Rabu, 09 November 2011

Merdeka Tanpa Bendera

oleh Azwir Nazar

Dulu, sekira kira tahun 2000-an, menjelang peringatan 17 Agustus perintah pemasangan bendera mulai diumumkan. Para Kepala Desa membacakan surat edaran, bukan saja H­- 5 bendera merah putih harus sudah terpasang di rumah-rumah penduduk dan warung. Tapi mulai bulan Agustus, sudah mulai ada. Tak tanggung-tanggung, benderanya harus baru, bersih. Tiangnyapun tidak boleh pendek. Harus menjulang tinggi. Tidak ada pilihan bagi penduduk Aceh masa itu dan beberapa tahun sebelumnya, kecuali memasang sang Saka merah putih tersebut.

Saking takutnya, beberapa cerita kemudian kita dengar. Mulai orang tua yang salah pasang alias terbalik. Sampai lupa menurunkannya di waktu sore. Maklum, jam menaikkan dan menurunkan benderapun sudah ditentukan. Peraturan itu ditempel, berjejer di tempat-tempat keramaian dan warung-warung kopi. Saya tidak tahu persis untuk apa perintah itu, meski masa itu Aceh dalam keadaan darurat, mulai darurat militer sampai darurat sipil.

Mungkin pula, dalam pikiran para serdadu dan penguasa negeri Indonesia, rakyat Aceh sudah buta warna bendera.
Atau ideologi merah putih sudah mulai luntur di benak penduduk Serambi Mekkah. Anda tentu tahu, masa-masa itu kalau menjelang peringatan 17 Agustus, selalu ada hadiah bagi rakyat. Terutama di pedalaman dan desa-desa. Hadiahnya, bukan saja panjat pinang yang merebutkan hadiah dan menggapai bendera merah putih yang dipasang di ujung tiang. Sehingga, berduyun-duyun orang menonton, dan berdejak kagum akan para kandidat pemanjat pinang. Melainkan juga begitulah arti keceriaan kemerdekaan yang mereka rasakan. Bisa ketawa, bersorak, dan beramai-beramai hidup lepas, tanpa beban. Biasanya itu di gelar di sore hari, di bawah pengawalan tentara. Sebab, pagi hari kaum laki-laki harus ikut upacara. Diangkut dengan truk-truk ke lapangan.

Hadiah spesial adalah letusan bom atau kontak senjata. Plus beberapa bendera bintang bulan milik GAM yang selalu ada saat menjelang peringatan kemerdekaan RI itu. Kadang di pasang di pohon-pohon kelapa, ada di tower listrik dan di tempat ketinggiian lain. Uniknya, bendera bintang bulan itu sering kali lebih tinggi terpasang, sehingga mudah tampak bagi masyarakat. Jumlahnya tidak banyak. Hanya beberapa lembar saja. Sangat sulit untuk dijangkau. Atau dicopot pihak keamanan.

Heran kita, ada-ada saja akal orang GAM saat memasang bendera. Anda bisa bayangkan kalau yang dipasang di kabel listrik yang tinggi di jalanan, bisa repot sekali menurunkannya. Atau yang di kebun penduduk pedalaman, di atas gunung. Jahatnya kemudian, tentara menyuruh penduduk memcopot atau menurunkannya. Dulu, ada cerita tentara yang tersengat listrik saat mencopotnya. Tapi, berita ini saya tidak tahu persis. Ada juga bendera itu sebagai “ranjau”. Bisa-bisa ada granat yang dipasang. Jadi, sebelum diturunkan, ya harus di sterilkan dulu daerahnya. Sampai segitunya.

Sasarannya penduduk desa. Mereka suka tidak suka harus menjadi tumbal untuk menurunkan bendera GAM. Nasib penduduk seperti buah semalakama saja. Kalau menurunkan, maka akan mendapat ancaman GAM, kalau tidak mau turunkan, dianggap GAM oleh aparat. Tak segan-segan mereka ditendang, atau dikasari. Perkara-perkara sepele begini seringkali berujung maut. Maka, wajar sangat bila perintah naikkan bendera merah putih atau turunkan bendera bintang bulan saat itu, dipatuhi penduduk. Terutama di kampong-kampung pedalaman. Entah berapa banyak korban yang jatuh gara-gara bendera.

Tidak berhenti disitu, atas nama nasionalisme keindonesiaan, bukan saja bendera. Tapi, dalam sweeping atau razia di jalan, kita sering disuruh menyanyi. Terutama lagu-lagu kebangsaan. Seperti, Indonesia Raya, Halo-Halo Bandung, dan yang berbau nasionalisme lain. Ada yang disuruh hafal teks proklamasi, dan juga sila-sila Pancasila. Kalau ada yang tidak bisa, atau salah melafazkannya, maka disuruh berulang-ulang dengan bentakan keras-keras. Sesekali dipukul dengan laras panjang. Bagi yang tidak bisa, itu dianggap GAM atau simpatisannya. Bayangkan saja, orang-orang kampong yang membaca saja tidak bisa, yang bahasa Indonesia saja patah-patah, sungguh lucu bila kita mendengar dan berada di sampingnya. Oppps..tapi, tidak ada yang berani ketawa. Paling, cerita-cerita seperti itu akan dikisahkan setelah selamat dari cengkraman para serdadu saat itu.

Saya tidak mengerti benar apa maksud GAM saat itu sengaja memasang bendera bintang bulan menjelang 17 agustus. Atau menyerang pos-pos militer di seantero Aceh. Seperti mereka mau ungkapkan bahwa Aceh belum merdeka saja. Bendera GAM yang bergaris hitam tersebut seolah mengungkap masih banyak penderitaan, ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di Aceh. So, aceh belum layak atau tidak layak menggelar upacara kemerdekaan. Apalagi yang menjajah Aceh menurut GAM adalah Pemerintah Indonesia.

Alih-alih begitu pentingnya bendera merah putih berkibar di Aceh, mobil-mobil dan motor pun wajib memakai merah putih. Bila ada yang tidak pasang, siap-siap kena tilang saat sweeping tentara yang berjejer di jalanan. Alkisah, para pedagang bendera kalau musim 17-san itu keciprat rizki berlimpah. Disudut-sudut jalan mereka berjualan dan menjajakan aneka model dan design bendera.

Mungkin itulah makna merdeka yang dipahami kaum serdadu dan para komandannya saat itu di Aceh. Kemerdekaan ukurannya adalah seberapa meriah bendera terpasang di seluruh pelosok dan sudut bumi Aceh. Tak penting, rakyat suka atau terpaksa. Pokoknya bila disorot media, masyarakat nasional tahu bahwa Aceh masih merah putih. Sama halnya dengan GAM, ada arti penting bila bendera bintang bulan dapat dinaikkan walau hanya selembar pada peringatan kemerdekaan RI. GAM seperti mengabarkan pada dunia luar, bahwa eksistensi mereka ada. Mereka seerti ingin menegaskan bahwa bintang bulan adalah simbol penting perjuangan Aceh. Meski HUT GAM sendiri adalah 4 Desember. Rakyat Aceh tidak boleh dininabobokkan oleh kedhaliman dan kesewenangwenangan.

Begitu pentingnya makna, arti dan simbol sebuah perjuangan bagi GAM saat itu. Dan menariknya, prilaku prajurit GAM yang berulang itu tidak pernah tertangkap. Tidak ada masyaraat yang mengaku mengetahui aksi penaikan bendera. Meski sebenarnya warga di sekitar mengetahui. Akan tetap saja melindungi GAM yang diyakininya sebagai para pejuang. Ya, pejuang terhadap ketidakadilan, penindasan dan prilaku semena-mena tentara Indonesia terhadap rakyat tak berdosa.

Tak sedikit pula, rakyat yang menyembunyikan para pejuang GAM dari kejaran TNI di masa konflik dulu. Meski resikonya adalah ancaman kematian. Karena yang paling dicari (most wanted) saat itu adalah GAM atau orang yang diindikasi terlibat gerakan yang diklaim separatis Gerakan Aceh Merdeka. Ada adagium yang berkembang, “kalian berjudi boleh, mau pacaran gaya anjingpun tak mengapa, mau tanam ganja silahkan, tapi satu yang jangan, yaitu masuk GAM!, kalau membantu saja kelompok separatis itu, maka makanannya adalah peluru”. Begitu kira-kira. Propaganda Pemerintah untuk membenci dan memusuhi gerakan separatis. Jadi, dimanapun atau siapapun yang dicurigai GAM harus dibunuh dan dihabisi.

