Sabtu, 19 November 2011

"Secercah Harapan dari Timnas Aceh"

Meski ditahan imbang 0-0 oleh Tim Villa2000, Timnas Aceh secara umum bermain bagus. Pola bermain mulai tampak. Operan satu dua, passing dan kontrol bola sudah baik. Secara tehnik antar lini boleh dikata sangat merata. Terutama di akhir babak kedua” ujar Azwir Nazar seorang warga Aceh peminat sepakbola di Jakarta

Menurutnya, melawan Tim villa2000 juara Piala Suratin 2010/2011 bisa imbang untuk pertandingan perdana saya pikir wajar. Adik-adik itu juga masih lelah dan baru tiba dari Paraguay, perlu masa adaptasi dan sosialisasi. Baik dari sisi fisik dan juga cuaca.

Cuaca di Paraguay kan berbeda, di Jakarta sangat panas. Ini memperngaruhi konsentrasi pemain di lapangan. Alhamdulillah, adik-adik itu bermain cukup 'ngotot' walau di bapak pertama kesannya masih 'malu-malu'.

Saya melihat ada secercah harapan bagi sepakbola Aceh di tahun mendatang bila mereka terus berlatih dan tidak cepat puas. Fisik mereka lebih bagus dengan tim juara Suratin. Hanya keberuntungan saja tadi tidak bisa mencetak goal. Ada satu peluang bagus diakhir babak kedua yang mengenai mistar gawang. Meski tidak goal, mereka tunjukkan kelasnya” pungkas Azwir yang nonton langsung di Lapangan PTIK Jaksel tadi sore.

Tapi, tentu harapan masyarakat sepakbola Aceh justru lebih besar dari itu. Pelatih, official dan pemain harus menyadari itu, sehingga harus lebih tekun dan terus fokus dan memperbaiki kualitas permainan. Bila tidak, banyak orang akan kecewa. Anda bisa lihat, disini saja banyak teman-teman Aceh yang meluangkan waktu untuk menonton. Azwir juga di dampingi mantan Presiden World Acehnese Association (WAA) Canada, Tgk Hamdani Hamid. Ini Tgk Ham yang WNA aja, pas saya bilang adik-adik Aceh alumni Paraguay, langsung kita menonton langsung.

Sebagai pencinta sepakbola, saya mengapresiasi permainan mereka dan terus memberi supportlah, semoga pertandingan selanjutnya di Aceh bisa mengobati hasrat kebangkitan sepakbola Aceh yang selama ini minim prestasi. Maju terus Timnas Aceh!

 


Penunjukan Pj Jangan Jadi Transaksi Politik

saturday, 12 November 2011
JAKARTA - Pilkada Aceh harus tetap dalam bingkai perdamaian dan berpihak rakyat karena masyarakat harus mendapatkan ruang berdemokrasi dan bebas menentukan pilihan politik sesuai nurani masing-masing.

Pernyataan ini dilontarkan Azwir Nazar, pengamat komunikasi politik dalam diskusi politik dan pilkada di Jakarta, Sabtu (12/11). "Karena demokrasi adalah milik seluruh rakyat Aceh. Bukan saja menjadi konsumsi elit," ujar Azwir dalam rilis yang dikirim Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya atau Kompajaya kepada redaksi The Atjeh Post.

Menyinggung soal penundaan pilkada, menurut mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia jika harus ditunda dan penunjukan Pj (Penjabat) gubernur harus independen, dan sebaiknya dari kalangan profesional.

"Yang mengerti persoalan Aceh, terutama menyangkut tahapan-tahapan pilkada. Sehingga kehadirannya dapat menjadi penyejuk hati masyarakat, mampu merangkul semua perbedaan. Hal ini penting supaya pilkada berlangsung kondusif, dan pembangunan Aceh menjadi lebih baik," ujar Azwir.

Menurut dia, penunjukkan Pj bukanlah transaksi politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. "Presiden atau pihak terkait harus arif dan bijak dalam menentukan seorang Pj. Pertimbangannya bukanlah "setoran". Rakyat Aceh butuh penyejuk dan pemersatu. Jangan pecah belah rakyat,” kata Azwir.

Di sisi lain, kata Azwir, penundaan pilkada sedikit banyak akan merubah peta dan konstelasi politik di Aceh. Apalagi dengan bertambahnya pasangan calon pasca putusan sela MK mengenai diperpanjangnya masa pendaftaran calon.

"Lagi pula, kalau pilkada ditunda, maka semua calon posisinya akan sama. Tinggal bagaimana kandidat menyusun strategi pemenangan dan membangun kerja-kerja politik di lapangan."

Selain Azwir, juga hadir sebagai pembicara Teungku Hamdani Hamid dari World Achehnese Association, yang berdomisili di Kanada.

Menurut Hamdani, demokrasi Aceh masih dalam tahapan belajar karena baru keluar dari konflik panjang. “Memang butuh waktu untuk berdemokrasi dan psikologi masyarakat Aceh masih terngiang konflik,” ujar Teungku Ham, panggilan akrab Hamdani Hamid.

Hamdani mengatakan, faktor pemerataan ekonomi juga menjadi indikator penting agar demokrasi Aceh bisa maju dan berkembang. "Karena kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang memiliki kebutuhan hidup sehari-hari."

Diskusi bertema Pilkada Aceh yang bersih, damai dan bermartabat itu dimulai pukul 15.00 WIB hingga 17.45 WIB. Hadir mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta.

"Ini merupakan diskusi rutin bulanan yang diadakan Kompajaya” ujar Harianto Arbiye, ketua panitia. Kompajaya adalah sebuah organisasi mahasiswa dan pemuda Aceh di Jakarta yang dibentuk dengan tujuan sebagai wadah silaturahmi antar mahasiswa Aceh.[]

Rabu, 09 November 2011

Kampanye Tanpa Wali

Oleh Azwir Nazar
Kampanye dengan menggunakan simbol tokoh bukanlah hal baru dalam dunia politik. Terutama di Indonesia. Sebut saja, Seokarno, Presiden pertama Indonesia. Ia menjadi simbol, atribut sekaligus isu kampanye PDI Perjuangan. Sampai sekarang Soekarno masih dikenang dan di-‘dewa’-kan bagi sebagian masyarakat di Jawa. Gusdur bagi kalangan Nahdiyyin dengan Partai PKB-nya juga mendapat tempat istimewa. Bahkan, Soeharto yang dihujat sekalipun, menjadi ikon Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Begitupun SBY, menjadi lokomotif dan faktor penting kemenangan Demokrat pemilu 2009 lalu.

Personalisasi tokoh bagi masyarakat yang menginginkan adanya seorang tokoh akan sangat berpengaruh dalam perolehan suara. Partai atau kandidat akan lebih mudah berkampanye. Tak dapat dipungkiri, ada pula partai yang mengandalkan ideologi dan jaringan. Apalagi, umumnya Partai politik hanya melakukan kerja dan aktivitas politik menjelang pemilu atau pilkada saja. Maka, disinilah peran seorang tokoh menjadi penting dan menentukan dalam isu kampanye. Meski sudah wafat, sosok tersebut akan menjadi simbol spirit dan cita-cita perjuangan. Ia terus hidup sepanjang perjalanan sebuah partai atau sebuah masyarakat yang mengaguminya.

Sosok Hasan Tiro sebagai ikon perjuangan Aceh akan ‘dipertaruhkan’ dalam Pilkada mendatang. Kemenangan besar Partai Aceh (PA) dalam pemilu legislatif 2009 di Aceh tidak terlepas dari ‘jualan’ sosok Hasan Tiro. Begitupun, pilkada 2006 yang memenangkan Irwandi Nazar. Foto dengan Hasan Tiro saat itu, sangat ‘laku’ di masyarakat Aceh kala itu.

Pemilihan isu ini tidak hanya menyangkut semata urusan coblos mencoblos. Lebih dari itu adalah bagaimana menghadirkan romantisme perjuangan. Ketidakikutan PA dalam Pilkada ini juga telah ‘membunuh’ Wali, atau memperpendek usia perjuangannya. Apalagi bila tiada kandidat yang menjadikannya sebagai simbol, atribut atau isu kampanye. Saya yakin kisruh politik ini tidak terjadi bila “peunuetoh Wali” masih ada.

Maka, isu kampanye yang akan diangkat kandidat menjadi hal menarik untuk dikaji. Apa yang diperjuangkan oleh ketiga kandidat dalam meraup dukungan demi mensejahteraan rakyat. Lalu, bagaimana membangun diferensiasi antar ketiganya. Sehingga rakyat layak menggantungkan harapan perubahan dan mata rantai perjuangan Aceh?

Dalam hal isu yang diperjuangkan harus diakui memang PA lebih jelas dan tegas. Baik secara ideologis maupun cita-cita politik. Terlepas, apapun penilaian publik, PA berhasil menjadikan diri mereka berbeda dengan yang lain. Namun, apa yang akan diperjuangkan oleh Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, maupun Abi Lampisang? Atau calon ¬new comer pasca perpanjangan waktu putusan MK. Isu kampanye yang diusung calon gubernur akan mempengaruhi masyarakat di Aceh untuk datang ke TPS dan memilih pasangan calon. Tanpa isu yang menarik banyak orang enggan datang ke bilik pemungutan suara. Apalagi PA tidak mendaftar. Sebagian masyarakat lebih memilih aman di rumah, dibanding berjalan ke bilik pemungutan suara, bila kondisi politik tidak kondusif untuk memilih.

Isu tunda atau boikot pilkada justru lebih kentara di masyarakat.
Mengenang spirit Wali menjadi penting. Ijtihad politik yang dilakukannya dalam usaha meningkatkan martabat Aceh perlu dicontoh dan diteruskan. Sama halnya, sosok Soekarno yang selalu hidup dalam setiap kampanye politik di Indonesia. Foto Soekarno tidak pernah sepi dalam iklan kampanye. Selalu ada, mungkin sampai anak cucu kita. Itu juga bagian dari komunikasi politik PDI Perjuangan untuk melagendakan seorang tokoh.

Komunikasi Politik
Dalam komunikasi politik dikenal 3 macam iklan kampanye. Pertama, Iklan advokasi kandidat, yaitu memuji-muji (kualifikasi) seorang calon. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan retrospective policy-satisfaction (pujian atas prestasi masa lalu kandidat), atau benevolent-leader appeals (kandidat memang bermaksud baik, bisa dipercaya, dan mengidentifikasi diri selalu bersama/menjadi bagian dari masyarakat pemilih).

Kedua, Iklan advokasi isu. Biasanya dipasang, oleh pihak independen untuk menyampaikan isu-isu penting (lingkungan hidup, pengangguran, korupsi, kesehatan, dll) yang diarahkan pada satu atau beberapa iklan atau ungkapan-ungkapan kampanye dari satu atau beberapa kandidat. Kedua iklan ini dapat digunakan oleh calon “incumbent”. Sejauhmana klaim program mereka ini akan menjadi isu sentral kampanyenya. Atau bagaimana misalnya sebuah program Pemerintah Aceh yang berjalan bisa dipahami oleh masyarakat luas bahwa itu program Irwandi semata. Atau ide dasar dari seorang Nazar.

Ketiga, Iklan menyerang atau disebut attacking, yakni berfokus pada kegagalan dan masa lalu yang jelek dari kompetitor. Pendekatannya bisa ritualistic (mengikuti alur permainan lawannya, ketika diserang, akan balik menyerang). Ini bisa digunakan oleh new comer seperti Abi Lampisang untuk menjelaskan dirinya berbeda dan layak dipilih pada pilkada Desember 2011.
Dalam budaya Timur, kadang memang attacking itu kurang digunakan. Sebab, menyerang seseorang secara vulgar dianggap tidak atau kurang etis. Maka, muncul teori baru oleh beberapa pakar seperti Effendi Ghazali dengan menambah satu opsi (macam) lagi, yaitu contrasting (memperbandingkan), menyerang tapi dengan memperbandingkan data tentang kualitas, rekam jejak, dan proposal antar-kandidat

Semoga para kandidat memiliki kemampuan untuk membentuk atau menggunakan model iklan kampanye tersebut. Bila itu dikonsep secara matang dan baik, akan sangat mempengaruhi publik untuk memilih. Dan kehadiran sosok Hasan Tiro baik dalam isu, atribut maupun simbol kampanye akan sangat menarik dalam perjalanan sejarah politik Aceh. Lalu, siapa yang berhak menggunakan HT diantara ketiga pasangan itu. Jangan-jangan Pilkada kali ini tanpa kehadiran sang Wali.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI

Demokrasi Tersandera Elit

Oleh Azwir Nazar
Masa depan demokrasi kembali diuji di Aceh. Partai Aceh (PA) sebagai partai pemenang pemilu mengancam memboikot Pilkada 2011. Sebelumnya, Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh telah menetapkan hari pencoblosan, yakni pada 24 Desember mendatang. Dan semua tahapan Pilkada dilanjutkan sesuai jadwal setelah sempat mengalami masa colling down selama sebulan di awal Ramadhan lalu.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang didominasi PA tidak mengakui semua tahapan yang berlangsung dan meminta Pilkada ditunda serta penunjukan Plt Gubernur oleh Presiden. Alasannya, terjadi konflik regulasi di Aceh. Rancangan qanun (peraturan daerah) terbaru belum dibahas DPRA. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menganggap ada upaya menghambat Pilkada dengan cara mengulur waktu.

Akhirnya, Pilkada tetap dilangsungkan. Sebanyak 128 pasangan atau 256 kandidat mendaftarkan diri di seluruh Aceh. Jumlah pasangan calon yang telah mendaftar di KIP kab/kota masing-masing, Aceh Tengah 13 pasangan, Aceh Barat 12, Langsa 10, Lhokseumawe 10, Aceh Singkil 9, Aceh Timur 9, Bener Meriah 7, Aceh Utara 7, Abdya 6, Simeulue 5, Nagan Raya 5, Gayo Lues 4, Aceh Jaya 4, Banda Aceh 5, Aceh Besar 7, Pidie 8 dan Sabang 4 pasangan.

Sedangkan di tingkat provinsi hanya tiga pasangan. Dua melalui jalur independen, yaitu Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan dengan Tgk Ahmad Tajuddin/Suriansjah. Sedangkan Koalisi Partai (Demokrat, PPP, dan SIRA) mencalonkan Muhammad Nazar/Nova Iriansyah. Sebagian besar kandidat yang sudah terdaftar tersebut maju melalui jalur perseorangan mencapai 90 pasangan. Dan jalur partai atau koalisi sebanyak 38 pasangan.

Sementara PA tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak mendaftar. Mereka yakin benar KIP Aceh telah “mengangkangi” MoU Helsinki dan UUPA. Sebab, menurut PA, Aceh memiliki kekhususan dan calon perseorangan hanya boleh ada satu kali di Aceh. Untuk itu, DPRA yang didominasi PA meminta penundaan Pilkada sampai konflik regulasi ini selesai. Namun berdasar UU hanya tiga alasan Pilkada bisa jeda, yaitu terjadi bencana alam, stabilitas politik keamanan yang tidak stabil, dan tidak tersedianya uang atau anggaran.

Ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi. Maka, pilkada Aceh tetap lanjut dan KIP merujuk pada qanun lama, yaitu Qanun Nomor. 07 tahun 2006. Dan mengakomodir calon perseorangan sesuai keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA.

