Minggu, 04 Maret 2012

Aceh Sayang Buruh

Oleh Azwir Nazar
Sebagai orang Aceh saya sedih dan bersimpati atas musibah yang menimpa buruh di Aceh. Apapun alasan dan siapapun yang melakukan penembakan terhadap mereka harus dikutuk. Saat masa rehab rekon Aceh saya tahu persis derita sebagian besar buruh ini. Terutama buruh bangunan yang datang berduyun dari luar Aceh pasca tsunami. Sebab, rumah saya dan rumah bantuan di desa kami di kerjakan "tukang impor" tersebut. Umumnya berasal dari dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Meski ada yang belum berpengalaman di bidangnya, tapi mereka pekerja keras. Sering sekali buruh kecil ini ditipu kontraktor. Mulai gaji yang terlambat atau tidak dibayar, alasan material yang macet, sampai tempat tinggal yang tak menentu. Ada yang kepulangannyapun terkatung-katung. Syukur, bila ada penduduk yang punya kemudahan memberi mereka makanan enak, kopi dan rokok saat bekerja. Sebagai bentuk keramahan orang Aceh walau sedang ditimpa musibah tsunami. Hingga, ada diantara mereka memilih menetap, bekerja dan berkeluarga di Aceh. Apalagi bila punya skill lebih dan bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cuma tidak banyak yang bernasib demikian.

Pasca rehab rekon memang banyak peluang bekerja di Aceh. Begitu pesat pembangunan infrastruktur, merangsang pekerja luar datang ke Serambi Mekkah. Bagi orang Aceh kedatangan ini sangat menguntungkan. Karena upah buruh bangunan ini lebih murah. Lebih gesit, giat, dan ada yang bekerja 24 jam. Orang Aceh sendiri sangat welcome terhadap pendatang. Dari zaman dahulu sudah dikenal kosmopolit-nya Aceh. Disisi lain, kedatangan pendatang ini ikut membantu tumbuh dan berkembang perekonomian Aceh. Ada malah yang memperluas ekspansi bisnisnya ke sektor lain. Terutama usaha makanan. Masyarakat Aceh terkenal sangat konsumtif. Maka, jangan heran bila anda ke Banda Aceh misalnya, dengan mudah menemukan warung makan Wong Solo, nasi uduk, ayam penyet dan banyak lagi makanan asal Jawa.

Penembakan buruh, petani, penjaga toko, pekerja bangunan dan warga pendatang ini rasanya tidak logis. Ditengah harmonisnya pola hubungan masyarakat dengan warga pendatang. Maka, wajar bila Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menegaskan, siapa pun yang menetap di Aceh, termasuk pendatang untuk bekerja mencari nafkah harus dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Perdamaian Aceh sangat mahal harganya. (Kompas, 7 Januari 2012)

Terkait Pemilukada
Seperti diketahui, dalam sebulan terakhir terjadi lima kasus penembakan yang menewaskan enam warga sipil dan melukai orang lainnya. Kekerasan bersenjata itu terjadi di Biereun, Banda Aceh, Aceh Utara dan Aceh Besar. Kasus terakhir adalah pemberondongan terhadap rumah salah seorang kandidat Bupati di Aceh Utara (Kompas, 14/1).

Kisruh politik antar elit di Aceh terkait pelaksanaan Pemilukada yang dijadwalkan 16 Februari mendatang memang makin rumit. Kedua kubu baik yang menghendaki pilkada tepat waktu maupun yang meminta penundaan memiliki kekuatan berimbang. Kedua pihak merasa paling benar dengan tafsir dan argumentasi hukum masing-masing. Bisa-bisa pilkada Aceh ini mengalami “chaos”. Bila ini terjadi akan mempengaruhi kestabilan politik Aceh 5 tahun mendatang. Sedangkan rakyat terperangkap di tengah dua kekuatan eksekuti dan legislatif ini.

Tapi untungnya PA mundur selangkah untuk meminta MK dapat membuka kembali pendaftaran. Akhirnya Selasa(17/1) MK meminta KIP untuk kembali membuka pendaftaran, sehingga bagi para pihak dapat mendaftarkan calon. Putusan sela selama 7 hari ini merupakan putusan kedua MK yang 3 November dulu pernah juga pernah dikeluarkan. Akhirnya PA mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam Pemilukada Aceh.