Ternyata pendekatan kekerasan yang dilakukan TNI masa itu justru menimbulkan kebencian di kalangan masyarat. Sebaliknya banyak yang membantu, melindungi dan masuk GAM. Jadilah GAM sulit dibasmi karena pola gerilya yang dimainkan GAM mendapat dukungan dari masyarakat. Walaupun masyarakat menjadi tumbal akan kekerasan serdadu dan juga GAM itu sendiri.
--------

Kini, memang masa konflik itu sudah 6 tahun berlalu. Kenangan pahit penindasan, kesewenangan, dan ketidakadilan resmi dikubur dalam-dalam. Setelah dicapai kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Pusat dengan GAM. 15 Agustus 2005 merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Aceh. MoU antara para pihak yang bertikai akhirnya ditandatangani di Helsinki, Findlandia. Selain usaha manusia untuk mendamaikan Pemerintah RI dan GAM, seiring pula dengan bencana besar Tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Tragedi Tsunami menewaskan lebih dari 200 ribu orang. Aceh luluhlantak oleh peristiwa bencana terbesar yang dicatat sejarah di abad ini. Semua bangsa dunia terketuk nuraninya untuk membantu Aceh. Momentum inilah kemudian membawa GAM dan Pemerintah Indonesia duduk semeja dan berunding demi rehabilitasi dan rekontruksi Aceh. Dan mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.

Rakyat Aceh menyambut damai ini sebagai rahmat dari Allah swt. GAM lalu dibubarkan, dan menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA). Kemudian membentuk partai politik lokal yaitu Partai Aceh, untuk memulai perjuangan politik dalam mensejahterakan rakyat Aceh. Para pihak sepakat dengan berbagai klausul yang ditandatangani bersama. Meski sebagai agreement politik, MoU menjadi pegangan, lahirnya Undang-Undang Pemerintah Aceh No.11 tahun 2006. Yang kemudian melahirkan Peraturan Perundangan dan Qanun bagi Aceh.

Bendera GAM-pun lalu menjadi bendera partai. Hanya mengganti bintang bulan dengan kata partai ACHEH. Walau ada juga dari eks kombatan yang tidak setuju, dan kemudian tidak masuk Partai Aceh (PA). Maka, jadilah Partai Aceh (PA) salah satu partai lokal dari 6 partai lokal yang ikut pemilu.

2006, Aceh berhasil melaksanakan pemilihan gubernur langsung pertama pasca perang. Calon Independen yang baru pertama berlaku di Indonesia berhasil menang dan menjungkirkan prediksi para pengamat. Pasangan Irwandi-Nazar yang berasal dari mantan GAM dan SIRA mengungguli kandidat lain dengan perolehan 39 % suara. Padahal kandidat lain memiliki political financing yang lebih dari cukup dengan dukungan nasional.

Pada 2009, pemilu legislatif pertama digelar di Aceh. PA menang besar, dan menguasi 33 kursi dari 69 kursi DPRA Aceh. Di level Kabupaten/Kota, partai mantan kombatan juga menguasai sebagian besar parlemen. Maka, jadilah para pejuang yang dulu di gunung-gunung menenteng senjata, sekarang duduk di ruangan ber-AC, berbaju jas-berdasi, dan di kursi dewan yang terhormat. Ada yang menjadi Bupati pula. Menjadi businessman yang kaya raya. Dan sebagainya.
Sayangnya, tidak semua kaum pejuang mendapatkan kesempatan yang sama. Dan tidak semua kaum pejuang mendapatkan kehidupan lebih baik, dibanding nasib saudara seperjuangannya. Anak Yatim, Janda konflik, kaum miskin papa, yang dulu menjadi spirit perjuangan GAM, kini hanya menjadi penonton para elit yang sudah kaya raya. Ada juga, mantan kombatan yang hanya menjadi pedagang biasa, atau orang biasa di kampong-kampung.