Kisruh ini tidak lantas berhenti. Aceh terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu mendukung Pilkada tetap dilanjutkan. Kubu lainnya meminta pilkada ditunda. Malah, sekarang sedang terjadi pengarahan massa di Aceh untuk memboikot dan menunda Pilkada. Di lain pihak, mereka yang menginginkan Pilkada tepat waktu, juga bersiap-siap menggalang massa. Dan celakanya, pengerahan massa ini ditakutkan akan terjadi radikalisasi antarkubu.

Masa depan demokrasi
Masa depan demokrasi Aceh akan mendapat ujian serius, karena demokrasi Aceh tersandera elite. Kaum elite seolah mereka menjadi penafsir tunggal dengan mengatasnamakan rakyat. Padahal, yang disuarakan adalah kepentingan politik mereka semata. Seringkali rakyat menjadi ‘tumbal’ memuluskan keinginan elite. Perwakilan politik rakyat yang dipilih dalam pemilu pun, belum bekerja maksimal.

Kaum elite bukan saja memasung dan menyandera demokrasi, tapi juga ‘berselingkuh’ dengan dunia usaha dan pemilik modal untuk menguasai ekonomi masyarakat. Ada semacam politik oligarki, dimana kekuasaan dan kesejahteraan hanya berpusat dan melingkar pada penguasa dan orang-orang yang punya akses kepada kekuasaan. Semua berjuang atas nama masyarakat, sementara masyarakat Aceh terimpit oleh dua kekuatan besar, yaitu antara mendukung eksekutif atau legislatif. Inilah pilihan yang sangat sulit, karena bayang-bayang konflik 30 tahun masih terekam jelas di benak.

Elemen sipil
Sisi lain melemahnya fungsi dan peran elemen sipil sebagai poros alternatif masyarakat juga menjadi sebab demokrasi Aceh mengkhawatirkan. Elemen sipil terjebak dukung mendukung kekuasaan dan terlibat politik praktis. Sehingga, kekuatan politik nonpartai yang diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan publik menjadi mati. Institusi yang ada justru menjadi perpanjangan tangan parpol dan penguasa. Hal ini terjadi karena kapitalisasi ekonomi politik oleh kaum elite. Komponen sipil tercerai berai dan terseret mendukung kekuatan politik tertentu. Sehingga, konsolidasi demokrasi yang diharapkan dapat diprakarsai civil society justru tidak terjadi. Ekspektasi rakyat yang besar terhadap perubahan fundamental Aceh dalam 5 tahun ini justru mengalami kebekuan. Yang terjadi justru politik tranksaksional, bukan perubahan.

Pada bagian lain, penyelesaian masalah ala konflik dulu masih mendominasi pikiran dan mindset elite. Statemen yang muncul ke publik seringkali menebar ‘ancaman’ akan kerusuhan dan perang. Sama sekali itu tidak pantas dimunculkan oleh seorang pejabat publik. Sungguh, yang diharapkan masyarakat Aceh setelah damai ini adalah mengisi damai. Jadi, isu utamanya adalah pembangunan dan kesejahteraan. Semua keputusan politik yang diambil sepatutnya didasarkan pada aturan yang ada, dengan mengedepankan akal budi dan prinsip rasionalitas.

Pilkada ini sepatutnya menjadi ujian dan pendewasaan demokrasi bagi Aceh. Para elite harus menyadari kepentingan Aceh yang lebih besar, apalagi pascakonflik dan Tsunami. Sikap mau menang sendiri, baik mempertahankan, maupun merebut kekuasaan haruslah sesuai role of law dan mementingkan masyarakat secara keseluruhan. Jangan sampai keegoisan dan kerakusan elite mengantarkan kembali Aceh ke titik nadir, kembali ke masa gelap dan skenario terburuk, yaitu konflik.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Komunikasi Politik UI, sekjen Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh Jakarta.



Azwir: Rakyat Aceh Masih Sayang PA

Zal I The Globe Journal | Rabu, 19 Oktober 2011
Jakarta - Meski separuh lebih rakyat Aceh menerima pilkada dilaksanakan tepat waktu, mayoritas responden (61,9 %) justru menyampaikan dukungannya atas sikap Partai Aceh (PA) yang memilih boikot pilkada 2011. PA dianggap konsisten dengan amanah Nota Kesepahaman Bersama di Helsinki dengan mengawal Undang-Undang Pemerintahan Aceh.”Ini membuktikan masyarakat Aceh masih sayang dan menaruh perhatian dengan PA. Ini menarik sekali di tengah kecaman sebagian besar elemen atas sikap PA dan DPRA supaya Pilkada ditunda,” tegas Azwir Nazar Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia kepada The Globe Journal, Rabu (19/10).

Azwir mengutip pemberitaan di The Globe Journal menjelaskan responden di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie menunjukkan masih kuatnya dominasi PA yang mayoritas menolak pilkada, masing-masing 67,8 persen, 66,1 persen, dan 73,9 persen. Sementara 5 wilayah lagi (dari 8 daerah yang disurvei), yaitu Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, dan Aceh Barat mendukung pelaksanaan pilkada tepat waktu yaitu seperti jadwal KIP. Masing-masing dengan angka 90,7 persen. 85,2 persen, 82,6 persen, dan 75 persen. “Dari berbagai literature metodelogi riset, banyak cara untuk pengambilan sample, selain random sampling. Seperti, systematic sampling, stratified sampling, cluster sampling dan non random sampling. Kalau, random sampling itu kan penarikan sample dari populasi dengan cara memberi kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk jadi sample,” jelasnya yang bekerja di salah satu Lembaga Konsultan Politik Jakarta.

Intelektual muda Aceh ini menyatakan patut memberi apresiasi pada hasil survei ini. Dan yang berbeda pendapat tentang survei ini, bisa membuat survei tandingan. Begitu prosedur ilmiah. Dan harapan kita Survey ORI ini benar murni bertujuan mengetahui pendapat publik, dan bukan dilakukan by order. Apalagi, kalau kita bicara survey politik itu lebih complicated dibanding survey semacam company competition, survey untuk suatu produk misalnya. Bicara survey politik itu lebih complicated dibanding survey semacam company competition, survey untuk suatu produk misalnya,,“Melalui metode random sampling yang dipakai dengan menggunakan jenis data kualitatif dan kuantitatif, saya pikir suryey ORI ini bisa dijadikan pijakan. Apalagi penelusuran data dilakukan dengan wawancara responden.,” ucapnya bersemangat.

Sebagaimana dipaparkan Maimun bin Lukman, Direktur Occidental Research Institute (ORI), dari 1.442 responden itu, sebanyak 861 orang atau 59,8 persen masyarakat mendukung Pilkada tepat waktu. Sebanyak 477 orang atau 33,1 persen menolak. Sebanyak 104 orang atau 7,1 ptersen responden tidak menjawab. Dan meskipun, metodelogi yang digunakan sama, bisa saja hasilnya berbeda dengan survey yang dilakukan oleh lembaga yang lain, meski, waktu, tempat, dan sample yang diambil dari populasi sama. Itu sangat tergantung pada persentase sampling errornya. “Nah, tidak perlu heran ada survey yang terus hasilnya berbeda, padahal metodeloginya sama. Itu bukan salah disurvey, tapi pada penentuan persen sampling errornya,” pungkas peneliti Demos 2006, tentang Masalah-masalah dan Pilihan Demokrasi di Aceh.


PA Kalah Sebelum Bertanding

Zal I The Globe Journal | Sabtu, 08 Oktober 2011
Jakarta - Keputusan Partai Aceh memboikot dan tidak mendaftar pilkada Aceh adalah sebuah kekalahan. Hegemoni PA dalam masyarakat bisa berkurang, apalagi bila ada oknum yang nantinya melakukan tindakan kontraproduktif dengan semangat perdamaian dan masa depan demokrasi di Aceh. “Padahal kandidat PA belum tentu kalah berkompetisi dengan calon incumbent yang mencalonkan diri,” sebut Azwir Nazar mahasiswa Komunikasi Politik Program Sarjana Universitas Indonesia di Jakarta, Sabtu (8/10) malam.

Azwir menjelaskan hal ini terjadi karena kegagalan PA membangun komunikasi politik. PA tidak mampu membangun kesepahaman untuk memiliki persepsi bersama. Komunikasi politik dalam arti mentransfer sekaligus menerima umpan balik isu-isu politik di masyarakat. “PA lupa memposisikan diri sebagai partai dominan dan membangun identitas politik,” tegas aktivis Aceh ini.

Sebagai solusinya, seharusnya mereka melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi internal dengan kerja-kerja politik riil di lapangan. Termasuk menerima masukan dari berbagai komponen masyarakat. Bukan saja ‘rajin” bicara di media. Tapi asbun. Tanpa proses kajian mendalam. Lalu, apa yang disampaikan ke publik sesuatu yang sudah tidak populis. Padahal sebagai partai besar dan pemenang pemilu legislatif 2009, rugi sekali mereka tidak mendaftar. Ini seperti jalan buntu saja. “Mereka seperti kalah sebelum bertanding. Sebagai kekuatan politik resmi dan mendominasi parlemen Aceh, PA tidak fokus. Image politiknya terlanjur rusak, baik oleh aktivitas dan tindakan mereka sendiri maupun karena gencarnya lawan politik dalam mendiskreditkan image negatif partai yang bersangkutan,” ucap tokoh muda Aceh di Jakarta.

Azwir menyatakan manuver yang dilakukan PA memberi kesan mau menang sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Bia Kalau perkaranya adalah calon independen, mengapa PA tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait pada saat judicial review di MK lalu. “Ini buktinya mereka tidak fokus, lengah dan lalai dalam berpolitik,” ingat pengurus Ikatan Mahasiswa Program Sarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta. [003]


Merdeka Tanpa Bendera

oleh Azwir Nazar

Dulu, sekira kira tahun 2000-an, menjelang peringatan 17 Agustus perintah pemasangan bendera mulai diumumkan. Para Kepala Desa membacakan surat edaran, bukan saja H­- 5 bendera merah putih harus sudah terpasang di rumah-rumah penduduk dan warung. Tapi mulai bulan Agustus, sudah mulai ada. Tak tanggung-tanggung, benderanya harus baru, bersih. Tiangnyapun tidak boleh pendek. Harus menjulang tinggi. Tidak ada pilihan bagi penduduk Aceh masa itu dan beberapa tahun sebelumnya, kecuali memasang sang Saka merah putih tersebut.

