internet) telah menciptakan revolusi di tengah masyarakat. Masyarakat sudah sangat tergantung kepada tehnologi, dan tatanan masyarakat terbentuk berdasar kemampuan masyarakat menggunakan teknologi.

Era media baru ini sangat membantu sebagai akses informasi dan komunikasi lintas benua. Semua orang kini dengan mudah mengekspresikan kebebasan berbicara, memilih dan mengeluarkan pendapat. Tehnologi media baru (Internet) memang tak dapat dipungkiri telah memudahkan masyarakat untuk memperoleh dengan mudah segala informasi dan melakukan komunikasi dengan menembus waktu dan ruang.

Munculnya tipe baru dari media merupakan perluasan dan perubahan masuknya spektrum teknologi masyarakat yang memungkinkan untuk komunikasi publik. Dengan adanya teknologi, maka media bukan hanya sebagai sebuah alat terapan teknologi saja. New media berfungsi mengantarkan sebuah konten simbolik, sekaligus berpartisipasi dalam penghubung dari berbagai perubahan. Juga sebuah perangkat dari hubungan sosial yang berinteraksi dengan menggunakan fitur-fitur teknologi baru. Media massa sudah tidak lagi bersifat satu arah. Semua mungkin terjadi dengan digitalisasi. Ia melebarkan jarak dari individu yang menggunakan teknologi komunikasi tersebut untuk berkomunikasi. Sehingga komunikasi sudah tidak terhalang lagi oleh sekat ruang dan waktu.

Teknologi baru yang menjadi fokus pada munculnya media baru yakni penggunaan teknologi internet. Ada beberapa hal baru mengenai media baru antara lain, Digitalisasi, Konvergensi, Penyimpangan Internet dari Komunikasi Massa, Adaptasi Peran Publikasi, Interioritas’ yang Lebih Besar dari Peran Pemirsa, dan Fragmentasi dan Samarnya ‘Institusi Media’.

Secara umum, kita dapat mengidentifikasi empat kategori utama dari media baru yang dibedakan berdasarkan tipe penggunaan, konten, dan konteksnya sebagai berikut :
Media komunikasi interpersonal, terdiri dari telepon (kini mobile phone) dan e-mail (awalnya untuk pekerjaan tapi kini menjadi personal). Kontennya pribadi, tidak dapat bertahan lama, membangun dan menguatkan hubungan antarpengguna lebih penting daripada menyampaikan informasi.
Media permainan interaktif, yang dimaksud adalah video games dan games komputer juga perangkat-perangkat dunia virtual. Inovasi utamanya terletak pada interaktivitas dan mungkin dominannya proses yang bertujuan pada kesenangan hati.
Media pencarian informasi. Kategorinya luas tapi internet/WWW contoh yang paling signifikan sebagai perpustakaan dan sumber data.
Media partisipasi kolektif, yaitu penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar informasi, ide, pengalaman, aktivitas yang berkembang dalam hubungan personal. Ini merupakan instrument yang afektif dan emosional (Baym, 2002).

Percobaan untuk mengonsepkan internet sebagai media massa oleh Morris dan Ogan (1996) dilakukan dengan pendekatan sudut pandang pemirsa. Mereka menempatkan konsep kegunaan dan kepuasan, derajat dan tipe keterlibatan, dan derajat kehadiran sosial tetapi tetap tidak bisa dicapai karakteristik esensial internet sebagai sebuah media. Dua tahun berikutnya keadaan tidak banyak berubah. Lindlof dan Schatzer (1998) menawarkan sudut pandang internet dari etnografi pemirsa, keragaman wujudnya yaitu grup berita, mailing list, ruang simulasi, website, dan sebagainya. Bordewijk dan van Kaam (1986) mengembangkan empat pola komunikasi dasar yaitu Allocution, Conversation, Consultation dan Registration.

Allocution, Informasi disalurkan dari pusat ke individu-individu yang tersebar, secara serempak, dengan kesempatan yang terbatas untuk memberikan feedback. Topik serta waktu proses komunikasi ditentukan oleh pusat. Pola ini berlaku dalam media massa seperti radio dan televisi. Conversation, Individu-individu berinteraksi secara langsung satu sama lain melalui media, misalnya telepon atau email. Individu-individu menentukan partner, topik, waktu, dan tempat sendiri. Meskipun berkomunikasi melalui alat elektronik seperti telepon dan internet membutuhkan perantara sebagai pusatnya (seperti provider selular/internet), namun mereka tidak berperan aktif dalam mengontrol informasi yang disalurkan.

Consultation, Individu-individu mencari informasi di pusat informasi seperti bank data, perpustakaan, dan lain-lain. Pada dasarnya, waktu, tempat, dan topik ditentukan oleh masing-masing individu namun pihak pusat mengkontrol penyimpanan informasi. Registration, pola ini kebalikan dari Consultation. Pusat mengumpulkan informasi dari individu-individu. Pusat mengkontrol waktu, tempat dan topik informasi yang akan dikumpulkan.

Beberapa keunggulan komunitas online secara prinsipnya terbuka dan mudah diakses. Kemudian, bentuk-bentuk asosiasi yang mungkin dibuat oleh media baru nampaknya memiliki tipe yang berbeda. Yakni lebih tidak menentu, cair, dan kosmopolitan dibandingkan yang lokal (Slevin, 2000). Terakhir, memungkinkan untuk memotivasi dan berkomunikasi secara interaktif di mana tidak tersedia dalam media massa atau dari lingkungan fisik langsung (Turner et al 's, 2001).

Fakta dari mediasi oleh mesin cenderung mengurangi kesadaran untuk saling berhubungan dengan orang lain. Bahkan pendukung komunitas virtual seperti Rheingold (1994) memahami bahwa identitas online sering tidak asli atau terbuka. Mereka mengadopsi ”pesona” yang sering dirancang untuk menyembunyikan identitas, usia, atau jenis kelamin misalnya (Jones, 1997:1007). Partisipan dalam banyak diskusi dan interaksi online sebetulnya anonim yang kadang bagian dari atraksi. Menurut Baym (2002), ciri dari nilai yang meragukan adalah kehadiran 'lurkers'/pengintai yang sama sekali tidak mengaku sebagai partisipan.

Lahirnya era baru komunikasi membawa kebebasan yang besar. Semakin bertemunya (konvergen) berbagai bentuk komunikasi maka semakin tidak mungkin atau tidak masuk akal mengatur satu tipe media sedangkan yang lainnya tidak diatur. Kebebasan yang besar inilah telah menjadikan segala informasi bisa di akses oleh semua orang.

Kontrol dan Kekuatan New Media
Fenomena Wikileaks diatas merupakan sebuah kasus menarik. Dan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang yang luas. Mulai dari aspek hukum, etika, kebebasan pers, maupun politik. Tapi saya ingin menfokuskan pada aspek kontrol dan kekuatan new media (internet) dalam perluasan dan perubahan media baru yang bukan saja sebagai alat terapan teknologi semata untuk mengahantarkan sebuah konten simbolik. Melainkan bagaimana new media, terutama penggunaan teknologi internet dapat digunakan untuk semua jenis komunikasi dan tidak ada kontrol di dalamnya.

Kasus Wikileaks, dengan pengungkapan besar-besaran pesan diplomatik AS yang menampilkan rahasia-rahasia itu, menjadikan masyarakat dunia dan bahkan sebahagian wartawan mulai bertanya-tanya, apakah terlalu banyak pengungkapan adalah tindakan baik di era komunikasi elektronik global yang instan saaat ini? Akankah ini memicu perang baru dan ancaman demokrasi, ataukah justru penyampaian “truth” dari sebuah fakta?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru memicu diskusi yang lebih tajam mengenai penting tidaknya kontrol pada media baru ini. Ini tentu berbeda sekali dengan media lama (tradisional). Pesan elektronik yang mengalir deras begitu rupa juga ditengarai memicu konflik akibat multitafsir di tengah masyarakat. Dalam kasus di Indonesia, misalnya, kita masih ingat bagaimana twitter Luna Maya. Lalu, menjadi berita heboh di tengah masyarakat. Kilahnya, ini adalah privasi. Perdebatan ruang privasi dan public ini sendiri tak terelakkan.

Dalam hal kekuasaan, hubungan media baru dengan kepemilikan dan penggunaan kekuasaan lebih sulit ditemukan. Kepemilikan media baru tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Komunikasi tidak mengalir secara vertikal dari ‘atas’ ke ‘pusat’ masyarakat. Pemerintah dan hukum tidak bisa mengatur atau mengontrol internet seperti yang kerap dilakukan pada ‘media lama’. Namun demikian, media baru dapat dipertimbangkan kontribusinya sebagai kontrol terhadap pusat kekuasaan. Masalah sehubungan dengan integrasi dan identitas adalah apakah media merupakan kekuatan pemilah (fragmentasi) atau penyatu (kohesi) dalam masyarakat. Media baru memiliki efek yang berbeda terhadap integrasi sosial dalam jaringan masyarakat modern. Media baru dapat memainkan peran langsung dalam kehidupan individual (Rasmussen, 2000:160). Singkatnya media baru membantu individu menanamkan kembali pengaruh modernisasi.

Dalam hal perubahan sosial, sekilas terdapat perbedaan di antara media massa yang dapat digunakan secara sistematis untuk tujuan dari pembangunan terencana dari cara penyebaran informasi dan persuasi (seperti dalam hal kesehatan, populasi, kampanye inovasi teknis) dengan penggunaan ‘tanpa-tujuan’ yang menjadi ciri khas teknologi baru. Namun, masalahnya terletak pada hambatan untuk mengakses materi. Proses pembangunan mungkin masih harus dilakukan sebelum penyebaran media baru. Banyak pendapat mengatakan media baru telah berhasil mengatasi masalah tempat dan waktu. Kenyataannya media lama berhasil mengatasi masalah ruang, walaupun mungkin kurang baik dalam kaitannya dengan perbedaan budaya. Media lama memiliki keterbatasan kapasitas dan transmisi teknologi serta membutuhkan biaya yang besar untuk mengatasi jarak. Baik mengirim maupun menerima harus memiliki lokasi secara fisik (di tempat produksi, kantor, rumah, dll).

Teknologi baru telah membebaskan kita dari banyak kendala. Internet, meskipun tidak tampak jelas batasannya, masih sangat terstruktur menurut wilayah, terutama batasan nasional dan bahasa (Halavais, 2000), meskipun wilayah georafinya juga mengalami pergeseran (Castells, 2001). Komunikasi terkonsentrasi di Amerika Serikat dan Eropa dan komunikasi lintas-batas cenderung menggunakan bahasa Inggris. Dengan media baru kecepatan transmisi menjadi lebih cepat, terlepas dari jadwal waktu yang tetap, dan memiliki kemampuan untuk mengirim pesan ke siapa saja kapan saja (tapi tanpa jaminan penerimaan atau respon).

Analisis
Bila kita mengaitkan kasus menghebohkan Wikileaks dengan beberapa kasus di Indonesia, maka tampak jelas bagaimana new media memiliki kekuatan dashyat untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam kasus Prita misalnya, memberi bukti tentang kekuatan sebuah media baru yaitu internet – bahkan dibantu dengan blow up media massa yang terus-menerus- dapat membentuk sejumlah dukungan besar. Di luar dari konteks media baru, dokter-dokter dan pengelola rumah sakit kembali diingatkan untuk memenuhi dan menghargai hak pasien. Dokter-dokter kembali diminta lebih menerapkan cara berkomunikasi yang baik dengan pasien sehingga timbul kepercayaan dalam hubungan (rapport) dokter-pasien. Sesungguhnya kasus Prita terjadi akibat tidak adanya kepercayaan Prita terhadap segala tindakan dokternya. Para dokter kembali diingatkan betapa pentingnya informed consent (surat persetujuan tindakan) setiap akan melakukan pemeriksaan atau tindakan yang khusus kepada pasien. Kasus ini juga tidak akan terjadi jika sebagai pasien Prita lebih bijak menggunakan jalur yang semestinya untuk mengeluh yaitu melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perlu juga dipikirkan bagaimana dokter, pengelola rumah sakit, dan praktisi medis lainnya berkomunikasi efektif dan pantas kepada awak media. Perlu diingat (yang mungkin tidak pernah terpikir oleh praktisi medis) bahwa awak media ’memburu’ pernyataan dari manajemen RS Omni semata-mata untuk mendapatkan lalu menyajikan berita berimbang kepada masyarakat. Namun karena tidak mengetahuinya pihak RS Omni tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Sedangkan untuk kasus Ariel – dan kasus-kasus asusila sejenis lainnya yang sudah ada sejak jauh-jauh hari- menunjukkan bahwa kemajuan dan kemudahan teknologi informasi dan perangkat gadget dapat berbalik menjadi fasilitas yang menghasilkan output buruk bagi pembelajaran nilai-nilai moral yang dianut di Indonesia. Begitupan kasus Bibit-Chandra, melalui sejuta facebooker mendukung pelepasan kedua pimpinan KPK tersebut. Bedanya, kalau kasus Wikileaks ini, bagaimana dengan menggunakan new media, situs ini mampu menarik perhatian dunia. Masyarakat di seluruh dunia mampu terpengaruh oleh berita tersebut. Kalau kasus Prita, orang-orang menggunakan media baru untuk mendukung Prita dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kasus Wikileaks, justru menguncang stabilitas dunia, atau Amerika khususnya. Bagaimana orang-orang disuguhkan sebuah kenyataan baru yang selama ini tertutup rapi dari pantauan publik. Ada fakta sejarah yang di bongkar dan seterusnya. Inilah yang saya maksud power of new media.