Kepentingan kelompok menjadi dominan, dibanding kepentingan mensejahterakan rakyat. PA akan melakukan apapun demi mempertahankan dan memperjuangan kelompoknya. Para elit pejuang kini telah banyak lupa akan air mata dan darah syuhada yang tumpah di bumi Aceh. Mereka sebagian besar seperti “mabuk” dan serakah mengumpulkan pundi-pundi harta dan membeli rumah dan mobil mewah.

Jangan lagi bicara bendera, perjuangan atau anak yatim, dan janda konflik. Sekarang saatnya menuhankan harta, dan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Kaum elit itu, yang selama ini menjadi tumpuan harapan rakyat dan harapan perjuangan para syuhada konflik dan tsunami di kepalanya hanya ada proyek, fee dan uang. Beberapa justru mengoleksi istri tambahan.

Kondisi ini menimbulkan jurang tajam terhadap kesenjangan ekonomi di masyarakat. Perputaran uang hanya berada pada kelompok tertertu dan yang dekat dengan poros kekuasaan. Jadilah mereka orang kaya baru, yang menghalalkan segala cara. Sementara yang rakyat miskin, tetap miskin. Terus tersudut menunggu mati di kampung-kampung. Oleh karena harga barang yang terus naik, dan mata pencaharian yang makin sulit.

Tidak berhenti disitu, apa yang dipertontonkan elit sudah diluar batas. Secara vulgar mereka menebar ancaman satu sama lain. Selisih paham lewat media, itu seperti hal biasa. Lagi-lagi yang sayang adalah pion-pion dilapangan. Demi dan selalu mengatasnamakan rakyat, sesungguhnya mereka bertikai untuk kepentingan kelompoknya. Dan tentu bagi Pemerintah Pusat ini sebuah kemenangan, dan bahan tertawaan melihat nasib pejuang dan perjuangan asik merebut uang dan kekuasaan. Lalu, mereka mengambil kesimpulan, ternyata perjuangan GAM itu adalah perjuangan pribadi dan kelompok.

Perjuangan yang berhenti di kijang Inova, kata Adli Abdullah, seorang dosen Hukum di Universitas Syiah Kuala. Ternyata, dengan uang semua berbeda. Tak lagi peduli kawan seperjuangan. Tak lagi risau akan nasib korban konflik dan anak yatim. Maka, belakangan muncul, Gambit, seorang eks pejuang GAM dari Peureulak, Aceh Timur yang menuntut keadilan pada elit-elit PA itu. Ya, dengan caranya sendiri.
---------

Kemerdekaan yang dicita-citakan, yang spiritnya mulai dari simbol bendera, lagu Aceh Merdehka, atau hikayat perang Sabi hanya menjadi kenangan. Mereka mereka memang merdeka, dengan jabatan, kekuasaan dan kehidupan mewah. Tapi mereka mereka yang lain hanya mereka-reka saja bagaimana makna kemerdekaan itu. Maka, wajar saja bila peringatan damai 6 tahun ini sepi. Dan peringatan kemerdekaan ini seperti mati suri. Kita semua sebagai orang Aceh dan sebagai warga Negara Indonesia seperti lupa akan bendera dan peringatan kemerdekaan yang ke 66 ini. Sebab, bagi rakyat kecil kemerdekaan ini seperti tidak bermakna, hanya seperti rutinitas tahunan belaka.

Semoga Allah SWT memberikan kita petunjuk dan hidayah untuk kembali menjadi pejuang. Pejuang yang berjalan pada jalan yang benar. Pejuang rakyat, yang mewakafkan dirinya untuk pencerdasan, dan kemerdekaan rakyat. Bukan pejuang yang “kalah” oleh uang dan kekuasaan. Akhirnya, kita berharap semoga damai ini tetap menjadi rahmat dan senantiasa selalu berpihak rakyat. Banyak masih agenda-agenda damai yang mesti di kawal dan diwujudkan. Perebutan kekuasaan dan keserakahan kita sebagai pejuang hanya menyisakan sejarah kelam Aceh bagi anak cucu kita. Dan kemerdekaan ini benar-benar memerdekakan rakyat. Bukan para elit, dan penguasa saja. Walau tanpa Bendera.

Aceh Lon Sayang, 17 Agustus 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar