Rabu, 09 November 2011

Demokrasi Tersandera Elit

Oleh Azwir Nazar
Masa depan demokrasi kembali diuji di Aceh. Partai Aceh (PA) sebagai partai pemenang pemilu mengancam memboikot Pilkada 2011. Sebelumnya, Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh telah menetapkan hari pencoblosan, yakni pada 24 Desember mendatang. Dan semua tahapan Pilkada dilanjutkan sesuai jadwal setelah sempat mengalami masa colling down selama sebulan di awal Ramadhan lalu.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang didominasi PA tidak mengakui semua tahapan yang berlangsung dan meminta Pilkada ditunda serta penunjukan Plt Gubernur oleh Presiden. Alasannya, terjadi konflik regulasi di Aceh. Rancangan qanun (peraturan daerah) terbaru belum dibahas DPRA. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menganggap ada upaya menghambat Pilkada dengan cara mengulur waktu.

Akhirnya, Pilkada tetap dilangsungkan. Sebanyak 128 pasangan atau 256 kandidat mendaftarkan diri di seluruh Aceh. Jumlah pasangan calon yang telah mendaftar di KIP kab/kota masing-masing, Aceh Tengah 13 pasangan, Aceh Barat 12, Langsa 10, Lhokseumawe 10, Aceh Singkil 9, Aceh Timur 9, Bener Meriah 7, Aceh Utara 7, Abdya 6, Simeulue 5, Nagan Raya 5, Gayo Lues 4, Aceh Jaya 4, Banda Aceh 5, Aceh Besar 7, Pidie 8 dan Sabang 4 pasangan.

Sedangkan di tingkat provinsi hanya tiga pasangan. Dua melalui jalur independen, yaitu Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan dengan Tgk Ahmad Tajuddin/Suriansjah. Sedangkan Koalisi Partai (Demokrat, PPP, dan SIRA) mencalonkan Muhammad Nazar/Nova Iriansyah. Sebagian besar kandidat yang sudah terdaftar tersebut maju melalui jalur perseorangan mencapai 90 pasangan. Dan jalur partai atau koalisi sebanyak 38 pasangan.

Sementara PA tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak mendaftar. Mereka yakin benar KIP Aceh telah “mengangkangi” MoU Helsinki dan UUPA. Sebab, menurut PA, Aceh memiliki kekhususan dan calon perseorangan hanya boleh ada satu kali di Aceh. Untuk itu, DPRA yang didominasi PA meminta penundaan Pilkada sampai konflik regulasi ini selesai. Namun berdasar UU hanya tiga alasan Pilkada bisa jeda, yaitu terjadi bencana alam, stabilitas politik keamanan yang tidak stabil, dan tidak tersedianya uang atau anggaran.

Ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi. Maka, pilkada Aceh tetap lanjut dan KIP merujuk pada qanun lama, yaitu Qanun Nomor. 07 tahun 2006. Dan mengakomodir calon perseorangan sesuai keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA.

Kisruh ini tidak lantas berhenti. Aceh terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu mendukung Pilkada tetap dilanjutkan. Kubu lainnya meminta pilkada ditunda. Malah, sekarang sedang terjadi pengarahan massa di Aceh untuk memboikot dan menunda Pilkada. Di lain pihak, mereka yang menginginkan Pilkada tepat waktu, juga bersiap-siap menggalang massa. Dan celakanya, pengerahan massa ini ditakutkan akan terjadi radikalisasi antarkubu.

Masa depan demokrasi
Masa depan demokrasi Aceh akan mendapat ujian serius, karena demokrasi Aceh tersandera elite. Kaum elite seolah mereka menjadi penafsir tunggal dengan mengatasnamakan rakyat. Padahal, yang disuarakan adalah kepentingan politik mereka semata. Seringkali rakyat menjadi ‘tumbal’ memuluskan keinginan elite. Perwakilan politik rakyat yang dipilih dalam pemilu pun, belum bekerja maksimal.

Kaum elite bukan saja memasung dan menyandera demokrasi, tapi juga ‘berselingkuh’ dengan dunia usaha dan pemilik modal untuk menguasai ekonomi masyarakat. Ada semacam politik oligarki, dimana kekuasaan dan kesejahteraan hanya berpusat dan melingkar pada penguasa dan orang-orang yang punya akses kepada kekuasaan. Semua berjuang atas nama masyarakat, sementara masyarakat Aceh terimpit oleh dua kekuatan besar, yaitu antara mendukung eksekutif atau legislatif. Inilah pilihan yang sangat sulit, karena bayang-bayang konflik 30 tahun masih terekam jelas di benak.

Elemen sipil
Sisi lain melemahnya fungsi dan peran elemen sipil sebagai poros alternatif masyarakat juga menjadi sebab demokrasi Aceh mengkhawatirkan. Elemen sipil terjebak dukung mendukung kekuasaan dan terlibat politik praktis. Sehingga, kekuatan politik nonpartai yang diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan publik menjadi mati. Institusi yang ada justru menjadi perpanjangan tangan parpol dan penguasa. Hal ini terjadi karena kapitalisasi ekonomi politik oleh kaum elite. Komponen sipil tercerai berai dan terseret mendukung kekuatan politik tertentu. Sehingga, konsolidasi demokrasi yang diharapkan dapat diprakarsai civil society justru tidak terjadi. Ekspektasi rakyat yang besar terhadap perubahan fundamental Aceh dalam 5 tahun ini justru mengalami kebekuan. Yang terjadi justru politik tranksaksional, bukan perubahan.

Pada bagian lain, penyelesaian masalah ala konflik dulu masih mendominasi pikiran dan mindset elite. Statemen yang muncul ke publik seringkali menebar ‘ancaman’ akan kerusuhan dan perang. Sama sekali itu tidak pantas dimunculkan oleh seorang pejabat publik. Sungguh, yang diharapkan masyarakat Aceh setelah damai ini adalah mengisi damai. Jadi, isu utamanya adalah pembangunan dan kesejahteraan. Semua keputusan politik yang diambil sepatutnya didasarkan pada aturan yang ada, dengan mengedepankan akal budi dan prinsip rasionalitas.

Pilkada ini sepatutnya menjadi ujian dan pendewasaan demokrasi bagi Aceh. Para elite harus menyadari kepentingan Aceh yang lebih besar, apalagi pascakonflik dan Tsunami. Sikap mau menang sendiri, baik mempertahankan, maupun merebut kekuasaan haruslah sesuai role of law dan mementingkan masyarakat secara keseluruhan. Jangan sampai keegoisan dan kerakusan elite mengantarkan kembali Aceh ke titik nadir, kembali ke masa gelap dan skenario terburuk, yaitu konflik.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Komunikasi Politik UI, sekjen Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar