Minggu, 04 Maret 2012

Pemilukada Butuh Cinta

Oleh Azwir Nazar

“dari pada tameuprang, goet tameugeet, atra bansot, atra bansa, syedara pihna”

Putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi waktu 7 hari pendaftaran bagi kandidat dalam Pilkada Aceh menjadi awal masa depan politik Aceh. Putusan no.1/SKLN-X/2012 itu lahir setelah adanya gugatan Mendagri ke KPU dan KIP terkait sengketa kewenangan antar lembaga negara. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan KIP Aceh dan Kabupaten/Kota untuk membuka kembali pendaftaran calon baru selama 7 hari. Sebelumnya, MK pernah mengeluarkan putusan yang sama, 3 November lalu.

Menurut Jusuf Kalla, tokoh yang berperan dalam perdamaian Aceh, keputusan MK tersebut sudah tepat dan KPU memberikan penghargaan kepada MK dengan memutuskan untuk menunda sementara pemilukada Aceh. Harapan JK, penundaan ini supaya seluruh kekuatan politik di Aceh mampu terakomodasi dan dapat bersatu, sehingga penyelenggaraannya dilakukan secara demokratis. Dalam pertimbangan hukum sendiri MK menjelaskan jika keputusan KIP Aceh no 26. Tahun 2011 tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan gangguan keamanan dan kamtibnas, dalam pelaksanaan Pemilukada (Tribunnews, 19/1).

Lazimnya, secara hukum tidak ada lagi alasan MK mengeluarkan putusan sela sampai dua kali pada satu perkara. Tapi sebagaimana dikatakan Jusuf Kalla bahwa keputusan ini lebih untuk kelanggagengan damai di Tanah Rencong. Lalu, MK mengamanatkan pemilukada tetap berlangsung tepat waktu yaitu 16 Februari. Meski dalam waktu 7 hari itu KIP juga harus melaksanakan verifikasi serta tahapan lain sampai bakal calon menjadi calon.

Ini tentu akan merepotkan KIP yang sebelumnya juga mengalami beberapa kali penundaan. Apalagi munculnya calon perseorangan. Pasti akan memakan waktu lebih panjang, terutama verifikasi faktual fotocopy KTP pendukung calon. Maka, KIP kemudian mengusulkan pencoblosan digeser menjadi 9 April saja.

Konstelasi politik Acehpun berubah. Mendaftarnya kandidat PA, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, disusul dua pasangan independen masing-masing Hendra Fadli/Yuli Zuardi Rais dan Fakhrulsyah Mega/Zulfinar akan menjadi babak baru pertarungan kursi Aceh 1.

Pihak patahana (incumbent) yang lebih diunggulkan sebelumnya, harus berusaha dan berjuang lebih kuat untuk bisa menang. Apalagi ceruk pasar yang diperebutkan satu sama lain saling beririsan dan tidak jauh berbeda. Hanya Partai Aceh yang lebih berani tampil beda dengan menggarap massa ideologis di akar rumput. Sehingga identitasnya lebih mudah dikenali dan menjadi diferensiasi dengan kandidat lain.

Sebagai partai pemenang pemilu dan kekuatan politik dominan di Aceh, PA mengklaim akan meraih 60 persen suara. Mereka juga mendaftar di level Kabupaten/Kota, seperti Aceh Utara, Lhoksemawe, Aceh Jaya, dan Pidie. Padahal sebelumnya, PA bersikeras meminta penundaan Pilkada dan menolak mengakui semua tahapan yang dilangsungkan KIP. Dengan alasan tidak ada payung hukum, dan menuding KIP telah ‘mengangkangi’ DPRA.

Munculnya kandidat baru sepertinya akan membuat tahapan Pilkada Aceh berlangsung lebih lama dari jadwal semula dan kemungkinan bergesernya hari H pencoblosan tak terelakkan. Malah, untuk level Gubernur bisa saja terjadi 2 (dua) kali putaran. Mengingat ada 7 (tujuh) pasangan yang akan bertarung.

Mendaftarnya PA harus dilihat sebagai langkah positif menuju kestabilan politik di Aceh dan patut diapresiasi. Masalah pilihan tentunya semua terserah rakyat Aceh. Apalagi sebulan belakangan kisruh pemilukada ini telah memicu memanasnya situasi keamanan di Aceh. Seperti diketahui terjadi lima kasus penembakan yang menewaskan enam warga sipil dan melukai orang lainnya. Kekerasan bersenjata itu terjadi di Biereun, Banda Aceh, Aceh Utara dan Aceh Besar. Kasus terakhir adalah pemberondongan terhadap rumah salah seorang kandidat Bupati di Aceh Utara (Kompas, 14/1).

Partisipasi Politik Rakyat
Kini, hasrat politik elit sudah terpenuhi. Setelah beramai-ramai berhasil menjadi kandidat. Situasi Acehpun relatif aman. Semoga terus membaik tidak saja di permukaan. Saatnya kaum elit dan para kandidat memberi ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi. Sehingga rakyat lebih antusias mensukseskan pemilukada.

Karena demokrasi memberi ruang untuk rakyat berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik merupakan aspek penting dari demokrasi. Rakyat melakukan partisipasi politik karena berasumsi bahwa kepentingan dan kebutuhannya tersalurkan atau diperhatikan. Partisipasi politik disini tidak sebatas pemberian suara pada pemilu. Meski pemilu dipakai sebagai lambing dan tolak ukur dari sistem demokrasi (Marriam Budiarjo, 2008)

Maka tidak berlebihan bila rakyat menghendaki dan berharap Pilkada ini berlangsung damai, jujur, adil dan bebas teror. Sehingga, hasrat rakyat menyalurkan aspirasi sebagai bentuk sirkulasi penggantian elit pemerintahan lima tahunan terpuaskan.

Pilkada ini butuh cinta. Terutama di mulut dan prilaku para kandidat. Berikut tim suksesnya. Dengan cara berlomba menyusun visi misi, program, dan strategi pemenangan yang pro rakyat. Tidak mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif dengan semangat perdamaian. Mari kita berkompetisi dalam suasana penuh cinta. Dengan belajar menghargai perbedaan dan pilihan politik. Toh, demokrasi sendiri bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, atas nama demokrasi kita menebar benih kebencian dan menyusahkan masyarakat.

Saatnya pula kita satukan energi positif untuk mengisi era damai untuk membangun Aceh. Pemilukada bukanlah segala-galanya. Masih banyak agenda lain yang mesti kita tuntaskan. Akhirnya dengan bergandengan tangan, sama-sama kita sempurnakan bait-bait lagu Rafli diatas dengan senandung lantang dan penuh cinta. “gaseeh ngon sayang, rahmat neulimpah, neubri keuh Allah keu kamoe dumna, tamumat jaroe getthat meutuah, meunan geusurah rasulambiya, desya peuampon Allah tuhanku, beupengeuh hatee keu kamoe dumna”. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia

*dimuat di Tabloid MODUS Aceh edisi februari 2012

Aceh Sayang Buruh

Oleh Azwir Nazar
Sebagai orang Aceh saya sedih dan bersimpati atas musibah yang menimpa buruh di Aceh. Apapun alasan dan siapapun yang melakukan penembakan terhadap mereka harus dikutuk. Saat masa rehab rekon Aceh saya tahu persis derita sebagian besar buruh ini. Terutama buruh bangunan yang datang berduyun dari luar Aceh pasca tsunami. Sebab, rumah saya dan rumah bantuan di desa kami di kerjakan "tukang impor" tersebut. Umumnya berasal dari dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Meski ada yang belum berpengalaman di bidangnya, tapi mereka pekerja keras. Sering sekali buruh kecil ini ditipu kontraktor. Mulai gaji yang terlambat atau tidak dibayar, alasan material yang macet, sampai tempat tinggal yang tak menentu. Ada yang kepulangannyapun terkatung-katung. Syukur, bila ada penduduk yang punya kemudahan memberi mereka makanan enak, kopi dan rokok saat bekerja. Sebagai bentuk keramahan orang Aceh walau sedang ditimpa musibah tsunami. Hingga, ada diantara mereka memilih menetap, bekerja dan berkeluarga di Aceh. Apalagi bila punya skill lebih dan bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cuma tidak banyak yang bernasib demikian.

Pasca rehab rekon memang banyak peluang bekerja di Aceh. Begitu pesat pembangunan infrastruktur, merangsang pekerja luar datang ke Serambi Mekkah. Bagi orang Aceh kedatangan ini sangat menguntungkan. Karena upah buruh bangunan ini lebih murah. Lebih gesit, giat, dan ada yang bekerja 24 jam. Orang Aceh sendiri sangat welcome terhadap pendatang. Dari zaman dahulu sudah dikenal kosmopolit-nya Aceh. Disisi lain, kedatangan pendatang ini ikut membantu tumbuh dan berkembang perekonomian Aceh. Ada malah yang memperluas ekspansi bisnisnya ke sektor lain. Terutama usaha makanan. Masyarakat Aceh terkenal sangat konsumtif. Maka, jangan heran bila anda ke Banda Aceh misalnya, dengan mudah menemukan warung makan Wong Solo, nasi uduk, ayam penyet dan banyak lagi makanan asal Jawa.

Penembakan buruh, petani, penjaga toko, pekerja bangunan dan warga pendatang ini rasanya tidak logis. Ditengah harmonisnya pola hubungan masyarakat dengan warga pendatang. Maka, wajar bila Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menegaskan, siapa pun yang menetap di Aceh, termasuk pendatang untuk bekerja mencari nafkah harus dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Perdamaian Aceh sangat mahal harganya. (Kompas, 7 Januari 2012)

Terkait Pemilukada
Seperti diketahui, dalam sebulan terakhir terjadi lima kasus penembakan yang menewaskan enam warga sipil dan melukai orang lainnya. Kekerasan bersenjata itu terjadi di Biereun, Banda Aceh, Aceh Utara dan Aceh Besar. Kasus terakhir adalah pemberondongan terhadap rumah salah seorang kandidat Bupati di Aceh Utara (Kompas, 14/1).

Kisruh politik antar elit di Aceh terkait pelaksanaan Pemilukada yang dijadwalkan 16 Februari mendatang memang makin rumit. Kedua kubu baik yang menghendaki pilkada tepat waktu maupun yang meminta penundaan memiliki kekuatan berimbang. Kedua pihak merasa paling benar dengan tafsir dan argumentasi hukum masing-masing. Bisa-bisa pilkada Aceh ini mengalami “chaos”. Bila ini terjadi akan mempengaruhi kestabilan politik Aceh 5 tahun mendatang. Sedangkan rakyat terperangkap di tengah dua kekuatan eksekuti dan legislatif ini.

Tapi untungnya PA mundur selangkah untuk meminta MK dapat membuka kembali pendaftaran. Akhirnya Selasa(17/1) MK meminta KIP untuk kembali membuka pendaftaran, sehingga bagi para pihak dapat mendaftarkan calon. Putusan sela selama 7 hari ini merupakan putusan kedua MK yang 3 November dulu pernah juga pernah dikeluarkan. Akhirnya PA mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam Pemilukada Aceh.

Pihak yang ingin pilkada dilanjutkan menganggap tidak ada alasan hukum untuk menunda. Awalnya, Partai Aceh (PA) yang menguasai parlemen Aceh (DPRA) menolak semua tahapan pilkada Aceh karena alasan tidak ada payung hukum. Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh terus melanjutkan tahapan pilkada yang sudah tiga kali bergeser. Bahkan komisioner KIP mengancam mundur kalau pilkada ditunda. Pihaknya paling repot kalau ditunda terus dan tidak ada kepastian.

Situasi Aceh sangat dilematis. KPU meminta fatwa kepada MK untuk menyelesaikan perkara ini. Tapi MK bergeming tidak punya kewenangan mengeluarkan fatwa. Lalu, Mendagri pun menggugat KPU ke MK untuk meminta penundaan Pilkada. Sebaliknya, Eksekutif Aceh berpendapat bila Pilkada ditunda, maka 117 kandidat sekarang ini diseluruh Aceh tidak akan tinggal diam dan akan balik menggugat. Sebab, bilapun terjadi penundaan tidak menjamin situasi Aceh lebih aman. (Kompas, 12/1)

Putusan MK
Akhirnya, MK memutuskan Pemilukada Aceh boleh ditunda sampai 9 April. Sementara pendaftaran calon ditutup. Dalam sidang pembacaan putusan akhir di Gedung MK, Jakarta, Jumat (27/1). Dalam pertimbangannya MK menyebutkan meskipun keamanan di Aceh cukup kondusif dan aparat keamanan siap mengamankan pelaksanaan pemilukada sesuai jadwal, namun mengakomodasi masukan berbagai kepentingan politik dan masalah sosial, MK perlu membuat putusan yang dapat memberi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat terkait pemilukada tersebut.

Padahal, pasca damai, eks GAM menguasai eksekutif dan legislatif. Bahagian penting cita-cita MoU sudah tercapai. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan diperjuangkan karena masih ada klausul MoU yang bertentangan dengan UUPA. Lalu, alangkah sedihnya ketika legislatif (DPRA) bertengkar dengan eksekutif dan kedua belah pihak meminta peradilan di Jakarta. Dulu meminta self government, tapi sekarang malah ramai-ramai merujuk dan meminta fatwa Jakarta.

Belajar dari Pemilu 2009
Bila belajar dari pemilu legislatif April 2009 lalu, juga terjadi peningkatan eskalasi kekerasan 3 bulan menjelang hari pencoblosan. Berdasar catatan Kontras, ada 29 kasus kekerasan selama pemilu 2009. Kasus-kasus itu terjadi periode Januari sampai Mei berupa penyiksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Misalnya, Januari terjadi pelemparan granat terhadap Ayah Banta(PA), Februari terjadi pembunuhan terhadap M Nur dan Abu Karim, serta pelemparan granat, pembakaran dan perusakan baliho kandidat.

28 Maret 2009 SBY berkunjung dan berkampanye di Aceh. Seketika itu keadaan Aceh beransur baik dan aman. PA dan Demokrat lalu menjadi pemenang pemilu. PA menguasai Aceh dengan menguasai 33 dari 69 kursi parlemen Aceh. Partai lokal lain rontok dan tidak ada yang mencapai ambang 3 persen suara. Sementara Demokrat menang sampai 94 persen di Aceh. Sangat fantastis.

Semoga situasi Aceh bukan sengaja diciptakan untuk ‘menghangatkan’ politik menjelang pilkada Aceh. Lalu membangun ‘deal’ atau kompromi politik antar pihak. Mengingat, melihat motif penembakan, target, sasaran dan pola yang terjadi belakangan sepertinya dilakukan oleh kelompok professional dan terlatih. Bukan motif ekonomi karena petrus tersebut tidak mengincar harta korban.

Kalau ini yang terjadi alangkah kejamnya. Mengorbankan buruh yang tak berdosa dan berupaya membenturkan rakyat Aceh dengan etnis tertentu dengan memanfaatkan kisruh elit di Aceh. Maka, seharusnya para elit menunjukkan kedewasaan dan jiwa besar dalam berpolitik. Pilihan damai dan demokrasi yang menandai berakhirnya konflik haruslah tetap menjadi komitmen bersama. Tentu saja tetap berpihak rakyat. Maka, teror terhadap buruh harus segera berakhir. Pemerintah harus bisa menjamin keamanan warga dan bersatu menghadapi teror. Obsesi demokrasi sendiri adalah untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru menebar kebencian dan kekerasan. Dan, karena warga pendatang juga saudara kita. Maka, pemerintah dan seluruh rakyat Aceh wajib pula menjaga mereka. Menyayangi mereka sebagai saudara sendiri. Kapanpun Pemilukada berlangsung!

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI, Pengurus DPP KNPI 2011-2014.

Film Bagus Pemilukada

Oleh Azwir Nazar
Istillah ‘film bagus’ ini pertama sekali dilontarkan Wagub Muhammad Nazar, salah satu-kandidat Gubernur Aceh menanggapi putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon baik Gubernur/wakil maupun 17 Bupati/walikota di Aceh. Harapan Nazar pemilukada ini lebih baik dan berkualitas di banding pemilu 2006 dan pemlilu legislatif 2009, (17/1).

Nazar menukilkan Pilkada Aceh seperti film saja. Dan makin banyak yang bermain, akan makin bagus filmnya. Lain Nazar lain pula Irwandi Yusuf. Irwandi menganggap dirinya orang biasa dalam pertarungan Pemilukada ini. Padahal sebenarnya memegang peran penting sebagai Gubernur. Dalam sebuah media online (25/1) ia mengatakan bila masyarakat Aceh ingin memilih dari kalangan perjuangan, pilih Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Jika ingin dari kalangan Profesor pilih Darni Daud. Jika ingin dari kalangan ulama pilih Abi Lampisang. Jika mau dari kalangan bangsawan pilih Muhammad Nazar. Dan, jika masyarakat ingin Gubernur dari kalangan biasa saja, pilih saya. Begitu kira-kira Pernyataan Bang Wandi.

Sebelumnya, Zaini Abdullah pernah juga melontarkan sebuah pernyataan menarik di media saat konferensi pers usai mendaftar di KIP Aceh (20/1). Mantan Mentroe Kesehatan GAM ini mengatakan ada masa kita mundur, ada pula masa kita maju. Menurut mantan Juru runding GAM ini, bukan soal maju atau mudurnya, tapi ini adalah win-win solution untuk kepentingan kelanjutan perdamaian. Politik adalah sesuatu yang tak bisa diprediksi. Terkadang di satu waktu harus ada langkah mundur dan di waktu yang lain perlu maju. Jawabnya sangat diplomatis menjawab pertanyan wartawan karena sebelum keputusan sela MK kedua, PA tidak mendaftar.

Prof Darni Daud juga tidak mau ketinggalan, ia melontarkan pernyataannya mengejutkan publik ketika mengatakan dirinya mendaftar agar Pilkada ditunda.Saya tidak dipilih oleh rakyat Aceh juga tidak apa-apa, yang penting pilkada bisa berjalan damai sesuai aturan. Dengan saya maju, saya harus dites kesehatan dan diuji membaca Alquran, itu membutuhkan waktu agar pilkada ditunda, kata pak Darni dalam sebuah forum diskusi (13/11).

Pemain baru, Hendra Fadli maupun Zulfahrulsyah Mega belum berkata-kata. Awalnya karena mungkin mereka merasa belum ‘aman’. Sebab, belum diverifikasi faktual fotokopy KTP dukungan oleh KIP. Walau dalam test mengaji, Zulfinar, calon wakil dari Zulfahrulsyah Mega meraih pemuncak satu. Tapi, akhirnya mereka gagal menjadi calon karena tidak mencukupi syarat. Saya mendengar salah satu pasangan akan menggugat KIP. Sementara Abi Lampisang kelihatan slow. Dan cukup senang dengan pilihan jatuh no 1. Kubu Abi tidak terlalu banyak tampil di media.

Dan, ternyata tidak saja para kandidat yang angkat bicara. Kita mencatat Abdul Salam Poroh, ketua KIP pun megancam mundur bila Pemilukada ditunda (7/1). KIP memang sangat direpotkan dalam ‘film’ pemilukada ini. Bayangkan sudah 4 kali penundaan. Mulai Oktober, 14 November, 24 Desember, 16 Februari dan 9 April.

Pemilukada Aceh memang ibarat drama. Bukan saja para para kandidat yang bersahut-sahutan di media. Namun, juga proses panjang tarik ulur Pilkada ini sendiri. Bahkan menjadi kisruh antar elit yang memicu memanasnya situasi Aceh sebulan lalu. Kita belum tahu apakah perang urat saraf ini akan berlanjut atau justru berakhir dengan putusan MK, Jumat (27/1).

Kisruh Pilkada berawal ketika MK mengabulkan uji materi pasal 256 UUPA tentang calon perseorangan. DPRA yang mayoritas PA tidak mengakuinya. Lalu menolak semua tahapan pemilukada. KIP dituding ‘melangkahi’ DPRA sebagai representatif wakil rakyat. Sementara eksekutif sebaliknya menuduh DPRA mengulur waktu dengan tidak membahas raqan qanun Pemilukada. Kemudian KIP merujuk Qanun no. 7 tahun 2006 dengan mengakomodasi calon perseorangan. Kateganganpun dimulai. Sampai ada collingdown sebulan selama Ramadhan.

Film ini kemudian berlanjut pada aksi gugat menggugat ke MK. Situasi Aceh membara. Penembakan buruh dan warga sipil dengan etnis tertentupun berlangsung. Isu Aceh kemudian menjadi ‘hot’ dan top topik berbagai media nasional. Putusan sela MK pertama (3/11), memunculkan calon baru. Waktu Pemilukadapun bergeser. Mendagri lalu menggugat KPU dan KIP ke MK, sampai putusan sela MK kedua dan putusan akhir MK yang memutuskan penundaan Pilkada paling telat 9 April mendatang.

Teori Drama/FIlm
Dalam ilmu komunikasi, istilah drama atau film bukan hal asing. Apalagi dalam panggung politik. Dalam kampanye Presiden di Amerika sekalipun dipakai. BIla kita telusuri, ada istilah Dramatism. sebuah aliran yang menganggap bahwa politik adalah panggung sandiwara. Aliran ini dikenalkan oleh Kenneth Burke seorang kritikus pertunjukan drama dan pemerhati komunikasi pada akhir abad ke 19. Alat yang dia pakai untuk menganilisis dikenal dengan dramatic pentad. Metode singkat mengetahui ‘talk about their talk about’.

Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Everyday Life juga memperkenalkan tentang dramaturgi. Sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Individu dapat dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, tapi impresi orang akan berbeda-beda. Di panggung politik, politisi menciptakan image terhadap penampilannya, tapi itu berbeda dengan realitas sebenarnya. Fokus pendekatan ini bukan apa, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Prilaku ekspresif inilah disebut bersifat dramatik. Karena ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya.

Sejenak, film atau drama pemilukada ini memang jeda. Sepertinya alur sudah mulai menurun. Situasi Acehpun sudah lebih baik. Putusan akhir MK yang memutuskan Pemilukada 9 April dianggap sangat rasional. KIP pun tidak mungkin memaksakan hari pencoblosan 16 Februari, apalagi dengan munculnya calon perseorangan. Film bagus pemilukada ini akan berakhir atau justru baru memulai episode berikutnya, kita pantas saksikan bersama.

Hanya saja, kita berharap film bagus pemilukada Aceh ini jangan sampai orang lain sutradara dan produsernya. Elit Aceh lalu jadi pelakon saja. Rakyat Aceh penonton budiman. Lalu bertepuk tanganlah mereka yang ada di negeri lain. Karena melihat kita asik bertengkar!

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI dan Alumni Bahasa Arab IAIN Ar Raniry.