Pihak yang ingin pilkada dilanjutkan menganggap tidak ada alasan hukum untuk menunda. Awalnya, Partai Aceh (PA) yang menguasai parlemen Aceh (DPRA) menolak semua tahapan pilkada Aceh karena alasan tidak ada payung hukum. Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh terus melanjutkan tahapan pilkada yang sudah tiga kali bergeser. Bahkan komisioner KIP mengancam mundur kalau pilkada ditunda. Pihaknya paling repot kalau ditunda terus dan tidak ada kepastian.

Situasi Aceh sangat dilematis. KPU meminta fatwa kepada MK untuk menyelesaikan perkara ini. Tapi MK bergeming tidak punya kewenangan mengeluarkan fatwa. Lalu, Mendagri pun menggugat KPU ke MK untuk meminta penundaan Pilkada. Sebaliknya, Eksekutif Aceh berpendapat bila Pilkada ditunda, maka 117 kandidat sekarang ini diseluruh Aceh tidak akan tinggal diam dan akan balik menggugat. Sebab, bilapun terjadi penundaan tidak menjamin situasi Aceh lebih aman. (Kompas, 12/1)

Putusan MK
Akhirnya, MK memutuskan Pemilukada Aceh boleh ditunda sampai 9 April. Sementara pendaftaran calon ditutup. Dalam sidang pembacaan putusan akhir di Gedung MK, Jakarta, Jumat (27/1). Dalam pertimbangannya MK menyebutkan meskipun keamanan di Aceh cukup kondusif dan aparat keamanan siap mengamankan pelaksanaan pemilukada sesuai jadwal, namun mengakomodasi masukan berbagai kepentingan politik dan masalah sosial, MK perlu membuat putusan yang dapat memberi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat terkait pemilukada tersebut.

Padahal, pasca damai, eks GAM menguasai eksekutif dan legislatif. Bahagian penting cita-cita MoU sudah tercapai. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan diperjuangkan karena masih ada klausul MoU yang bertentangan dengan UUPA. Lalu, alangkah sedihnya ketika legislatif (DPRA) bertengkar dengan eksekutif dan kedua belah pihak meminta peradilan di Jakarta. Dulu meminta self government, tapi sekarang malah ramai-ramai merujuk dan meminta fatwa Jakarta.

Belajar dari Pemilu 2009
Bila belajar dari pemilu legislatif April 2009 lalu, juga terjadi peningkatan eskalasi kekerasan 3 bulan menjelang hari pencoblosan. Berdasar catatan Kontras, ada 29 kasus kekerasan selama pemilu 2009. Kasus-kasus itu terjadi periode Januari sampai Mei berupa penyiksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Misalnya, Januari terjadi pelemparan granat terhadap Ayah Banta(PA), Februari terjadi pembunuhan terhadap M Nur dan Abu Karim, serta pelemparan granat, pembakaran dan perusakan baliho kandidat.

28 Maret 2009 SBY berkunjung dan berkampanye di Aceh. Seketika itu keadaan Aceh beransur baik dan aman. PA dan Demokrat lalu menjadi pemenang pemilu. PA menguasai Aceh dengan menguasai 33 dari 69 kursi parlemen Aceh. Partai lokal lain rontok dan tidak ada yang mencapai ambang 3 persen suara. Sementara Demokrat menang sampai 94 persen di Aceh. Sangat fantastis.

Semoga situasi Aceh bukan sengaja diciptakan untuk ‘menghangatkan’ politik menjelang pilkada Aceh. Lalu membangun ‘deal’ atau kompromi politik antar pihak. Mengingat, melihat motif penembakan, target, sasaran dan pola yang terjadi belakangan sepertinya dilakukan oleh kelompok professional dan terlatih. Bukan motif ekonomi karena petrus tersebut tidak mengincar harta korban.

Kalau ini yang terjadi alangkah kejamnya. Mengorbankan buruh yang tak berdosa dan berupaya membenturkan rakyat Aceh dengan etnis tertentu dengan memanfaatkan kisruh elit di Aceh. Maka, seharusnya para elit menunjukkan kedewasaan dan jiwa besar dalam berpolitik. Pilihan damai dan demokrasi yang menandai berakhirnya konflik haruslah tetap menjadi komitmen bersama. Tentu saja tetap berpihak rakyat. Maka, teror terhadap buruh harus segera berakhir. Pemerintah harus bisa menjamin keamanan warga dan bersatu menghadapi teror. Obsesi demokrasi sendiri adalah untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru menebar kebencian dan kekerasan. Dan, karena warga pendatang juga saudara kita. Maka, pemerintah dan seluruh rakyat Aceh wajib pula menjaga mereka. Menyayangi mereka sebagai saudara sendiri. Kapanpun Pemilukada berlangsung!

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI, Pengurus DPP KNPI 2011-2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar