Minggu, 05 Februari 2012

Catatan Novel Hafalan Shalat Delisa

Oleh Azwir Nazar
Ini hanya catatan pribadi penyemangat untuk memotivasi diri menulis tentang Tsunami, dan juga teman-teman yang selamat dari bencana 2004 lalu itu. Terutama orang Aceh yang menjadi saksi hidup bagaimana selamat. Maka, saya menyempatkan diri 25 Desember 2011 lalu menonton film Catatan Hafalan Shalat Delisa di Blok M Jakarta. Kebetulan, kami menonton bersama rombongan mahasiswa Aceh. Banyak juga ibu-ibu dan anak-anak menangis usai menonton.

Novel Hafalan shalat Delisa adalah sebuah cerita seorang anak yang selamat dari tragedi Tsunami dan sangat menginspirasi. Bukan saja bagi masyarakat korban, tapi novel yang kini difilmkan itu juga menggugah penonton tentang bagaimana semangat hidup dan motivasi seorang anak yang selamat dari musibah.

Delisa, seorang anak asal LhokNga, sebuah daerah pesisir di Aceh Besar selamat dari amukan Tsunami meski harus kehilangan satu kakinya. Ia tetap saja seperti anak kecil yang polos punya cita-cita menamatkan hafalan shalatnya, jadi anak yang jujur sehingga bisa dapat hadiah coklat.

Meski Delisa hanya tinggal dengan ayahnya, sebab Ummi dan tiga saudara perempuan'a hilang saat Air bah menghantam Aceh, Desember 2004 lalu. Delisa jadi simbol anak Aceh yang kuat dan cerdas, sesekali celotehnya girang dan lucu. Ada tawa dan tangis rindunya pada Ummi yang membuncah, memecah hening di sela-sela dialog-dialog film itu.

Novel dan Film ini juga memantapkan tekad saya untuk menulis tentang Tsunami. Mengapa Mas Tere Liye bisa menulis tentang cerita hidup dan mati kami, dan kami sendiri tidak menuliskannya? Padahal cerita ini tidak pernah habis dan selesai. Akan dikenang sepanjang usia langit dan bumi.

Lagipula, akan berbeda ceritanya, bila menulis dalam bahasa korban. Ada "taste" dan "feel" yang beda. Ada banyak catatan dangkal dari novel ini, menyangkut bahan baku tentang begitu banyak sisi, pelajaran dan hikmah Tsunami itu sendiri. Ada banyak moment yang terputus. Drama-drama penting kehidupan yang terabai. Untuk itu ini menjadi motivasi untuk menuliskan sendiri tentang musibah besar tersebut.

Sebut saja, helikopter yang meraung-meraung di udara yang ada dalam film Delisa. Membayang lekat dipikiran kita bagaimana saat wilayah seperti Calang dan Meulaboh, Aceh Barat, pusat gempa terisolasi karena jalur darat putus. Lalu, orang-prang berlari-lari di bawah bayangan helikopter yang melempar kardus-kardus Indomie, berebutan satu sama lain. Relawan multi etnis yang berdatangan dan mengangkut banyak mayat serta membersihkan kampung, rumah sakit dan lain-lain dari tumpukan kayu.

Atau cerita tentang kepanikan malam pertama usai gempa. Cerita Banda Aceh yang jadi kota mati. Orang-orang yang mengungsi saling bercerai berai dengan keluarga. Tanpa ada khabar berita. Malam itu juga banyak gempa susulan yang menambah panik. Orang-orang mengungsi panik, melompat keluar mesjid karena ketakutan akan reruntuhan. Maupun antusiasme warga lain yang tidak terkena air bah, lalu membantu memberi makan, air dan pakaian. Solidaritas yang sungguh luar biasa.

Kita ketahui saat itu (2004), Aceh sedang Darurat Sipil. Jadi persoalan keamanan terganggu. Kalau kita bepergian maka semua kendaraan harus lengkap surat menyuratnya. KTP juga harus ada sempurna. Sweeping adalah hal biasa. Akibatnya, bepergian di Aceh bagi yang tidak terlalu perlu akan dihindari sebisa mungkin.

Namun, skat-skat itu sirna saat Tsunami. Motor-motor tanpa lampu, manusia-manusia tanpa KTP, menerobos malam-malam gelap bergelimpangan mayat, atau melangkahi gunung berjam-jam tanpa makanan dan air. Mayat-mayat bertelanjangpun adalah catatan penting Tsunami y seperti kiamat kecil itu.

Ada juga orang yang meratapi nasib sendiri-sendiri. Menangis disudut-disudut pengungsian, tanpa bisa membantu, tanpa berkata-kata. Listrik mati, komunikasi terputus, belum ada tenda, apalagi pakaian yang seadanya.

Medan tempuh mencari korban selamatpun jauh dan berliku. Tapi para korban selamat banyak yang terjebak di atas-atas bangunan rumah y tidak jadi roboh.

Belum lagi cerita mesjid-mesjid yang kokoh. Anak-anak yang selamat dengan keajaiban. Pemuda-pemuda yang hidup sampau sekarang karena menolong orang tua. Atau cuplikan prilaku manusia dalam hura-hara Minggu, 7 tahun lalu itu.

Posko-posko darurat yang didirikan. List nama-nama yang kita susun menjadi pusat informasi. Nasib di tenda. Dapur umum. Kuburan massal. Sekolah sementara. Dan ribuan kisah lain yang hanya korban yang mengetahui. Lalu mengapa kita tidak menuliskannya? Sesuai pengalaman masing-masing. Sebagai orang Aceh? Supaya kisah Tsunami ini akan menginspirasi dengan fakta yang benar pula.

----
Tapi, bagamanapun kita tetap memberi apresiasi atas karya besar mas Tere ini. Bagaimana beliau sudah menuliskan cerita ini sebagai cerita yang akan hidup dalam setiap diri korban dan orang Aceh. Film Hafalan Shalat Delisa ini juga menceritakan bagaimana cinta Ibu dan Anak. Meski banyak harapan supaya para pemain filmnya adalah ‘artis’ orang Aceh. Dan ‘setting’ Aceh-nya dengan beragam budaya masih minim sekali.

Semoga akan ada karya korban Tsunami untuk novel Tsunami di tahun mendatang. Amin. Ayo menulis!