Simpulan
Permasalahan yang timbul akibat munculnya media baru adalah kurangnya regulasi dan kontrol mengenai konten dalam media baru tersebut. Internet sendiri merupakan media bebas dan semua orang di seluruh penjuru dunia dapat mengaksesnya. Jika pembahasan ini kita kaitkan dengan fenomena WikiLeaks, maka terlihat jelas bagaimana sebuah informasi rahasia sekalipun, menjadi berita di internet dan dia menjadi mainstream di ruang public. Kehadiran internet membuat pergeseran yang signifikan dalam masyarakat. Semua orang dapat mendapatkan informasi hanya dengan mengakses media baru tersebut. Bahkan surat kabar harian pun dapat berubah menjadi koran online dan setiap saat pembaca dapat mengaksesnya kapanpun dan dimanapun. Kehadiran media baru bukan sebagai pengganti media tradisional yang sudah ada. Media baru hanyalah sebagai perluasan dari bentuk media yang sudah ada. Kehadiran media tradisional tetap diperlukan untuk menjadi penyaring, pengintervensi tajuk rencana, dan pengesahan. Oleh sebab itu, sebuah isu di internet membutuhkan media tradisional untuk menjadikannya isu utama di ruang publik karena tidak mudah untuk dikenali pemirsa di internet. Seperti menjadi terkenalnya duet Sinta-Jojo dan fenomena Hujan Darah di India yang keduanya dibawa ke ruang publik melalui paket acara salah satu televisi.

Terlalu banyaknya informasi yang di internet membuat kita harus mewaspadai semua kemungkinan yang akan terjadi. Tidak semua informasi di internet terbit setelah mengalami proses edit yang ketat seperti di media tradisional. Di satu sisi internet dapat memberikan hal positif dan di sisi lain juga dapat memberikan hal negatif karena tidak adanya regulasi dan kontrol yang memadai terhadap penggunaan internet sebagai media baru. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan Rice (1999:29) sekarang setiap individu harus membuat banyak pilihan, harus memiliki banyak pengetahuan sebelumnya, dan harus meletakan benteng dengan lebih banyak upaya untuk mengintergrasikan dan menciptakan komunikasi yang dapat mengerti.

Namun pengelola suatu website terutama website berita tetap harus melakukan seleksi terhadap berita-berita yang diterbitkan berdasarkan keakuratan sumber berita. Layanan informasi tanpa batas dan kontrol berarti dari pemerintah setiap saat bisa di akses setiap orang tanpa daya seorangpun untuk mencegah. Sehingga Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu mengadakan pengawasan khusus atau mendirikan sebuah lembaga khusus yang mengadakan pengawasan kepada konten-konten internet.

Kasus Wikileaks, yang saat ini masih menjadi kontroversial, kalau memang itu benar, maka, telah membuka mata dunia akan kebenaran yang selama ini dibungkam oleh AS dan sekutunya. Tapi, bila ia tidak benar sekalipun atau hanya propaganda, kita dapat menjadi saksi pula bagaimana new media dan fenomena Wikileaks ini menyita perhatian masyarakat di seluruh dunia. Semua itu, informasi itu kita dapatkan dari new media.

Remaja-Remaja Galau

Oleh Azwir Nazar
Awal Maret yang lalu, seorang teman melalui akun facebook menanyakan saya informasi mengenai isu berkembangnya aliran sesat di Banda Aceh. Saya katakan, saya belum dengar. Lalu, Gufran bin Yasa’, mengatakan dia mendengar ada aktivitas meresahkan dan mencurigakan yang dimotori mahasiswa mulai masuk kampus. Dan mereka itu adalah remaja-remaja Aceh. Orang tuanya Aceh, juga lahir dan berkampus di Aceh. Modus operandinya adalah kajian, halaqah, dan sejenisnya. Seperti layaknya pengajian, tapi gaya “gaul”. Begitulah kira-kira.

Sepintas, diskusi itu berlangsung dingin dan berlalu. Karena saya memang tidak memiliki informasi yang memadai mengenai isu itu. Beberapa hari kemudian, saya mulai mendapat pertanyaan dari beberapa teman tentang aliran sesat di Aceh, dan khususnya di Banda Aceh. Mereka bermaksud mengkonfirmasikan, seberapa jauh keshahihan informasi itu. Sejak itu, saya pikir ini isu serius dan sensitif di Aceh. Jadi, saya harus mencari tahu perihal kebenaran isu tersebut. Minimal, benar ada, atau tidak. Ya, kalau memang ada, tinggal dicarikan info yang lebih detail.

Dalam waktu yang tidak lama, kita menyaksi ternyata isu tersebut makin hari makin senter dibicarakan. Terutama di jejaring social pertemanan facebook dan twitter. Melalui tehnologi new media itu bagai tanpa batas mengaliri informasi yang begitu cepat dan beragam. Termasuk, isu aliran sesat tersebut. Banyak status pengguna akun FB dan twitter menulis tentangnya. Lambat laun, isu tersebut menghangat di dunia maya. Dan menjadi bahan diksusi yang panjang. Memang, aktivitas pendangkalan aqidah di Indonesia bukanlah hal baru. Sebut saja, Ahmadiyah, Lia Eden, dan LDII Al Qiyadah Islamiyah. Di Aceh sendiri, di penghujung tahun lalu, Oktober 2010, kita dihebohkan aliran Millah Abraham (MA) yang berkembang di Peusangan Bieureun. Tapi, MA ini berhasil dibubarkan dengan tertib oleh masyarakat, perangkat desa dan pihak kepolisian.

Selain itu saya juga mendapat beberapa sms dari teman tentang aktivitas aliran yang dianggap sesat itu. Isinya supaya kita jangan terpengaruh, karena mereka juga menyebar buku-buku yang isinya diselewengkan. Ada beberapa judul, tapi saya tidak menulis disini, karena saya belum melihat sendiri. Menurut sumber tersebut, targetnya bukan saja Banda Aceh, tapi seluruh Aceh. Setelah mengikuti perkembangan, Kamis siang (10/3), seorang teman mengirimkan saya list nama-nama remaja Aceh yang telah ikut aliran tersebut. Yang kemudian saya ketahui bernama “Mukmin Muballigh”. Ketika saya tanyakan, dimana dapat nama-nama itu. Teman itu bilang dari wall facebook yang di tag oleh teman lain. Dan, tidak tahu siapa pertama yang meng-post¬--kannya. Tidak hanya itu, juga beredar foto-foto mereka dalam bentuk power point. Kebetulan saya juga dapat kiriman via email.

Ketika mengupdate status tentang aliran ini di akun facebook saya, ada yang menyarankan supaya di crosscheck (tabayyun) dulu kebenarannya. Sebuah saran yang bijaksana. Dan teman yang mengirimkan saya nama-nama itu juga menghapus di wal¬l-nya. Sore hari, kebetulan saya baru pindah ke Wisma mahasiswa Aceh FOBA, di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. Seorang mahasiswa S1 asal Aceh yang sedang PKL di Jakarta dan tinggal sekamar dengan saya, tiba-tiba menceritakan ada beberapa temannya mulai mengikuti kajian-kajian aneh di Kampus. Dia juga sering diajak, tapi tidak terpengaruh. Celakanya, justru teman-teman kelasnya di Kampus kawasan Pango Raya itu, dari 25 orang jumlah mahasiswa di kelas, 20 orang terpengaruh untuk ikut kajian ala “gaul” itu.

Yang membuat saya terkejut adalah, dia katakan seseorang yang menyebarkannya (da’i), dengan cara menjadi pemateri pada kajian-kajian itu juga tinggal di FOBA. Tapi, dalam 2 hari ini tidak pulang, karena dia telah mengetahui, bahwa nama dia itu masuk dalam “list” nama-nama pengikut aliran sesat yang terlanjur beredar luas di jejaring sosial. Dan, ada satu lagi temannya sudah “taubat”. Juga tinggal satu asrama dengan saya. Meski ini malam pertama saya di FOBA. Tapi, besok shubuh, Jumat(11/3) mereka akan segera pulang ke Aceh, karena masa PKL nya sudah berakhir. Tiba-tiba menjelang sore, sang “dai” itu muncul, sepertinya ia ingin membereskan barang-barang, karena besok akan bertolak ke banda Aceh. Lalu, teman sekamar saya yang juga target gagal sang dai itu, menunjuk, itu orangnya!

Setelah Magrib saya masuk kuliah. Tapi, pikiran saya terus teringat “dai” dan mahasiswa yang sudah taubat tadi. Saya juga khawatir, kalau anak-anak asrama lain tahu, ini akan fatal. Lalu saya pastikan, Zul, untuk tidak dulu menceritakan sama orang lain. Saya berpikir perlu meng-crosscheck- isu ini dengan langsung sumbernya. Terlebih dahulu saya cocokkan namanya dengan data yang sudah saya miliki. Jangan sampai salah orang.

Singkat cerita, saya “menculik” dai itu untuk keluar dari asrama. Melalui pengurus asrama, Bashir, yang mengajaknya untuk ngopi. Kemudian, anak muda yang berpakaian jeans dan kaos oblong itu keluar, dan kami berjalan bersama. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ditemani Zul, teman sekamar saya, juga teman sekelas dia. Dalam perjalanan, saya katakan kita ke Mesjid saja sebentar. Kebetulan mesjid itu masih di kawasan Setia Budi. Kami duduk berempat. Setelah bersalaman, saya perkenalkan diri dan saya bilang saya ini saudara anda seiman. Saya ingin berdiskusi empat mata dan dari hati ke hati dengan anda, kalau boleh. Tapi kalau tidak, kita berbicara berempat saja. Tanpa pikir panjang, mahasiswa berkulit putih itu menjawab, empat mata saja bang! Anak pintar dalam hati saya. Sorot matanya tajam, dan patuh saja ketika saya ajak berdiskusi berdua di dalam masjid alBayyinah tersebut. Tapi kelihatan ia sangat shock koq saya bisa tahu.

Saya dingin saja, dan memposisikan dia sebagai teman diskusi yang bersahaja. Sebab, saya sadar benar, kalau saya emosi atau tidak terkontrol, teman lain akan tahu dan keadaanya akan berbeda. Awalnya, memang dia sangat tertutup, dan mengelak. Tapi, lama-lama dia merasa nyaman untuk terbuka dan jujur. Dia katakan mengenal aliran Mukmin Muballigh dari seorang teman, awalnya mereka hanya sharing biasa saja, seperti layaknya mahasiswa. Kadang mereka bertiga sampai berlima. Di Jakarta, ia sudah 6 bulan dan masuk pertama sekali sekira-kira 2 bulan sebelum PKL. Remaja ini memang fasih bacaan alQuran nya, ketika dia membaca beberapa ayat alQuran kepada saya.

Saya juga minta tolong untuk diyakinkan, kenapa dia memilih masuk MM itu. Menurutnya, ia melihat dunia ini sudah sangat semberaut. Seharusnya kita tidak begini, ada yang salah yang kita lakukan selama ini. Orang-orang sudah tidak lagi taat pada al-Quran. Mulai tampak, dia memang seorang pendoktrin muda yang bertalenta. Setelah panjang lebar, dia cerita, saya katakan, kegalauan anda itu sangatlah wajar, yang kamu katakan itu benar. Tapi kita menuju Allah itu tidak bisa sendiri. Ada AlQuran dan Sunnah yang harus kita pedomani. Mencari kebenaran itu harus terbimbing. Masih banyak di Aceh, ulama, abu-abu, teungku dan guru-guru kita yang dapat membimbing kita kepada jalan yang benar. Sesuai tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasul Insja Allah.

Kita harus memperdalam pengetahuan untuk menjadi penafsir alQuran. Anda masih sangat muda, dan semangat anda ini sepatutnya diarahkan pada jalan yang benar. Kalau kita tidak terbimbing, takutnya kita kehilangan orientasi dan ikut hawa nafsu. Saya juga bilang, saya tidak punya kuasa untuk mengklaim bahwa anda sesat. Sebab, sebuah aliran dikatakan sesat jika ada prinsip-prinsip pokok dan inti ajaran dalam agama bersangkutan dipahami menyimpang. Maka, perlunya kajian para ulama dan faqih untuk memastikan apakah aliran itu sesat atau tidak sesat. Alhamdulillah MPU Aceh telah mengeluarkan kriteria yang bisa dikategorikan aliran sesat (baca: serambi indonesia, sabtu, 12/3).

Dia mengatakan sejak namanya beredar dia gusar dan tidak bisa tidur. Dia tidak banyak tahu lagi, aktivitas rekan-rekannya di Banda Aceh sejak dia di Jakarta. Termasuk, mengenai adanya “nabi” di kalangan mereka. Tentang itu, saya tidak tahu dia berbohong atau tidak. Di akhir diskusi tengah malam selama 2 jam itu, dan saat saya sarankan supaya dia minta maaf dan jujur dengan orang tuanya sejauh mana sudah dia terlibat dalam aliran MM ini, matanya berkaca-kaca, dan Alhamdulillah dia ingin bertaubat.

Tulisan ini saya tulis, bukan untuk menyudutkan mereka yang sudah terlibat. Tapi sebagai pembelajaran bagi kita semua. Bisa saja, remaja kita ini juga dijebak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebab, menurut cerita temannya yang sudah “taubat”. Di awal-awal hanya kajian biasa. Pertemuan pertama, hanya bicara topik-topik umum tentang keislaman. Lalu, memperdalamnya di pertemuan kedua. Pertemuan ketiga, ikut bergabung, jadi anggotalah. Ditanyai identitas, hobi, tempat tgl lahir dan lain-lain. Pertemuan 4-5 baru bicara tentang kenabian, selanjutnya, fase siang malam perjalanan nabi, nah disitu baru terjadi pembelokan-pembelokan. Maka, Edo (nama samaran) mahasiswa yang kost di kawasan Lambhuk ini tidak lagi aktif. Begitu ceritanya, setelah saya konfrontir dengan cerita si dai yang di mesjid tadi.

Mukmin Muballigh
Kasus aliran Mukmin Muballigh (MM) ini pernah terjadi di Desa Modo, Lamongan, Surabaya, dan Trenggalek pada Desember 2006 silam. Salah satu da’i- nya bernama Rusdianto, berusia 27 tahun, Alumni sebuah Madrasah Aliyah di Lamongan. Ia berhasil menghimpun 150 pengikut dalam waktu empat bulan. Ia fasih membaca al Quran dan menafsirnya sesuka hati. Ia mengatakan shalat sehari semalam cukup satu waktu, dan cuma malam saja. Tanpa harus berwudhu’. Puasa juga dianggap tidak wajib, dan puasa kapan sreg. Pajan mangat teumon bu. Malah Rusdi mensejajarkan dirinya dengan Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.

Tapi, akhirnya Rusdi yang berambut gondrong itu ditangkap polisi Lamongan, September 2010. Pengikutnya, dilepas dan bertaubat. Ciri lain MM ini adalah pola “dakwahnya” berpindah-pindah dan tidak tetap. Pakaiannya tidak mengenakan surban, baju koko atau sarung seperti santri. Sumber lain juga menyebut mereka itu berpakaian necis (gaul). Layaknya remaja atau mahasiswa biasa. Celana jeans atau baju kaos. Saya tidak tahu persis, apakah remaja dan mahasiswa yang terlibat di Aceh, juga telah sejauh itu. Dan kalau memang setelah di investigasi oleh tim yang dibentuk pemko, di dapatkan bukti yang cukup dan adanya penyimpangan, maka sebagai masyarakat awam kita mendukung pembasmian aliran sesat ini di Aceh. Termasuk membina kembali remaja kita yang terlanjur ikut di dalam aliran Mukmin Muballigh itu.

Menurut saya, para remaja dan mahasiwa ini sesungguhnya sedang galau. Galau, mulai dari kekaburan emosi, bercampur semuanya. Baik emosi yang positif maupun yang negatif, namun lebih didominasi oleh emosi negatif. Sampai galau dalam memilih jalan hidup. Jalan mencari kebenaran. Remaja ini kehilangan ketauladanan, dari mereka yang seharusnya memberi tauladan. Sehingga, karena tidak terbimbing, pikirannya kacau dan tidak karuan. Mereka resah melihat realitas social yang tidak sesuai dengan harapannya, Tanpa terkontrol mereka mencari jalan sendiri untuk mencapai “langit”. Padahal, semuanya butuh pengetahuan dan bimbingan. Pada fase ini, mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh. Tidak ada yang membina dan mengayomi. Maka, tidak pantas rasanya kesalahan ditimpakan seluruhnya pada mereka. Sikap cuek, apatis, merasa diri paling benar, dan pola kehidupan kita yang egois dan materialis, juga ikut berkontribusi pada pembentukan moral generasi ini.

Pelajaran Berharga
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini, Diantaranya, pertama, kita semakin tersadar bahwa bahaya pendangkalan aqidah benar ada di Aceh. Para remaja kita sangat rentan untuk terpengaruh. Terutama di usia yang masih labil. Masa-masa mencari jati diri. Dan bisa terjadi dimana saja, termasuk di bangku kuliah. Ini menjadi catatan untuk para orang tua supaya lebih peduli dengan perkembangan anaknya. Lebih terbuka dan lebih dalam mengenal sang anak. Sering kali kita terjebak pada penilaian bahwa kebutuhan remaja ini hanya materi, tapi jiwanya kita biarkan kosong dari tuntunan agama. Baru kita “gabuk” setelah kejadian. Kedua, para pemuka agama, ulama, teungku, guru, lembaga pendidikan, lembaga dakwah, OKP/Ormas harus punya komitmen membina generasi muda. Salah satu caranya adalah memberikan keteladan. Sekaligus, menjadi mitra yang bisa mengayomi dan membimbing. Intensitas program atau kegiatan selama ini (mungkin) perlu kita evaluasi bersama, dimana dan apa masalahnya, koq justru banyak generasi muda menjauh. Mulai dari metode, sampai isinya.

Ketiga, pemerintah mulai level provinsi sampai tingkat gampong bersama aparaturnya, harus membuat aturan yang ketat, dan pencegahan dini terhadap muncul dan berkembangnya aliran sesat di Aceh. Jangan hanya bereaksi sesaat ketika terjadi sebuah kasus. Harus ada tindak lanjut dan dikuti program yang berkelanjutan yang bisa menjawab persoalan. Termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang mendidik. Pendidikan dan penyadaran menjadi penting. Keempat, kepada masyarakat supaya lebih waspada, dan bila ada indikasi yang mencurigakan tentang adanya aliran sesat di lingkungannya supaya melapor kepada pihak terkait, dan menghindari sikap anarkis dan main hakim sendiri.

Akhirnya, kita memohon ampunan Allah Swt dan senantiasa selalu berharap ditambahkan hidayah dalam menjalani kehidupan. Aliran sesat atau apapun namanya, semoga tidak lagi berulang di tanah kita. Tapi, sekaligus menjadi tantangan bagi masyarakat Aceh untuk meningkatkan kualitas beragama, bukan hanya sebatas ritual, atau rutinitas belaka. Di segala level, kita perlu mengevaluasi diri. Sehingga, kita menjadi mirror bagi generasi setelah kita yang kita dambakan lebih baik dari kita. Wallahu a’lam.

Pemilu Tanpa Kekerasan

oleh Azwir Nazar*)
Bayang-bayang kekerasan menjelang pemilu 2009 mulai marak. Intensitasnya sedikit meninggi bila kita lihat di beberapa kabupaten/kota di Aceh. Mulainya akhir 2008 dan tambah marak menjelang pemilu April mendatang. Memang kadarnya tidak terlalu besar. Tapi, bila ini terus dibiarkan dan tidak ada yang mampu menghentikan, pastilah akan meluas dan menjalar. Dan, skenario buruknya akan memengaruhi pesta demokrasi pemilu. Lebih parah lagi, akan mengancam perdamaian.

Tentu semua kita tidak lagi ingin kekerasan, apalagi perang. Konflik yang berkepanjangan telah memakan banyak korban. Mulai dari waktu, materi dan bahkan nyawa. Konflik demi konflik yang kita alami ternyata hanya menyisakan perih dan air mata. Belum lagi tragedi Tsunami yang telah menempatkan kita di titik nadir. Maka, ketika perdamaian tercipta, kita yang harus menjaganya secara bersama. Karena perdamaian menguntungkan seluruh rakyat Aceh. Terutama untuk kembali hidup dan membangun Aceh yang kita cintai bersama.


Lalu, bila riak-riak kekerasan mulai muncul di tengah masyarakat, sepatutnya menjadi perhatian bersama. Ini adalah tanggung jawab semua dan harus kita waspadai pula. Modus-modus kekerasan yang selama ini terjadi harus dilihat dari berbagai sisi. Jangan langsung diklaim atau saling tuding. Kita secara bijaksana perlu melihat pemicunya. Karena tidak semuanya politik. Bisa ekonomi, dendam, proyek, atau lainnya. Walau kita lihat sasarannya adalah partai politik kontestan pemilu. Seperti pengrusakan atribut partai, bendera partai, spanduk, sampai pada intimidasi, dan penggranatan kantor partai atau posko pemenangan pemilu partai tertentu.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi belakangan pun memang sangat kecil volumenya bila dibandingkan dengan masa konflik dulu. Atau bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Angka kriminalitasnya justru yang sangat tinggi. Ya, kita maklum sajalah. Karena mata dunia tertuju ke Aceh, jadi semua berita atau kejadian dapat diexpose begitu mudahnya oleh media. Semoga ini positif, untuk menjadi kontrol yang baik.

Tapi, memang kekerasan itu tetap ada dimana-mana. Tidak bisa di-nol-kan, cuma bisa diminimalisir, di bumi manapun dan sampai kapan pun. Apalagi Aceh yang sudah mengalami konflik lebih dari 30 tahun. Tradisi kekerasan belum sepenuhnya hilang bagi sebagian besar rakyat Aceh. Tapi, melihat prestasi perjuangan politik rakyat Aceh patut diacungkan jempol. Mana ada daerah yang langsung aman, setelah lama berperang hanya karena sebuah penandatanganan damai? Acehlah jawabnya. Komitmen perjuangan yang dipilih rakyat Aceh dari jalur bersenjata ke haluan politik telah menempatkan Aceh menjadi contoh bagi dunia.

Terlebih dengan hadirnya partai lokal yang akan berkompetisi dalam pemilu April nanti. Partai lokal yang baru pertama ada di Nusantara ini membuka bentangan harapan baru bagi perubahan fundamental Aceh di masa mendatang. Maka wajar bila ada pihak yang tidak senang akan prestasi dan kemenangan Aceh dalam era damai ini. Dan wajar pula bila kita pun rakyat Aceh harus melawan setiap bentuk kekerasan. Siapa pun pelakunya dan seberapa besarnya. Pastilah dengan cara-cara santun dan rasional. Jangan kekerasan dibalas dengan kekerasan pula.

Karena, menurut saya, insiden-insiden kekerasan yang terjadi belakangan harus dipahami sebagai bentuk pendewasaan politik rakyat Aceh. Jangan sebaliknya, diciptakan atau di asumsikan seolah-olah Aceh di ambang konflik lagi. Ini kerja provokatif dan akan mencelakakan kita semua. Namun, perlu kita garis bawahi bahwa apapun motif kejahatan dan sekecil atau sebesar apapun dia harus kita benci dan hindari. Potensi atau celahnya harus kita persempit biar tidak merajalela. Di sinilah peran negara terutama penegak hukum untuk lebih berani dan tegas dalam mengayomi masyarakat. Apalagi pemilu ini merupakan tugas Negara. Dan harus ada jaminan pemilu ini akan berlangsung damai dan aman.

Pemilu di bawah bayang-bayang kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikologis akan mempengaruhi kualitas pemilu itu sendiri. Karena rakyat memilih dengan sebuah keterpaksaan dan ketakutan. Ini berbahaya. Sekali lagi, demokrasi yang hari ini kita rajut menjadi tidak bermakna. Pesta ini tidak lagi menjadi pesta rakyat. Karena rakyat tidak bebas memilih atau menentukan masa depannya. Tapi, menjadi pemaksaan kehendak orang-orang yang berlaku tidak adil terhadap orang-orang lemah. Usaha-usaha untuk menumbuhkan kekerasan atau menyemai konflik di Aceh harus kita patahkan bersama.

Kita tidak boleh kalah dengan kekerasan. Siapa pun pelakunya. Aceh ini adalah milik kita dan setiap jengkal tanahnya harus kita jaga dan pelihara. Apalagi, pemilu 2009 adalah puncak atau klimaks dari demokratisasi Aceh. Dan, wajah parlemen Aceh 2009 ini adalah cuplikan dari sebuah perjuangan panjang rakyat Aceh. Memilih dengan rasional tanpa paksaan dan iklim kekerasan adalah keniscayaan. Karena kita ingin membangun Aceh yang lebih baik melalui jalan-jalan yang baik.

Di sisi lain, rakyat Aceh juga tidak boleh melupakan sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh hingga terciptanya damai. Semua perjuangan sepatutnya kita hargai dan kita ingat. Jangan kita abaikan begitu saja. Sehingga, pengorbanan para syuhada dalam konflik dan tsunami tidak sia-sia. Kita harus meyakini bahwa pemilu ini akan mendatangkan perubahan bagi Aceh. Maka ia harus disukseskan. Salah satunya adalah dengan menggelar pemilu tanpa kekerasan dan memilih dengan benar.

Perilaku bodoh dan menyebalkan oknum tertentu tidak boleh memasung spirit perjuangan dan masa depan Aceh yang dicita-citakan. Sekali lagi, inilah puncak demokrasi Aceh yang harus dituntaskan. Memilih yang salah sama saja memutar kaset yang usang.

Pemilu Damai
Untuk itu, pemilu damai atau pemilu tanpa kekerasan hanya dapat terwujud bila semua pihak fokus pada kewajibannya masing-masing. Taat aturan, hukum dan rambu-rambu yang telah disepakati bersama. Jangan asyik mencaplok kebun orang lain. Sebab pada akhirnya rakyatlah yang akan menentukan siapa yang akan dia pilih. Inilah saat yang tepat kita bangun dan bersatu untuk memenangkan rakyat Aceh. Berlomba-lombalah dalam merebut hati rakyat. Karena rakyat sudah cukup pintar untuk menentukan masa depannya.

Maka, politik damai harus berkembang menjadi gerakan, jangan berhenti pada wacana politik saja. Pemilu damai akan efektif bila menjadi bagian isu pemilu sendiri. Dan berpolitik secara santun dan rasional adalah keharusan. Tidak boleh lagi rakyat Aceh memilih karena uang atau embel-embel lain. Mesti kita tinggalkan budaya buruk masa lalu yang telah menipu kita semua. Termasuk memilih para politisi busuk. Tidak pula budaya kekerasan. Politik harus menjadi sebuah gerakan yang mengakar dan menyeluruh. Pemilih harus berani membuat kriteria Caleg dan partai yang akan dipilih. Karena kita menginginkan parlemen Aceh, mulai tingkat kabupaten kota maupun propinsi adalah parlemen yang berkualitas. Baik secara institusi maupun kelembagaan.

Beberapa Solusi
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan menuju pemilu tanpa kekerasan. Pertama, semua rakyat Aceh harus sepakat bahwa kekerasan adalah musuh bersama dan kita akan patahkan bersama semua celah yang mengarah penciptaan benih-benih konflik. Kedua, partai politik atau caleg dalam kampanyenya jangan mengeksploitasi sentimen-sentimen primordial atau kedaerahan. Mari saling menghargai dan menghormati sesama. Ketiga, pejabat publik atau pihak terkait menghindari pernyataan-pernyataan yang mengarah pada situasi ketegangan, yang kontra produktif dengan semangat damai yang kita bangun. Jangan asal bicara. Kalau mau bicara, bicaralah yang menyejukkan. Jadilah pendamai. Jangan jadi pemecah belah.

Keempat, pemilu damai harus menjadi bagian dari isu pemilu. Jadi sosialisasi pemilu juga berbarengan dengan sosialisasi akan pentingnya pemilu damai. Kelima, karena pemilu ini dalam kerangka penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh, maka perlu adanya pemantau dari lembaga-lembaga independen. Baik dari dalam maupun luar negeri. Selain, untuk meredam kekerasan dan intimidasi, juga memastikan pemilu berjalan dengan baik.

Dengan demikian, meski tahapan dan sosialisasi pemilu masih kurang, terutama tentang mekanisme pemilu, partai politik dan cara memilih yang benar. Namun kita harus tetap optimis pemilu damai dalam era damai ini akan sukses di Aceh. Tergantung seberapa besar tekad dan semangat kita untuk bersatu membangun Aceh yang lebih baik. Dan kekerasan hanya akan melukai kita semua.

**Tulisan ini pernah dimuat di Harian Aceh,
Thursday, 12 March 2009 02:32

Aceh Rindu Damai

Oleh Azwir Nazar*)

Kisah sedih di hari Minggu, 26 Desember 2004 lalu masih menyisakan duka dalam bagi semua orang. Bukan saja yang tertimpa musibah, tapi juga seluruh bangsa yang memiliki nurani kemanusiaan. Sehingga, gempa bumi dan gelombang Tsunami tersebut juga mengundang banyak bangsa menjenguk Aceh. Ibarat orang sakit, Aceh kebanjiran ?pelayat? dari seluruh dunia. Tentu pula dengan beragam corak dan aneka cara. Semuanya dengan alasan solidaritas dan nurani kemanusiaan. Mulai dari masa emergensi, rehabilitasi dan rekontruksi bule-bule itu masih berada di Aceh.

Beberapa hari kita sempat cemas, karena kerusakan akibat tsunami begitu dahsyat. Roda ekonomi dan pemerintahan semeraut. Pendidikan sebagai penyangga masa depanpun memprihatinkan. Kita cemas karena takut kelaparan dan nasib yang tak menentu pasca tsunami. Maklum, Aceh juga daerah yang sudah lama dirundung konflik. Tapi, tsunami justru menjadikan Aceh free zone bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Jadilah Aceh sangat popular di belahan dunia lain.

Memang tsunami membuat kita kehilangan sanak famili, merengut seluruh harta benda, meluluhlantakkan rumah dan pertokoan, menjungkirbalik pepohonan dan tiang-tiang, semua rata dengan tanah. Semua menjadi nol. Tanpa apa-apa. Pejabat, rakyat jelata, orang kaya, si miskin, PNS, buruh, tentara, pedagang, semua adalah makhluk tak berdaya. Kecuali mesjid yang berdiri kokoh hampir di semua daerah musibah.

Tapi, peristiwa Tsunami pula yang mengetuk pintu nurani kemanusiaan pemerintah RI dan GAM untuk berdamai. Menyelesaikan konflik melalui jalur politik. . Walau sebelumnya jalur damai juga sudah ditempuh. Ya, penandatanganan perundingan Helsinki 15 Agustus lalu adalah momentum Aceh baru. Setelah hampir 30 tahun bersengketa, akhirnya pemerintah RI dan GAM sepakat mengakhiri konflik. Konflik bersenjata berkepanjangan tersebut juga menelan korban yang tidak sedikit. Pro dan kontra Helsinki Meeting masih saja menjadi buah bibir dan berita utama media massa selama beberapa bulan terakhir. Baik lokal maupun nasional.

Kalangan kontra berpendapat bahwa pemerintah menyerah kepada GAM dengan mengikuti kemauannya, kekhawatiran internasionalisasi masalah Aceh, juga isu partai lokal tawaran GAM dianggap sebagai pintu belakang menuju kemerdekaan. Isu terakhir ini menjadi pembicaraan hangat menyangkut undang-undang baru bagi pemerintahan di Aceh, syarat partai lokal, dan sebagainya. Bahkan ada yang lebih ekstrim menganggap pemerintah SBY-Kalla inskontitusional. Malah, ada gerakan-gerakan baru mengatasnamakan untuk membela tanah air. Sementara bagi GAM, menurunkan hasrat merdeka kepada self government karena menurut mereka yang terpenting adalah rakyat Aceh.

Sementara kalangan yang pro menyarankan SBY-Kalla justru diberi hadiah nobel perdamaian. Alasannya karena SBY-Kalla berhasil mempertemukan kedua pihak untuk duduk di meja perundingan dan kembali kepangkuan Ibu pertiwi. Walaupun harga yang di bayar sangat mahal. Pertama, memang biaya jalur militer lebih besar dibanding melalui meja perundingan. Kedua, dikatakan lebih mahal karena menyangkut masalah kedaulatan bangsa Indonesia. Sebab, banyak dari poin-poin kesepakatan masih terlalu longgar untuk dapat ditafsir. Sangat memungkinkan versi GAM dan pemerintah RI bisa berbeda. Jadi, ada yang menyarankan ada semacam ?pejabat senior? dari kedua pihak untuk meluruskan atau sinkronisasi tafsiran dari masing-masing pihak. Hal ini menjadi penting dalam hal implementasi dan sosialisasi di lapangan. Ada juga yang berpendapat bahwa janganlah melihat pohonnya, tapi lihatlah hutan seluruhnya.

Semua asumsi, ulasan, dan pendapat semua orang tentang Aceh adalah sah-sah saja.Tapi semua harus dibangun berdasarkan fakta dan realita di Aceh. Alangkah lebih bijak bila masalah Aceh ditanyakan langsung pada rakyat Aceh. Jakarta dan siapapun jangan sok tahu masalah Aceh. Sehingga, penyelesaiannyapun jangan sesuka hati. Acuh tak acuh sebagian rakyat Aceh terhadap penandatanganan perundingan Helsinki lebih dikarenakan karena rakyat sudah jenuh. Rakyat hanya selalu menjadi korban dari setiap konflik berlangsung. Semua mengaku berjuang untuk rakyat, tapi justru menyengsarakan rakyat. Tafsir penyelesaian masalah Aceh harus dilandasi semangat keikhlasan menerima kenyataan oleh kedua belah pihak untuk selalu berpikir jalan-jalan yang terbaik.

Satu hal yang membuat banyak orang lupa bahwa sesungguhnya Aceh bukanlah milik pemerintah dan GAM saja, tapi seluruh rakyat Aceh memiliki hak atas tanah Aceh. Walau sejengkal tanah, rakyat jelata dan komponen sipil harus dihargai dan dimanusiakan. Nyawa rakyat bukan seperti nyawa sapi yang begitu mudah tergadai oleh peluru panas karena berbeda pendapat. Pembungkaman, pengusiran, teror, intimidasi, penculikan ataupun namanya terhadap rakyat tidak dapat dibenarkan.

Apapun bentuk perundingan, dimanapun berunding bagi rakyat hanya satu. Damai. Titik. Damai adalah kemerdekaan. Rakyat ingin hidup wajar dan dapat menjadi dirinya. Bisa ke sawah dan ke ladang. Melaut, berdagang tanpa ada penodongan senjata. Sama seperti di daerah dan di dunia yang lain. Cota tanyakan saja mereka yang hidup terlunta-lunta di gubuk nun pelosok disana. Coba tanyakan mereka yang terseok-seok di tenda pengungsian. Atau mereka yang terhimpit panas di barak-barak pengungsian.

Padahal disadari atau tidak rakyat dan komponen sipil memiliki potensi besar untuk menjadi jalur tengah penyelesaian masalah Aceh. Atau mungkin bahkan ditangan rakyat dan komponen sipillah Aceh akan hidup sejahtera dan damai. Sebab, merekalah yang lebih tahu apa yang mereka inginkan. Merekalah yang mengalami tiap hari. Logikanya, kedua pihak seharusnya menarik simpati rakyat kalau ingin mendapat tempat di hati rakyat. Sebab, masalah Aceh tidak akan cukup diakhiri sebatas perundingan oleh kalangan petinggi manapun di negeri nun jauh disana. Di tanah Aceh menanti kerja besar untuk mengimplementasikan kesepakatan itu. Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Implementasi adalah pertaruhan apakah satu pihak berani mempercayai pihak lain yang selama ini menjadi lawan. Bukan teken saja.

Untuk itu, dengan realitas diatas kita tersadar akan pentingnya kehidupan damai di Aceh. Terlepas dari kepentingan politik semua orang, persoalan Aceh hanya akan selesai dengan jalur damai. Karena kekerasan hanya melukai setiap orang. Perundingan Helsinki adalah starting point untuk menuju pintu damai di Aceh. Jadi bukan final. Bukan dengan penandatanganan berakhirlah semua masalah.

Cornelis Lay dan Kustanto Anggoro justru mewanti-wanti agar jangan berharap muluk-muluk dulu. Menurutnya, setiap negara majemuk dan bangunannya dilandasi masyarakat yang sangat tua memang dihadapkan pada persoalan regional yang tidak mudah. Aceh itu persoalan regional yang serius bagi indonesia karena berkait dengan pergulatan soal identitas.

Kalau soal ketidakpuasan ekonomi dan ketidakpuasan politik seperti tuntutan DI/TII, model-model penyelesaian negosiasi dan model seperti ini menjadi model final. Namun, karena ada persoalan identitas kesukuan dan agama, maka akan tetap menjadi pertanyaan tidak mudah segera diselesaikan. Ia khawatir harapan politik para negosiator dan pemerintah serta para pengambil kebijakan bahwa negoisasi di Helsinki ini sebuah usaha politik maksimum terakhir dan semua masalah sudah menjadi selesai.

Peristiwa ini hanya transformasi bertahap dari penggunaan metode kekerasan menjadi metode politik. Jadi, fungsi negoisasi ini bukan untuk menyelesaikan persoalan regional, tetapi untuk meminimalisasi instrumen kekerasan dan militer. Pekerjaan panjang jauh lebih berat dari negoisasi politik yang parsial ini dan tidak mungkin berhenti dalam waktu dekat. Meski demikian, hasil negoisasi yang menyetujui penghentian kekerasan ini harus dicatat sebagai prestasi besar karena pembeda fundamental peradaban politik yang baik dengan politik barbarian adalah kemampuan mencegah penggunaan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian. MoU Helsinki harus dipahami sebagai bukan sebagai one for all formula. Itu bukan formula akhir yang menyelesaikan segalanya. Para perunding harus melihat betul sejarah bahwa gejolak di Aceh belum bisa diselesaikan dalam waktu 70 tahun sampai hari ini. Bangsa ini harus belajar bahwa ada masalah regional yang tak bisa diselesaikan dengan perundingan dan produk pertemuan politik sebagus apapun bukan jaminan akhir penyelesaian. Masih tetap membutuhkan proses negoisasi yang panjang.

Kunci utama dalam proses panjang itu adalah bagaimana mengambil kepercayaan masyarakat. Mengembalikan sharing identity, yaitu bagaimana Indonesia memasukkan Aceh sebagai bagian identitas. Dan sangat bersamaan NAD juga berproses menerima Indonesia dan bagian-bagian lain sebagai identitasnya. (Kompas, 23 Juli 2005).

Karenanya, sikap GAM yang tidak mematok lagi harga merdeka dan turun gunung adalah sebuah prestasi. Prestasi bagi GAM dan juga bangsa Indonesia. Karena sama-sama memikirkan rakyat Aceh. Sebab itu, semua kita juga harus komitmen cinta kedamaian. Mou Helsinki adalah ibarat bayi. Seorang bayi harus kita jaga bersama, kita pelihara dan kawal bersama. ?Bayi harampun? dalam agama tidak disuruh bunuh, karena ia tidak berdosa. Kitalah para pendosa yang manatap orang lain dengan penuh murka dan selalu menganggap diri paling benar. Semua kita.

Kita memang berdoa semoga tidak lagi ada gelombang tsunami. Tapi, mari juga berdoa semoga tak juga ada ?tsunami lain?. Tsunami pembunuhan. Tsunami penculikan. Dan Tsunami kekhawatiran. Terakhir, bilapun ada airmata yang tertumpah di tanah ini, maka itu adalah airmata haru gembira karena anak negeri hidup rukun damai bahagia. Bukan lagi, airmata kebencian dan kepedihan yang saban hari hanya akan melukai semua kita. Berlebihankah kami rindu damai?. Wallahua?lam. Mohon maaf bila khilaf tulisan saya.

Ini tulisan pernah dimuat di web.acstf.org, sebuah lembaga dan jaringan sipil di Aceh yang komitmen atas usaha-usaha damai untuk Aceh
Wednesday, 07/09/2005 - 10:03 WIB

Komitmen Yang Tergilas

(Surat dan Bungoeng Jaroe Wisudawan Untuk Rektor IAIN Ar-Raniry )
Hari ini, Senin (3/9) adalah hari bahagia. Hari wisuda bagi saya, dan juga teman mahasiswa lain di IAIN Ar-Raniry. Tentunya yang akan di wisuda. Secara status,setelah wisuda kami bukan lagi mahasiswa. Sarjanalah tepatnya. Bahagia juga karena sudah melewati satu fase penting dalam hidup menuju masa mendatang. Walau, bukan jaminan menjadi orang berhasil dalam hidup kelak. Karena tak dapat dipungkiri banyak juga orang berhasil, tapi bukan sarjana. Atau tidak sekolah.

Adapula bagi orang-orang tertentu, siap kuliah, apalagi S1 biasa-biasa saja.Namun, bagi sebagian lain momentum ini sangat dirindukan dan istimewa.Berbondong-bondong para orang tua dan orang kampung khusus datang ke Banda melihat wisuda anak dan saudaranya. Terlepas nanti mau jadi apa. Yang penting sudah siap kuliah dulu, kata mereka.

Sisi lain, menjadi sarjana, menambah tanggung jawab dan amanah. Baik sebagai individu, maupun secara sosial. Tentu dalam hal mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. Menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan. Berani berkata benar, walau itu pahit. Nah, alasan terakhir inilah saya menulis celoteh ini. Saya sebutnya surat untuk rektor IAIN Ar-Raniry, Yang terhormat, Prof Yusny Saby.Barangkali untuk semua kita. Anggap saja ini surat harapan. Sebuah unek-unek.Mohon maaf bila khilaf kata melukai, semoga andapun berbahagia dan menerima ini sebagai bungoeng jaroe terindah dan bermanfaat di hari bahagia ini.

Refleksi
Saya masih ingat, Rabu (20/4/2005) saat Yusny Saby terpilih menjadi rektor IAIN Ar-Raniry masa bakti lima tahun mendatang. Yusny berhasil menyisihkan Warul Walidin, Rusjdi Ali Muhammad (Rektor sebelumnya), dan Daniel Djuned. Dari 281 pemilih, Yusni memperoleh 110 suara, Warul 87, Rusjdi 60 dan Daniel Djuned 4 suara. Yang abstain 19 orang, 1 orang tidak hadir. Lantas, Yusny tidak juga mulus untuk dilantik, harus melalui jalan berliku. Karena suhu politik IAIN Ar-Raniry masih panas, ada pihak-pihak yang masih ingin menang. Tapi, akhirnya dilantik juga oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada kamis (7/7) di Jakarta. Bersama beberapa rektor lain.

Sejak terpilihnya Yusny Saby, secercah harapan terbuka untuk perubahan. Tidak berlebih bila sebagian besar aktivis di kampus menyebut; kita memasuki babak baru. Ya, era baru IAIN Ar-Raniry, layaknya orang menyebut era baru Aceh di bawah bang Irwandi-Nazar pasca kemenangan dalam Pilkada Desember silam. Begitu kira-kira. Apalagi Yusny Saby dalam visi misinya dengan sangat meyakinkan menulis judul “ke DEPAN yang LEBIH BAIK”. Memang, saat itu beliau belum menjadi Ketua Badan Reintegrasi Aceh. Kondisi kita juga baru terkena Tsunami, dan kampus IAIN Ar-Raniry saat itu sebagian besar juga dihantam Tsunami.

Waktu itu, banyak orang menganggap adagium IAIN Ar-Raniry sebagai jantong hate masyarakat sudah tak ada. Kalaupun ada, mungkin dalam berkas di laci. Dunia akademis dan pondasi intelektual runtuh akibat tirani penguasa yang tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak benar. Hingga, kaum akademisi dan intelektual kehilangan identitas sekaligus moralitas. Ada identitas baru, seperti pencuri, koruptor, preman dan mafia.
Disamping itu, terjadi pengebirian terhadap civitas akademika pada hak dan kedaulatan mereka. Rektor hanya dipilih oleh senat. Pemilihan senatpun tidak akomodatif menyerap aspirasi civitas akademika. Senat berdasarkan pengangkatan, jadi anggota senat bisa didekte oleh rektor. Terus terjadi lepas kontrol, acuh tak acuh dan penyelewengan. Yang bersuara di luar senat akan terisolasi dan dianggap pemberontak. Akhirnya, “kejahatan kaum akademis” merajalela. Korupsi justru terlindungi. IAIN Ar-Raniry hanya menjadi gerobak sampah. Terseok pada rumput dan ilalang yang makin panjang, jalan-jalan bocor, pustaka yang kumuh, dan kondisi mengenaskan lain. Belum lagi dampak Tsunami tadi.

Dengan kondisi seperti itu, kita mendamba sosok rektor yang dapat membawa IAIN Ar-Raniry keluar dari situasi buruk tersebut. Kita bermimpi akan ada rektor seperti Ayahanda Prof Safwan Idris. Yang bisa menyejukkan dan menyatukan semua komponen di IAIN Ar-Raniry. Yang ikhlas berbuat untuk kemajuan IAIN Ar-Raniry.

Untuk maksud itu, berbagai upayapun dilakukan, termasuk membentuk forum silaturahmi yang dimotori Ayahanda A Rahman Kaoy. Singkat kata, saat itu, Yusny Saby dianggap mendekati sosok itu. Ia diyakini oleh banyak orang mampu mempertaruhkan nilai-nilai kebenaran, keterpercayaan, dan kejujuran. Ia dianggap memiliki modal intelektual, modal kultural dan modal simbolik, berupa status dan prestise yang baik di tengah asyarakat. Apalagi sosoknya sebagai ustadz. Itu selalu dibanggakannya dulu saat mengajar, berceramah dan berorasi ilmiah. Dulu.

Menurut saya, karena itulah Yusny Saby Menang. Menjadi rektor. Tentu dengan tanggung jawab yang begitu besar. Maka, wajar tekadnya untuk menjadikan IAIN Ar-Raniry ke depan yang lebih baik harus di dukung kala itu. Sebab, menurut Yusny, ada tiga pondasi membangun IAIN ke depan; pertama, pencapaian kualitas yang tinggi, kedua, terbinanya akhlak yang mulia, dan ketiga, siapnya civitas akademika menjadi pelopor dalam berbuat. Untuk itu, tambah Pak rektor perlu disusun sebuah program kerja yang andal, feasible, rasional, dan bermartabat.

Dengan demikian, IAIN Ar-Raniry harus menjadi pelopor yang bermartabat sebagai pusat kajian keislaman, yang mengakomodir dinamika budaya bangsa, yang berwawasan global dengan landasan akhlak mulia. Pak rektor yang mulia. Kami masih ingat pula janji anda dengan seabrek konsep dan langkah-langkah yang anda rencanakan. Seperti; janji, perbaikan sistim, akademik, kesejahteraan, penelitian, pengabdian masyarakat, tata ruang, hubungan antar lembaga, dan pemberdayaan. Plus didukung oleh banyak orang pintar. Profesor, Doktor, dan tokoh intelek lain. Dalam perbaikan sistem, misalnya yang paling menarik bagi saya adalah anda menjadikan sumpah jabatan, benar-benar sumpah, sehingga ia diharapkan dapat berfungsi sebagai ruh bagi tindakan setiap pejabat yang diamanahkan jabatan. Malah, anda berharap sumpah jabatan itu sendiri dilakukan dalam prosedur sakral, lebih dari sekedar upacara. Begitu kira-kira. Peningkatan status IAIN sebagai Universitas, ketua senat bukan rektor, dan sebagainya.

Evaluasi
Melihat realitas IAIN Ar-Raniry sekarang, pasca 2 tahun kepemimpinan Yusny Saby sungguh mengecewakan. IAIN bukan malah lebih baik, tapi lebih amburadul. Konflik suksesi 2 tahun lalu makin mengental. Diperparah dengan konflik struktural antara pihak fakultas dan biro rektor. Akibatnya, terjadi saling acuh dan saling menyalahkan. Wibawa seorang rektor melemah, nayaris tak ada. Institusi intelektual tersebut menjadi keropos. Iklim sehat untuk belajar, tercemar oleh fitnah yang bergentayangan di sudut-sudut kampus. Para dosen banyak aktif di luar, dibanding mengajar. Tetap saja IAIN seperti gerobak sampah, pagar-pagar roboh, lembu-lembu mondar mandir di depan ruang kuliah, rumput dan ilalang yang tetap panjang, bahkan kreativitas mahasiswa dipasung oleh kebijakan sepihak rektorat.
Kolega yang mendukung Yusny juga satu-satu menjauh. Mereka lebih memilih mengumpul pundi-pundi uang ketimbang mengabdi penuh untuk IAIN. Dengan bekerja di lembaga-lembaga beruang lain. Alasannya sederhana, kesejahteraan. Barangkali, mereka tak bisa serta merta disalahkan. Karena rektor juga lumayan aktif di luar. Jadi, logikanya ikan itu busuk di kepalanya. Jadi, mana ada yang mau patuh. Sangat sulit menemukan yang benar-benar peduli kampus. Sama sulitnya mencari perawan di sarang pelacur.

Sementara kabinet Yusny Saby yang lain kabanyakan konsep, mungkin karena orang bergelar. Tapi, tidak menjadi pelopor dalam berbuat. No action, talk only. Singkat kata, tidak ada yang bisa dibanggakan dari IAIN Ar-Raniry di bawah kepemimpinan Yusny Saby. Memang ada sedikit perubahan, sangat sedikit. Jauh dari harapan. Pak Rektor menjadi lebih sibuk dan terkenal di publik. Beliau sohor secara pribadi, sama halnya seperti Dek Yusniar. Tapi sohornya tidak membawa pengaruh signifikan bagi kemajuan IAIN Ar-Raniry. Kenyataan demikian telah menempatkan Yusny Saby jauh dari komitmen awal membangun IAIN Ar-Raniry ke depan, yang lebih baik.

Komitmen Yusny dan koleganya telah tergilas oleh uang dan jabatan yang melenakan. Apalagi, Aceh banjir uang pada masa rehab rekon. Rehab rekon memang penting untuk Aceh pasca Konflik dan Tsunami. Tapi, menyiapkan sumber daya manusia yang capable dan moralis jauh lebih penting dari rehab rekon itu sendiri. Sebab, tanpa moral dan nilai-nilai agama yang tertanam hanya akan menjadikan manusia pengemban amanah rehab rekon itu menjadi drakula-drakula penghisap air mata darah pengungsi dan masyarakat korban.

Karena itu, seharusnya Pak Yusny menjadi sosok teladan, pelopor dalam berbuat, di tengah gerahnya masyarakat akan hadirnya seorang intelektual pemimpin yang memiliki uswah hasanah. Yang bisa menjadi guru besar masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat konflik dan Tsunami. Kalau di kampus yang menjadi jantong hate masyarakat sudah tidak ada lagi keteladanan, atau di IAIN para kaum cendikia sudah busuk, sama siapa lagi masyarakat berharap. Bukankah kampus adalah miniatur negara? Lalu, apa artinya semua yang anda ajarkan kepada kami akan sebuah keteladanan?

Untuk itu, bila ingin berubah banyak hal yang bisa dilakukan. Saya sarankan diantaranya, Pertama, Yusny Saby bersama senat harus melakukan evaluasi menyeluruh 2 tahun kepemimpinannya. Dengan melibatkan semua komponen di kampus. Melihat lebih jujur dan lebih dalam apa yang telah dilakukan selama 2 tahun. Melakukan otokritik. Termasuk melihat kinerja Pembantu Rektor, Kepala Biro dan kabinet lain. Bila anda berani, lakukan reshufule pada pejabat yang tidak layak dan tidak mampu mengemban tanggung jawab di posisinya. Kedua, Pak Yusny dalam sisa masa jabatannya harus sungguh-sungguh menfokuskan diri membangun IAIN ke arah yang lebih baik sebagaimana janjinya. Anda harus meninggalkan semua jabatan di luar kampus, dan memberi keteladanan dengan memikirkan dan membangun kampus.

Sesuai komitmen awal. Sehingga, berani bertindak tegas atas para dosen yang bekerja di luar, dan mengabaikan mengajar. Kita sudah tertinggal jauh, dari kampus tetangga, Unsyiah. Jadi, jangan lagi asik alan-jalan. Ketiga, lakukakan rekonsiliasi. Rangkul semua potensi dan
kekuatan-kekuatan di kampus. Mulai dari dosen, mahasiswa dan komponen lain. Dengan satu tujuan membangun kampus dengan ikhlas untuk ummat. Semua pihak yang punya keinginan membangun IAIN yang lebih baik harus ikhlas menanggalkan ego masing-masing demi kemajuan IAIN.
Mahasiswa dan lembaga-lembaga mahasiswa harus menjadi pengontrol dan penyeimbang di kampus. Harus berani. Jangan menjadi sumpalan orang, dan kepentingan politik tertentu. Ingat, gerakan kita adalah gerakan moral. Kita tempuh juga dengan jalan-jalan bermoral. Keempat, bila anda sudah tidak sanggup lagi mengemban amanah membangun IAIN Ar-Raniry, mundur saja pak. Itu lebih terhormat. Karena anda dikenang sebagai ksatria. Dari pada anda di akhir jabatan, harus turun dengan kepala tertunduk.

Pak rektor yang terhormat. Terlepas dari itu semua, kami tetap juga mengucapkan terima kasih, pak. Kepada semua dekan, para dosen dan civitas akademika, juga kawan-kawan mahasiswa. Kami menyadari karena anda kami bisa menjadi sarjana. Kami tidak akan lupa di hari bahagia ini budi baik yang telah anda semua tanam pada diri kami. Melalui surat ini, kami ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas bifa khilaf selama kuliah. Sebagai penutup surat ini, saya ucapkan selamat Wisuda untuk kita semua. Jazakallahu khairan jazila, Wallahu a’lam.

Azwir Nazar
*) Penulis adalah Alumni Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh. (Arsip 3 September, 2007)

Damai Aceh sebagai Referensi Dunia

Laporan dari Qwangju International Peace Camp 2006, Korea 16-18 Mei 2006
Senin(15/5) jam 06.30 kami tiba di Bandara Internasional Incheon, Soeul Korea. Setelah sekitar 6.35 menit dalam pesawat dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Dari Incheon naik bus menuju Gwangju sekitar 4 jam 45 menit. Gwangju adalah salah satu kota besar di Korea dengan penduduk sekitar 1,4 Juta jiwa.

Setelah sampai di Gwangju kami langsung dijemput oleh para relawan dari The May 18 Memorial Foundation. Para relawan ini juga berasal dari berbagai negara yang magang di NGO ketiga terbesar di Korea itu. Kami langsung menuju ketempat penginapan di hotel Prado di pusat kota. Qwangju adalah kota yang sangat indah, bersih dan teratur. Disana tidak ada pencuri, sehingga sulit sekali mencari polisi dijalan. Masyarakatnya juga sangat ramah dan santun. Walau kebanyakan mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Malahan, hampir semua bangunan dan toko tertulis dengan bahasa Korea.

Pagi hari, (16/5) kita bertolak ke gedung serba guna 518 memorial Foundation untuk memulai konferensi.

--------
The May 18 Memorial Foundaion adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 30 Agustus 1994. Organisasi ini diprakarsai oleh para korban yang selamat dari tragedi demokrasi Gwangju 1980 beserta rakyat Gwangju. Lembaga ini didedikasikan untuk mengenang dan melanjutkan spirit perjuangan dan patriotisme rakyat Gwangju dan Korea pada umumnya dalam perjuangan demokrasi di negera itu. Sekaligus, dapat berkontribusi dalam penegakkan nilai-nilai perdamaian, HAM dan demokrasi di belahan dunia lain.

Sehingga kegiatan-kegiatannyapun mendorong dan menciptakan pedamaian, perhargaan terhadap HAM, dan juga demokratisasi. Selain membangun solidaritas internasional, memberikan beasiswa, mengadakan event-event dengan melibatkan NGO seluruh dunia, juga memberikan penghargaan bagi aktivis HAM.

The Gwangju International Peace Camp adalah event tahunan yang diselenggarakan untuk membangun kekuatan solidaritas internasional antara aktivis local dan internasional, untuk peningkatan dan promosi demokrasi, HAM dan perdamamaian dunia.

Untuk itu, tahun ini diberi thema : “Conflict in Asian Region and Peace Making by NGOs”. Jadi, dalam forum ini, didiskusikan kasus-kasus berbeda dari wakil 6 negara yang diundang seperti : Nepal, Thailand, Sri Lanka, Indonesia (Aceh), Philippines, and East Timor. Disamping juga hadir partisipan dari Autralia, Jepang, Malaysia, Palestina, Amerika Serikat, Hongkong dan Rumania. Ditambah dengan peserta dari NGO local dan media. Acara tersebut dibagi menjadi beberapa sesi. Mulai dari Shering, diskusi, pleno, sampai press conference.

Sharing experience I pembicaranya dari Philipina, Aceh (Indonesia) dan Timur Leste. Dengan topic the present condition of peace settlement post-conflict. Pengantar makalah awal disampaikan oleh Park Lae Goon, seorang aktivis Korea dengan tema “ Standing Activist of Srangbang Group for Human Right”. Dan dilanjutkan dengan presentasi seputar fenomena actual dan isu-isu dari pengalaman masing-masing dari tiga Negara.

Kebetulan dari Aceh (Indonesia) saya dari ACSTF bersama Aguswandi BR dari Persaudaraan Aceh. Agus berbicara tentang isu actual di Aceh dan proses perdamaian di Aceh. Menurutnya Tsunami juga mempengaruhi kebijakan politik di Aceh. Sehingga telah menyeret para pihak yang sudah lama bertikai untuk berunding.

Saya menyambung apa yang disampaikan Aguswandi bahwa perdamaian Aceh merupakan perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi, perdamaian bagi rakyat Aceh adalah sebuah kemerdekaan untuk melangsungkan hidup. Layaknya seperti bangsa-bangsa lain di dunia. Dan juga memakan korban yang tidak sedikit. Saya juga menyinggung tentang peran civil society dalam perdamaian Aceh. Termasuk juga tentang RUUPA yang aspiratif, damai dan sesuai MoU Helsinki. Meski ada perbedaan pendapat kecil antara kami dalam merespon pertanyaan peserta konnferensi tapi kami sepakat bahwa perdamaian Aceh belum berakhir. Masih harus dikawal dan dijaga. Termasuk solidaritas internasional.

Para partisipan yang berjumlah sekitar 100 orang itu sangat bersimpati dengan apa yang terjadi di Aceh selama ini. Bila proses perdamaian dan demokrasi yang indah di Aceh tersebut sukses, mereka akan menjadikannya referensi untuk mendamaikan Asia dan dunia.

Sesi II diberikan kesempatan kepada perwakilan Srilangka, Nepal dan Thailand.
Dilanjutkan dengan diskusi tentang kasus, pelajaran dan pengalaman yang ada pada shering I dan II. Diskusi ini difasilitasi oleh Fernand De varennes dari Asian Pacific Journal on Human Rights and the Law. Sehingga, dengan diskusi ini menghasilkan banyak point-point penting sebagai draf rekomendasi deklarasi Qwangju. Juga ikut berandil dan berkontribusi Dr. Kamarulzaman Askandar dari Southeast Asia Coalition on Conflict Studies Network.

Gwangju Internasional Peace Camp 2006 ini menghasilkan beberepa rekomendasi penting dengan mempertimbangkan berbagai ragam konflik dan perjuangan panjang penegakan HAM, demokrasi dan perdamaian di kawasan Asia dan dunia. Dan mendukung sepenuhnya rakyat Aceh, Mindanau, Nepal, Srilangka, Southern Thailand, dan Timur Leste beserta korban konflik dan korban ketidakadilan terhadap perjuangan demokrasi, HAM dan perdamaian.

Adapun rekomendasinya adalah; pertama, bahwa nilai-nilai dasar dan universal dari HAM haruslah dihargai dan dijunjung tinggi oleh semua orang dalam situasi konflik. Kedua, perlu adanya inisiasi dan kerterlibatan aktif civil society dalam peacemaking dan peacebuilding, termasuk proses monitoring dan penguatan dukungan secara timbal balik antara peacemakers dan peacebuilders. Ketiga, Nilai-nilai, adapt dan budaya local harus menjadi pondasi dasar dalam proses peacebuilding dan peacemaking. Keempat, Perlu dibentuk yayasan demokrasi dan perdamaian di Asia untuk mempromosikan dan memperkuat budaya perdamaian, keadilan, HAM dan demokrasi di kawasan Asia. Dan Kelima, pemerintah dan institusi pendidikan harus mempromosikan perdamaian dan pendidikan HAM sebagai komponen yang menyatu dengan pendidikan formal dan informal di kawasan Asia.

Selain itu, kami juga mengikuti Festival diiringi dengan pawai keliling kota yang dihadiri puluhan ribu orang. Pawai ini menggambarkan refleksi dari sejarah panjang rakyat Gwangju untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Human Rights dan perdamaian. Bahkan paginya (18/5) mengunjungi monument bersejarah untuk mengenang tragedy Gwangju dan mengikuti upacara kenegaraan bersama presiden Korea.

Acara ditutup dengan penganugerahan The Gwangju Peace Prize for Human Rights awarding kepada Malalai Joya dari Afganistan dan Anghana Neelaphaijit dari Thailand. Kedua perempuan ini dianggap layak mendapatkan penghargaan tersebut atas dedikasi dan semangat perjuangannya dalam penegakan HAM, demokrasi dan perdamaian di Negara mereka.


Oleh : Azwir Nazar*
*salah satu pembicara dari Indonesia utusan Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Aceh dengan makalah “The Long Road Towards Peace in Aceh”.

(tulisan ini pernah di muat di tabloid kontras, mei 2006)

Misi Solidaritas Untuk Mindanao

Agustus lalu, tepatnya tanggal 22-31 Agustus 2008 alhamdulillah saya menjadi salah seorang partisipan internasional dalam misi solidaritas internacional untuk Mindanao, Philipina. Saya hadir mewakili Dewan Pimpinan Pusat Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh). Selama 9 hari berada di Philipina, saya bertemu dengan beragam elemen masyarakat dan mengunjungi wilayah konflik dan zona perang. Berikut ini saya coba tulis celoteh perjalanan untuk pembaca. Semoga bermanfaat.

Saya diundang oleh sebuah organisasi sipil pro demokrasi, perdamaian dan HAM yaitu Initiative for International Dialoque (IID) yang berpusat di Davou City, Philipina. IID ini dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1988 dan kini sudah berumur 20 tahun. Mereka selain konsen dalam mendukung penegakan nilai-nilai demokrasi, perdamaian dan HAM di Philipina, juga dalam isu tersebut telah banyak bekerja dan berandil di beberapa negara lain di dunia dalam mendorong perdamaian dan mengakhiri konflik. Mereka memiliki program seperti di Rwanda, Timur-Timur, Burma, Thailand, Srilangka, Nepal, dan lain-lain. Pada periode 1993-1995 mereka juga pernah membangun solidaritas untuk terciptanya damai di Aceh.

Dalam misi ini kami bergabung dengan World Forum For Democratization in Asia (WFDA). Dan IID adalah anggota steering commitee WFDA di Philipina. WFDA sendiri adalah jaringan dan platform internasional untuk advokasi demokrasi di regional Asia. Forum ini berkomitmen pada perdamaian, mempromosikan demokrasi, melakukan kerja-kerja advokasi serta memperjuangkan nilai dan hak-hak yang universal dan mendasar bagi seluruh warga dan orang-orang di regional Asia. Selain itu, juga berkomitmen terus menerus mendorong pemberdayaan masyarakat dan perdamaian di dunia.

Nah, misi tersebut secara umum bertujuan memperkenalkan WFDA bagi para pihak dan stakeholder yang terlibat dalam proses damai, mendorong dan membantu keterlibatan masyarakat sipil secara terus menerus dalam berkontribusi bagi proses damai, termasuk apa yang bisa dilakukan oleh jaringan WFDA, serta berkontribusi akan perlunya respon dan perhatian dunia internasional bagi perwujudan situasi damai abadi di Mindanau. Sehingga, rakyat Mindanao tidak merasa sendiri, ada solidaritas dan kesetiakawanan dari bangsa-bangsa lain di dunia untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan damai abadi di Mindanao.

Misi ini diikuti oleh 11 orang partisipan Internasional yang berasal dari 9 negara. Yaitu dari Thailand, Mongolia, German, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Venezuela, dan Saya dari Aceh. Ditambah 8 orang dari Philiipina. Mereka terdiri dari para Profesor dan Doktor di bidangnya. Dari Mongolia misalnya, Ms. Zanaa Jurmed, ia adalah kandidat Perdana Menteri Mongolia . Sungguh mereka memiliki jam terbang dan pengalaman luar biasa. Plus umur yang lumayan jauh dari saya. 8 orang dari Philipinapun adalah orang-orang hebat, kuat, berpengalaman, dan pemberani.

Dalam meluncurkan misi ini WFDA juga bekerjasasama dengan the Global Partnership for Prevention of Armed Conflict (GPPAC). Kami dibagi menjadi 2 tim yang turun langsung ke wilayah-wilayah konflik. Dan bertemu langsung dengan banyak pihak yang berkompeten di Philipina. Mulai dari pemerintah, MILF, MNLF, tentara, civil society, lembaga HAM, partai politik, lembaga perempuan/anak, komisi pemilihan umum, media, dan bahkan mengunjungi para pengungsi di pusat evakuasi pengungsi.

-----------------
Saya tiba di Manila Hari Sabtu, 23 Agustus pukul 11.15 melalui Bandara Clark International. Setelah semalam tidur di Kuala Lumpur . Bandara Clark ini adalah bekas Pangkalan Militer Amerika Serikat. Dulu tidak ada penerbangan sipil di Bandara ini. Setelah Amerika hengkang, bandara inipun dipakai untuk militer. Saya dengar baru 1-3 tahun terakhir di pakai untuk penerbangan sipil. Mengingat, bandara Ninoi (bandara pusat) sudah terlalu padat. Dari Clark saya naik Bus Piltrancho menuju Pasay City sekitar 2 jam perjalanan. Lalu naik Taxi menuju Bandara Ninoi di pusat kota . Dalam perjalanan dengan bus dan taxi saya melihat sekilas tentang kota Manila. Kotanya tidak terlalu bagus, bangunannya biasa saja. Cat bangunan juga seperti sudah pada pudar. Saya beranggapan layaknya kota tua. Sebab, jembatan, pertokoan, trotoar, dan lain-lain seperti sudah zaman.

Tidak tahu juga persisnya. Sebab ini kali pertama saya ke Manila. Mungkin jalur yang saya lewati saja. Pukul 18.00 saya berangkat ke Davou City. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, Pukul 20.00 saya sampai di Davou City. Davou adalah sebuah kota metropolitan di Philipina, dan ia masuk dalam wilayah Mindanao. Sesampai di Bandara di Davou City, saya sudah ditunggu seorang relawan dari IID. Kami langsung menuju restauran untuk makan malam, sekitar 45 menit dari bandara. Rupanya, disana sudah ada partisipan lain yang sudah duluan sampai.

Setelah perkenalan, kami masing-masing kembali ke hotel untuk istirahat, kira-kira sudah jam 23.45. Besok pagi, setelah sarapan, jam 10.00 kami menuju pusat kota di Jalan San Pedro. Kami menyaksikan perayaan Kadayawan. Semisal festival dan pawai kalau kita di Aceh. Banyak sekali orang yang menyaksikan event budaya dan seni tahunan ini. Kadayawan ini sebuah perayaan tentang kehidupan, syukuran akan alam yang elok, akan hasil panenan, dan ungkapan sukacita tentang kehidupan. Festival ini sebagai warisan budaya yang menggambarkan sejarah, budaya, dan heroik sebuah kota. Ada juga kesamaan dengan PKA-nya kita. Tak jauh di sana kami juga mengunjungi meseum.

Setelah itu kami kembali ke Waterfront Insular Hotel. Kira-kira pukul 14.00 siang. Kami berdiskusi tentang situasi mutakhir di Mindanao. Sebab, sehari sebelum saya tiba, baru saja terjadi peperangan antara MILF dengan tentara pemerintah yang menewaskan puluhan orang. Tepatnya di daerah Cotabato, di Central Mindanao. Jadi, hari saya tiba semua media di Philipina memuat kejadian dan perang itu sebagai headline-nya. Karena perang atau kontak tembak ini banyak jatuh korban sampai puluhan orang.

Disamping itu kami juga di briefing dan berdiskusi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Maklum, kami akan mengunjungi langsung wilayah-wilayah konflik, melihat pengungsi, dan para pihak yang bertikai. Misalnya, di wilayah muslim, yang non muslim harus menghormati dengan memakai Jilbab, dan sebagainya. Serta beberapa adat yang sudah melekat di masyarakat. Sementara hal-hal kecil urus sendiri selama terjun ke medan misi.

Malam hari sambil makan malam kami bertemu dengan para aktivis dari organisasi sipil di Davou City, termasuk pula para pemuka agama. Kami berbagi pengetahuan dari berbagai perpekstif tentang konflik di Mindanao. Banyak hal yang kami peroleh. Ini menjadi pemetaan dan modal awal untuk menggali lebih banyak lagi tentang konflik di Mindanao. Misalnya, sebab muncul konflik, pola penyelasaian, nasib korban, juga peran dan fungsi komponen sipil di dalam konflik tersebut.

Setelah makan malam, kami kemudian membentuk 2 (dua) tim. Tim ini akan terjun melihat dan bertemu langsung dengan para pihak bertikai. Satu Tim ditugaskan ke Zamboanga dan Sulu dan satu Tim lainnya ke Cotabato, di Central Mindanau. Yang di Cotabato bertemu dengan MILF dan juga melihat nasib pengungsi di pusat evakuasi. Selain itu, juga berjumpa dengan tokoh pemuda, organisasi massa, aktivis anak/perempuan, media, dan masyarakat sipil.

Sementara 1 (satu) Tim lagi yang ke Zamboanga dan Sulu berjumlah 8 orang. Saya kebetulan adalah tim yang ke Sulu dan Zamboanga. Jadi, kami berpisah tanggal 25 dan akan bertemu lagi tanggal 27 di Davou City.

Misi ke Sulu

Kami berangkat ke Zamboanga kira-kira hampir 2 jam perjalanan dengan pesawat. Di Zamboanga kami bertemu dengan Walikota Labregat. Zamboanga ini adalah jajahan Spanyol. Banyak bangunan peninggalan sejarah masih utuh. Dan Zamboanga ini mayoritasnya adalah orang Kristen. Zamboanga ini dikenal dengan sebutan kota latin Asia. Bahasanyapun mirip bahasa Spanyol.

Di Zamboanga kami juga ketemu dengan masyarakat sipil dan media. Pegiat HAM, intelektual kampus tak pula kami lewatkan. Sore harinya kami menuju ke Sulu. Sulu adalah sebuah provinsi di Philipina Selatan. Untuk pergi ke wilayah Sulu, kita harus naik kapal. Ya, seperti kapal penyeberangan ke Sabang. Kita butuh waktu 8 jam untuk bisa sampai ke Sulu. Sulu adalah salah satu daerah paling berbahaya di Philipina. Di Sulu lah tempat bersemayamnya Abu Sayyaf dan bala tentaranya. Sehingga, misi ke Sulu ini adalah misi yang sangat meneganggkan..

Sebelum kami pergi ke Sulu, seperti biasa kami makan malam dan berdiksusi, tentang banyak hal. Sebab, biasanya malam sambil evaluasi dan membuat laporan aktivitas seharian. Tapi kali ini diskusi sedikit memanas, dan tak habisnya. Sampai kami menuju pelabuhan untuk naik kapal. Yaitu ketika kami diskusi tentang keamanan. Apalagi, baru saja terjadi penculikan terhadap orang asing. Tidak ada yang bisa menjamin keamanan kami disana. Panitiapun tidak berani menjamin. Padahal, kami sudah sampai di pelabuhan, dan sudah disuguhi tiket. Namun, tak juga satupun yang turun menuju kapal. Prof Paul dan Christian ketua rombongan, masih saja mempersolkan keamanan disana. Sehingga, kami pada posisi pergi atau kembali pulang.

Lalu, kami saling menulis no kontak masing-masing dan saling berbagi satu sama lain. Takut bila diculik, atau terjadi kontak senjata atau terpisah, kami tahu siapa yang harus kami hubungi. Panitia juga menelpon semua pihak yang bisa memberi pertolongan pada kami bila terjadi sesuatu. Suasana tambah tegang, karena skenario terburuk bisa saja terjadi sesuatu dalam kapal atau dilaut. Kami belum juga turun dari angkot. Padahal kapal/boat akan segera berangkat. Akhirnya kita pasrah dan mengambil sikap pergi Ke Sulu. Memang, ada juga yang sudah menelpon keluarga untuk minta di doakan. Ada pula usulan kami harus dikawal militer selama di sana untuk menjamin keamanan. Tapi, ada juga dari tim menganggap itu mengundang ”perang”.

Akhirnya, kami nekat ke propinsi Abu Sayaf. Kami ingin melihat dan mendengar langsung apa yang dialami masyarakat disana. Sekitar pukul 08.00 malam kami menuju Sulu dan sampai Shubuh disana.

Kami langsung disambut Prof Okta. Beliau muslim dan seorang militer. Seorang tokoh di propinsi itu. Di Shubuh buta itu, kami disambut dengan bentangan spanduk yang menjadi pusat perhatian para penumpang kapal. Spanduk itu kira-kira maksudnya, bahwa kami duta dunia untuk solidaritas buat rakyat Sulu. Ingin sama-sama merasa apa yang dirasa oleh rakyat Mindanao, dan Sulu khususnya.

Dari pelabuhan, kami dikawal oleh tentara dan langsung menuju basecamp tentara. Seperti asrama begitu. Setelah sarapan dan mandi, kami bergegas melihat masyarakat di sana. Tapi, sebelum itu kami bertemu wakil gubernur Sulu. Dia seorang perempuan, Ladi Ann Sahidalla namanya. Kebetulan Gubernur sedang tak ada.

Alam Sulu, mirip-mirip dengan alam pegunungan di Aceh. Memang cocok untuk tempat ”bergerilya”. Dan, yang membanggakan adalah penduduk Sulu 98 persen Muslim. Kebetulan dalam rombongan saya seorang muslim. Disana banyak mesjid, tapi kecil-kecil. Mungkin seperti halnya di sebagian kampung-kampung pedalaman di Aceh. Masyarakatnya sangat ramah, sungguh tidak seperti diberitakan. Di Sulu juga banyak becak. Masyarakatnya ada petani, pedagang dan banyak juga nelayan.

Tapi kami tetap saja dikawal. Bahkan kemana-mana kami ada satu jip polisi dan intel yang menjaga kami. Selain itu kami juga bertemu walikota Hulu. Rupanya dia juga pernah ke Aceh dan Timur-Timur. Dulu dia ke Aceh pada masa Jeda kemanusiaan. Kira-kira tahun 2003. Sebelum tsunami. Lalu, kami bertemu dengan para pejuang perempuan, pegiat HAM, OKP/Ormas dan lembaga-lembaga sipil di sebuah kampus. Menariknya pula, mereka mayoritas adalah kaum perempuan. Jadi gerakan sipil di Sulu, motornya kaum perempuan. Para aktivis di Sulu meyakinkan bahwa Sulu adalah tempat yang damai, walaupun citra di luar Sulu adalah sangat mengerikan. Memang, seharian kami disana kesannya aman-aman saja. Saat itu, pasar-pasarnya juga penuh, karena masyarakatnya menyiapkan diri menyambut Ramadhan.

Banyak hal yang kami dapat dari perjalanan ini, dan kemudian kami buatkan catatan-catatan. Sebab, apa yang kami peroleh akan disusun menjadi pernyataan dari misi ini. Dan akan direkomendasikan kepada para pihak dan dunia internasional. Malam sekitar jam 08 kami bertolak ke Zamboanga untuk kembali ke Davou. Jadi, kami tak merasakan bagaimana bermalam di Sulu.

---------
Tanggal 27 kami sudah di Davou City. Malam langsung kami inventarisir temuan-temuan dan hal-hal penting yang akan dimasukkan dalam pernyataan misi. Seperti kondisi riil, harapan dan terobosan yang bisa dilakukan. Sebab, besoknya, kami akan melakukan konfrensi pers. Sebelum Konfrensi Pers, paginya saya, partisipan dari Mongolia, Taiwan, Jepang, dan Direktur IID diundang untuk Talkshow di Ukay Radio di pusat kota.

Tanggal 30 kami kembali ke Manila. Sekali lagi, kami membuat Konferensi Pers di sebuah hotel di Manila sore hari. Konferensi Pers ini banyak dihadiri oleh media cetak dan elektronik. Sebelumnya, kami mempresentasikan temuan-temuan kami dengan tokoh masyarakat, politikus, agamawan, aktivis, dan lembaga-lembaga pro demokrasi dan perdamaian yang bermarkas di Manila. Paginya, kami juga bertemu dengan Komisi pemilihan umum pemilu Philipina.

Karena misi ini juga mendorong terwujudnya pemilu damai dan bermartabat di Philipina 2010 mendatang. Terutama di Kepulauan Mindanao. Dan, mereka akan menggunakan mesin untuk pemilu 2010. Jadi, tak lagi memakai kertas suara.

Setelah meeting dengan multistakeholder dan konferensi Pers hari itu, ternyata ada seseorang menfasilitasi kami bertemu tokoh politik Prof Dr Nurmisuari di sebebuah rumah di Manila. Dan akhirnya, kami bertemu dengan Prof Dr Nurmisuari, President Moro National Liberation Front. Dia sangat sederhana dan santun. Dengan menggunakan pakaian kemeja petak-petak warna merah. Dia bicara kata perkata dengan teratur. Patutlah ia seorang profesor. Dia juga banyak menguasai tentang sejarah. Terutama tentang sejarah Kesultanan Melayu. Awalnya, Prof hanya punya sedikit waktu, tapi karena diskusi menarik, kami menghabiskannya hampir 3 jam. Diskusi yang sangat menarik. Berbagai pertanyaan dijawabnnya dengan lantang. Termasuk hubungannya dengan MILF.

Bertemu Nurmisuari menjadi kesan tersendiri dalam international solidaritas misi ini. Sebab, sulit bertemu Prof. Di rumahnya banyak pengawal. Di pintu masuk ada perintah untuk tidak membawa masuk kamera, alat elektronik, sepatu dan handphone. Tapi, alhamdulillah dia izinkan kami, sehingga kami dapat mengabadikan pertemuan itu. Dan Nurmisuari sangat berwibawa. Pertemuan dan diskusi dengannya berlangsung dengan khitmat.

Salah satu hasil lain dari Misi ini, kita juga mempertemukan para pihak yang bertikai dalam diskusi panel yang melibatkan multistakeholder. Kita juga mendorong penghentian kekerasan dan kembali ke meja perundingan. Terutama dalam bulan Ramadhan. Ya, ada semacam gencatatan senjata. Walau demikian, tentu konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini tidaklah mungkin selesai begitu mudah. Perlu usaha dan kerja keras semua pihak untuk lebih mementingkan rakyatnya daripada kepentingan politiknya.

Konflik Mindanau
Sebenarnya, konflik di Mindanao sudah terjadi ratusan tahun. Orang-orang mindanao menyebut dirinya bangsa Moro. Bangsa Moro mayoritas Muslim. Dulu mereka memiliki kerajaan Islam. Tahun 1380 Kerajaan Muslim beserta raja/datuknya itu berakhir. Lalu, Spanyol menjajah Filiphina dan mengkristenkan penduduk Islam. Setelah berperang lebih kurang 375 tahun, akhirnya kerajaan Islam Mindanao-Sulu takluk pada tahun 1876. Tapi, warga muslim tidak semua takluk. Spanyol mengalihkan kolonial pada Amerika dan Jepang. 1946 Filiphina merdeka. Tapi, kebijakan terhadap Bangsamoro masih meneruskan sisa-sisa penjajah. Malah, tahun 1936, pemerintah membuat undang-undang yang menyatakan tanah Mindanao adalah milik negara. Sehingga, tanah-tanah muslim ini dibeli dengan harga sangat murah oleh orang-orang katolik. Pada saat Ferdinand Marcus jadi presiden, perampasan tanah ini menjadi halal lewat kebijakan Land Reform -a pada tahun 1971. Tidak hanya itu, kapal-kapal dan sendi-sendi ekonomi juga dirampas. Hingga, tahun 1972, lahirlah organisasi perjuangan kemerdekaan Bangsamoro yaitu Moro National Liberation Front (MNLF). Karena perbedaan ideologi, watak, garis perjuangan kemudian MNLF ini pecah. Munculllah. MILF dan kemudian muncul lagi Abu Sayyaf.

----------
Malam hari, kami merayakan ulang tahun ke 20 International for Initiative Dialogue. IID lahir 30 Agustus 1988. Kami refleksikan perjuangan IID dalam menjalankan misi damai di dunia. Kami juga berdoa bersama untuk terciptanya damai bagi saudara-saudara di belahan dunia lain yang masih berkonflik. Kita juga saling berbagi pengalaman tentang konflik-konflik di regional Asia dan di dunia. Para hadirin sangat bersimpati dengan apa yang terjadi di Aceh. Mereka ingin belajar tentang Post Disaster dan Post Konflik di Aceh.

Mereka juga tanya tentang pemuka agama di Aceh. Saya katakan kami menyebutnya ulama. Mereka adalah ibarat guru besar bagi Aceh. Sejarah dan peradaban Aceh yang gilang gemilang tak lepas dari andil besar ulama. Mereka sebagai penyeimbang dan teladan di masyarakat. Kami sangat hormat pada mereka. Ulama di aceh tidak identik dengan jenggot yang panjang dan sosok yang menyeramkan. Mereka hidup ditengah masyarakat. Menjadi penggerak, dan sangat kharismatik . Begitupun pasca tsunami, ulama-ulamalah salah satu inspirator rakyat Aceh untuk bangkit.

Banyak pula dari mereka yang belajar di bangku universitas atau institute, malah ada yang menjadi doktor dan professor. Selain itu, ulama di Aceh juga memiliki dayah yang memiliki banyak murid/santri.Tapi, pada saat konflik banyak ulama yang dibunuh dan dibantai. Ada yang difitnah, hingga diculik saat ceramah. Ada pula yang dituduh pemberontak dan lain-lain. Malah ada dayah yang dibakar.

Dan, konflik di Aceh adalah konflik antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Konflik tentang keadilan. Di Aceh tidak ada konflik agama, etnis atau antar suku. Tak pula ketinggalan mereka tanya tentang partai politik lokal di Aceh sebagai instrumen perjuangan. Saya bilang ada 6 parlok di Aceh yang akan bersiap menyongsong pemilu parlemen 2009. Salah satunya adalah Partai SIRA. SIRA ini awalnya adalah sebuah gerakan sosial, lalu manjadi partai politik lokal untuk melanjutkan cita-cita Aceh yang lebih baik di masa mendatang.

---------
Misi ini penuh tantangan, melelahkan dan sangat berbahaya, taruhannya adalah kematian, atau hal buruk lain. Misalnya ditangkap atau disandera! Tapi, Misi ini bukan saja penting, tapi saya juga merasa ada tanggungjawab kemanusiaan untuk perdamaian dimanapun dan kapanpun. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa orang Aceh mau juga berkorban untuk perdamaian dunia. Meski agenda-agenda damai kita di Aceh masih banyak. Sebab, dulu banyak orang lain telah berkorban untuk mewujudkan damai bagi aceh kita. Sehingga, rahmat damai itu kita rasakan sekarang ini. Walau damai di Aceh terjadi juga tak dapat dipisahkan dari tragedi tsunami.

Dan sungguh apa yang terjadi di Mindanao hari ini sama persisnya situasi masa lalu kita. Dibeberapa wilayah, terjadi penculikan, kontak senjata, penganiayaan, intimidasi, dan sebagainya. Suasananya sangat mencekam. Dan suasana itu sebenarnya bukan saja di daerah seperti Sulu dan Cotabato. Tapi juga akses menuju ke sana. Berbagai pemeriksaan ketat, kecurigaan senantiasa dialamatkan pada pendatang dan sesama. Fitnah merajalela, dan sebagainya. Maka wajarlah, bila damai itu sangat mahal harganya. Dan wajar pulalah bila kita berusaha dan berjuang sekuat tenaga menjaga dan mempertahankan damai. Karena semua kita adalah bersaudara. Kekerasaan hanya akan melukai kita semua. Damailah Mindanao, damai selalu Acehku!

*)catatan Perjalanana Azwir Nazar,
tulisan ini pernah dimuat di tabloid sipil Aceh dan Sumber Post Banda Aceh