Saking takutnya, beberapa cerita kemudian kita dengar. Mulai orang tua yang salah pasang alias terbalik. Sampai lupa menurunkannya di waktu sore. Maklum, jam menaikkan dan menurunkan benderapun sudah ditentukan. Peraturan itu ditempel, berjejer di tempat-tempat keramaian dan warung-warung kopi. Saya tidak tahu persis untuk apa perintah itu, meski masa itu Aceh dalam keadaan darurat, mulai darurat militer sampai darurat sipil.

Mungkin pula, dalam pikiran para serdadu dan penguasa negeri Indonesia, rakyat Aceh sudah buta warna bendera.
Atau ideologi merah putih sudah mulai luntur di benak penduduk Serambi Mekkah. Anda tentu tahu, masa-masa itu kalau menjelang peringatan 17 Agustus, selalu ada hadiah bagi rakyat. Terutama di pedalaman dan desa-desa. Hadiahnya, bukan saja panjat pinang yang merebutkan hadiah dan menggapai bendera merah putih yang dipasang di ujung tiang. Sehingga, berduyun-duyun orang menonton, dan berdejak kagum akan para kandidat pemanjat pinang. Melainkan juga begitulah arti keceriaan kemerdekaan yang mereka rasakan. Bisa ketawa, bersorak, dan beramai-beramai hidup lepas, tanpa beban. Biasanya itu di gelar di sore hari, di bawah pengawalan tentara. Sebab, pagi hari kaum laki-laki harus ikut upacara. Diangkut dengan truk-truk ke lapangan.

Hadiah spesial adalah letusan bom atau kontak senjata. Plus beberapa bendera bintang bulan milik GAM yang selalu ada saat menjelang peringatan kemerdekaan RI itu. Kadang di pasang di pohon-pohon kelapa, ada di tower listrik dan di tempat ketinggiian lain. Uniknya, bendera bintang bulan itu sering kali lebih tinggi terpasang, sehingga mudah tampak bagi masyarakat. Jumlahnya tidak banyak. Hanya beberapa lembar saja. Sangat sulit untuk dijangkau. Atau dicopot pihak keamanan.

Heran kita, ada-ada saja akal orang GAM saat memasang bendera. Anda bisa bayangkan kalau yang dipasang di kabel listrik yang tinggi di jalanan, bisa repot sekali menurunkannya. Atau yang di kebun penduduk pedalaman, di atas gunung. Jahatnya kemudian, tentara menyuruh penduduk memcopot atau menurunkannya. Dulu, ada cerita tentara yang tersengat listrik saat mencopotnya. Tapi, berita ini saya tidak tahu persis. Ada juga bendera itu sebagai “ranjau”. Bisa-bisa ada granat yang dipasang. Jadi, sebelum diturunkan, ya harus di sterilkan dulu daerahnya. Sampai segitunya.

Sasarannya penduduk desa. Mereka suka tidak suka harus menjadi tumbal untuk menurunkan bendera GAM. Nasib penduduk seperti buah semalakama saja. Kalau menurunkan, maka akan mendapat ancaman GAM, kalau tidak mau turunkan, dianggap GAM oleh aparat. Tak segan-segan mereka ditendang, atau dikasari. Perkara-perkara sepele begini seringkali berujung maut. Maka, wajar sangat bila perintah naikkan bendera merah putih atau turunkan bendera bintang bulan saat itu, dipatuhi penduduk. Terutama di kampong-kampung pedalaman. Entah berapa banyak korban yang jatuh gara-gara bendera.

Tidak berhenti disitu, atas nama nasionalisme keindonesiaan, bukan saja bendera. Tapi, dalam sweeping atau razia di jalan, kita sering disuruh menyanyi. Terutama lagu-lagu kebangsaan. Seperti, Indonesia Raya, Halo-Halo Bandung, dan yang berbau nasionalisme lain. Ada yang disuruh hafal teks proklamasi, dan juga sila-sila Pancasila. Kalau ada yang tidak bisa, atau salah melafazkannya, maka disuruh berulang-ulang dengan bentakan keras-keras. Sesekali dipukul dengan laras panjang. Bagi yang tidak bisa, itu dianggap GAM atau simpatisannya. Bayangkan saja, orang-orang kampong yang membaca saja tidak bisa, yang bahasa Indonesia saja patah-patah, sungguh lucu bila kita mendengar dan berada di sampingnya. Oppps..tapi, tidak ada yang berani ketawa. Paling, cerita-cerita seperti itu akan dikisahkan setelah selamat dari cengkraman para serdadu saat itu.

Saya tidak mengerti benar apa maksud GAM saat itu sengaja memasang bendera bintang bulan menjelang 17 agustus. Atau menyerang pos-pos militer di seantero Aceh. Seperti mereka mau ungkapkan bahwa Aceh belum merdeka saja. Bendera GAM yang bergaris hitam tersebut seolah mengungkap masih banyak penderitaan, ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di Aceh. So, aceh belum layak atau tidak layak menggelar upacara kemerdekaan. Apalagi yang menjajah Aceh menurut GAM adalah Pemerintah Indonesia.

Alih-alih begitu pentingnya bendera merah putih berkibar di Aceh, mobil-mobil dan motor pun wajib memakai merah putih. Bila ada yang tidak pasang, siap-siap kena tilang saat sweeping tentara yang berjejer di jalanan. Alkisah, para pedagang bendera kalau musim 17-san itu keciprat rizki berlimpah. Disudut-sudut jalan mereka berjualan dan menjajakan aneka model dan design bendera.

Mungkin itulah makna merdeka yang dipahami kaum serdadu dan para komandannya saat itu di Aceh. Kemerdekaan ukurannya adalah seberapa meriah bendera terpasang di seluruh pelosok dan sudut bumi Aceh. Tak penting, rakyat suka atau terpaksa. Pokoknya bila disorot media, masyarakat nasional tahu bahwa Aceh masih merah putih. Sama halnya dengan GAM, ada arti penting bila bendera bintang bulan dapat dinaikkan walau hanya selembar pada peringatan kemerdekaan RI. GAM seperti mengabarkan pada dunia luar, bahwa eksistensi mereka ada. Mereka seerti ingin menegaskan bahwa bintang bulan adalah simbol penting perjuangan Aceh. Meski HUT GAM sendiri adalah 4 Desember. Rakyat Aceh tidak boleh dininabobokkan oleh kedhaliman dan kesewenangwenangan.

Begitu pentingnya makna, arti dan simbol sebuah perjuangan bagi GAM saat itu. Dan menariknya, prilaku prajurit GAM yang berulang itu tidak pernah tertangkap. Tidak ada masyaraat yang mengaku mengetahui aksi penaikan bendera. Meski sebenarnya warga di sekitar mengetahui. Akan tetap saja melindungi GAM yang diyakininya sebagai para pejuang. Ya, pejuang terhadap ketidakadilan, penindasan dan prilaku semena-mena tentara Indonesia terhadap rakyat tak berdosa.

Tak sedikit pula, rakyat yang menyembunyikan para pejuang GAM dari kejaran TNI di masa konflik dulu. Meski resikonya adalah ancaman kematian. Karena yang paling dicari (most wanted) saat itu adalah GAM atau orang yang diindikasi terlibat gerakan yang diklaim separatis Gerakan Aceh Merdeka. Ada adagium yang berkembang, “kalian berjudi boleh, mau pacaran gaya anjingpun tak mengapa, mau tanam ganja silahkan, tapi satu yang jangan, yaitu masuk GAM!, kalau membantu saja kelompok separatis itu, maka makanannya adalah peluru”. Begitu kira-kira. Propaganda Pemerintah untuk membenci dan memusuhi gerakan separatis. Jadi, dimanapun atau siapapun yang dicurigai GAM harus dibunuh dan dihabisi.

Ternyata pendekatan kekerasan yang dilakukan TNI masa itu justru menimbulkan kebencian di kalangan masyarat. Sebaliknya banyak yang membantu, melindungi dan masuk GAM. Jadilah GAM sulit dibasmi karena pola gerilya yang dimainkan GAM mendapat dukungan dari masyarakat. Walaupun masyarakat menjadi tumbal akan kekerasan serdadu dan juga GAM itu sendiri.
--------

Kini, memang masa konflik itu sudah 6 tahun berlalu. Kenangan pahit penindasan, kesewenangan, dan ketidakadilan resmi dikubur dalam-dalam. Setelah dicapai kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Pusat dengan GAM. 15 Agustus 2005 merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Aceh. MoU antara para pihak yang bertikai akhirnya ditandatangani di Helsinki, Findlandia. Selain usaha manusia untuk mendamaikan Pemerintah RI dan GAM, seiring pula dengan bencana besar Tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Tragedi Tsunami menewaskan lebih dari 200 ribu orang. Aceh luluhlantak oleh peristiwa bencana terbesar yang dicatat sejarah di abad ini. Semua bangsa dunia terketuk nuraninya untuk membantu Aceh. Momentum inilah kemudian membawa GAM dan Pemerintah Indonesia duduk semeja dan berunding demi rehabilitasi dan rekontruksi Aceh. Dan mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.

Rakyat Aceh menyambut damai ini sebagai rahmat dari Allah swt. GAM lalu dibubarkan, dan menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA). Kemudian membentuk partai politik lokal yaitu Partai Aceh, untuk memulai perjuangan politik dalam mensejahterakan rakyat Aceh. Para pihak sepakat dengan berbagai klausul yang ditandatangani bersama. Meski sebagai agreement politik, MoU menjadi pegangan, lahirnya Undang-Undang Pemerintah Aceh No.11 tahun 2006. Yang kemudian melahirkan Peraturan Perundangan dan Qanun bagi Aceh.

Bendera GAM-pun lalu menjadi bendera partai. Hanya mengganti bintang bulan dengan kata partai ACHEH. Walau ada juga dari eks kombatan yang tidak setuju, dan kemudian tidak masuk Partai Aceh (PA). Maka, jadilah Partai Aceh (PA) salah satu partai lokal dari 6 partai lokal yang ikut pemilu.

2006, Aceh berhasil melaksanakan pemilihan gubernur langsung pertama pasca perang. Calon Independen yang baru pertama berlaku di Indonesia berhasil menang dan menjungkirkan prediksi para pengamat. Pasangan Irwandi-Nazar yang berasal dari mantan GAM dan SIRA mengungguli kandidat lain dengan perolehan 39 % suara. Padahal kandidat lain memiliki political financing yang lebih dari cukup dengan dukungan nasional.

Pada 2009, pemilu legislatif pertama digelar di Aceh. PA menang besar, dan menguasi 33 kursi dari 69 kursi DPRA Aceh. Di level Kabupaten/Kota, partai mantan kombatan juga menguasai sebagian besar parlemen. Maka, jadilah para pejuang yang dulu di gunung-gunung menenteng senjata, sekarang duduk di ruangan ber-AC, berbaju jas-berdasi, dan di kursi dewan yang terhormat. Ada yang menjadi Bupati pula. Menjadi businessman yang kaya raya. Dan sebagainya.
Sayangnya, tidak semua kaum pejuang mendapatkan kesempatan yang sama. Dan tidak semua kaum pejuang mendapatkan kehidupan lebih baik, dibanding nasib saudara seperjuangannya. Anak Yatim, Janda konflik, kaum miskin papa, yang dulu menjadi spirit perjuangan GAM, kini hanya menjadi penonton para elit yang sudah kaya raya. Ada juga, mantan kombatan yang hanya menjadi pedagang biasa, atau orang biasa di kampong-kampung.

Kepentingan kelompok menjadi dominan, dibanding kepentingan mensejahterakan rakyat. PA akan melakukan apapun demi mempertahankan dan memperjuangan kelompoknya. Para elit pejuang kini telah banyak lupa akan air mata dan darah syuhada yang tumpah di bumi Aceh. Mereka sebagian besar seperti “mabuk” dan serakah mengumpulkan pundi-pundi harta dan membeli rumah dan mobil mewah.

Jangan lagi bicara bendera, perjuangan atau anak yatim, dan janda konflik. Sekarang saatnya menuhankan harta, dan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Kaum elit itu, yang selama ini menjadi tumpuan harapan rakyat dan harapan perjuangan para syuhada konflik dan tsunami di kepalanya hanya ada proyek, fee dan uang. Beberapa justru mengoleksi istri tambahan.

Kondisi ini menimbulkan jurang tajam terhadap kesenjangan ekonomi di masyarakat. Perputaran uang hanya berada pada kelompok tertertu dan yang dekat dengan poros kekuasaan. Jadilah mereka orang kaya baru, yang menghalalkan segala cara. Sementara yang rakyat miskin, tetap miskin. Terus tersudut menunggu mati di kampung-kampung. Oleh karena harga barang yang terus naik, dan mata pencaharian yang makin sulit.

Tidak berhenti disitu, apa yang dipertontonkan elit sudah diluar batas. Secara vulgar mereka menebar ancaman satu sama lain. Selisih paham lewat media, itu seperti hal biasa. Lagi-lagi yang sayang adalah pion-pion dilapangan. Demi dan selalu mengatasnamakan rakyat, sesungguhnya mereka bertikai untuk kepentingan kelompoknya. Dan tentu bagi Pemerintah Pusat ini sebuah kemenangan, dan bahan tertawaan melihat nasib pejuang dan perjuangan asik merebut uang dan kekuasaan. Lalu, mereka mengambil kesimpulan, ternyata perjuangan GAM itu adalah perjuangan pribadi dan kelompok.

Perjuangan yang berhenti di kijang Inova, kata Adli Abdullah, seorang dosen Hukum di Universitas Syiah Kuala. Ternyata, dengan uang semua berbeda. Tak lagi peduli kawan seperjuangan. Tak lagi risau akan nasib korban konflik dan anak yatim. Maka, belakangan muncul, Gambit, seorang eks pejuang GAM dari Peureulak, Aceh Timur yang menuntut keadilan pada elit-elit PA itu. Ya, dengan caranya sendiri.
---------

Kemerdekaan yang dicita-citakan, yang spiritnya mulai dari simbol bendera, lagu Aceh Merdehka, atau hikayat perang Sabi hanya menjadi kenangan. Mereka mereka memang merdeka, dengan jabatan, kekuasaan dan kehidupan mewah. Tapi mereka mereka yang lain hanya mereka-reka saja bagaimana makna kemerdekaan itu. Maka, wajar saja bila peringatan damai 6 tahun ini sepi. Dan peringatan kemerdekaan ini seperti mati suri. Kita semua sebagai orang Aceh dan sebagai warga Negara Indonesia seperti lupa akan bendera dan peringatan kemerdekaan yang ke 66 ini. Sebab, bagi rakyat kecil kemerdekaan ini seperti tidak bermakna, hanya seperti rutinitas tahunan belaka.

Semoga Allah SWT memberikan kita petunjuk dan hidayah untuk kembali menjadi pejuang. Pejuang yang berjalan pada jalan yang benar. Pejuang rakyat, yang mewakafkan dirinya untuk pencerdasan, dan kemerdekaan rakyat. Bukan pejuang yang “kalah” oleh uang dan kekuasaan. Akhirnya, kita berharap semoga damai ini tetap menjadi rahmat dan senantiasa selalu berpihak rakyat. Banyak masih agenda-agenda damai yang mesti di kawal dan diwujudkan. Perebutan kekuasaan dan keserakahan kita sebagai pejuang hanya menyisakan sejarah kelam Aceh bagi anak cucu kita. Dan kemerdekaan ini benar-benar memerdekakan rakyat. Bukan para elit, dan penguasa saja. Walau tanpa Bendera.

Aceh Lon Sayang, 17 Agustus 2011