Jumat, 27 Januari 2012

Dayah Aceh di Tanah Betawi

Oleh Azwir Nazar
Jam menunjuk pukul 04.18 menit. Alarm tanda waktu telah tiba berbunyi kuat di telinga. Sayup sayup suara azan mulai menggema, disertai shalawat khas dengan logat Aceh yang kental. Waktu Shubuh telah datang. Penghuni komplek mulai beranjak dari lamunan panjang menuju mesjid yang berada di tengah balee-balee pengajian. Kehidupan hari ini sudah dimulai!

Di mesjid, para jamaah umumnya berbaju putih koko, layaknya seragam resmi. Satu dua ada yang mengenakan jubah, seperti pakaian orang Arab. Lengkap pula dengan kain sarung, serta peci atau kopiah. Adapun kaum perempuan berada di shaf belakang dibatasi tirai seperti biasa. Mereka ini adalah para santri yang sedang menuntut ilmu, menghabiskan masa ABG dengan bersedia belajar di dayah. Memilih kehidupan sederhana, bersahaja dan mandiri. Di tengah gemerlap-nya dunia Jabodetabek yang menyuguhkan berjuta pilihan.

Seketika, semua berkumpul, bersemangat menyongsong shalat Shubuh berjamaah. Mereka masih sangat belia dan umumnya remaja usia SMP/SMU. Wajahnya bersih berseri, polos, memancarkan keteduhan dan keikhlasan sembari mulut yang komat komit membaca bait-bait dan sajak zikir. Matanya sering terbelangak dan tertuju pada satu titik bila ada orang asing atau tamu yang datang. Maklum, mungkin-mungkin itu tamu yang mengunjungi, pikirnya. Hal itu biasa, apalagi kalau sudah akhir bulan. Harap cemas menunggu kabar orang tua, atau kiriman dari kampung. Kalau berbaju agak beda, tidak sewarna atau tidak pakai sarung, maka mudah saja terdeteksi kita itu orang baru. Sang tamu.
Suasana mirip Aceh itu bukanlah berlangsung di Serambi Mekkah. Serambi-nya dayah yang tersebar hampir di seluruh penjuri bumi Iskandar Muda. Tapi suasana anak mengaji, bersenandung shalawat penuh syahdu, balee dan bilik panggung corak Aceh ini ada di tanah Betawi. Ya, inilah dayah MUDI. Dayah Aceh di tanah Betawi. MUDI itu sendiri singkatan dari Ma’hadul ‘Ulum Diniyyah Islamiyyah.

Hanya dengan sebidang tanah 400 meter, Ahad, 27 Maret 1988 dayah ini resmi didirikan. Menurut Drs. K.H. Marzuki A. Ghani yang akrab disapa Waled, sang pimpinan, modalnya bismillah dan tawakkal ‘alallah. Alhamdulilah, berkat rahmat Allah dan bantuan penderma empat bulan setelah itu (3 Juli 1988) dayah ini memiliki sebuah asrama santri pertama yang terdiri 4 kamar, masing-masing 3x4 m persegi dan sebuah balee. Balee inilah menjadi pusat dan sentral aktivitas pengajian dan ibadah.

Sekarang, setelah 22 tahun, MUDI Mekar Jati Asih Al Aziziyah ini berdiri megah dan memiliki lahan 5 Ha di kampung Pamahan RT 03/09 Kelurahan Jati Mekar Kecamatan Jati Asih Bekasi. Sebuah kampung Betawi perbatasan Jakarta Timur dan Jawa Barat. Sarananya juga lumayan lengkap, ada mesjid, balee pertemuan, ruang belajar, lab komputer, pustaka, balai pengobatan, lahan peternakan, sarana olahraga sampai ambulance dan lain-lain. Alumninyapun sudah 871 orang kata Waled.

Pesantren atau dayah ini juga memiliki pendidikan formal mulai TK Raudhatul Atfal, SMP dan SMU Mudi Al Aziziyah dengan kurikulum Kemdiknas/Kemenag dipadu dengan kurikulum pesantren, madrasah diniyyah untuk santri yang mukim (pondok), mulai tingkatan ula, wustha, dan ‘ulya. Ada pula rencana mendirikan SMK yang kini sudah progress 70 %, untuk menumbuhkembangkan wirausaha santri. Pendidikan Informal juga ada keperasi pesantren, dan BMT (Baitul Maal Wattamwil) sebuah usaha berbentul bank lokal, jadi tempat simpan pinjam guru, santri dan masyarakat sekitar yang umumnya petani dan pedagang miskin. Disamping anak terlantar dan kaum dhu’afa.

Santrinya ada yang bermukim, ada pula tidak tinggal di dayah. Umumnya, anak orang Aceh di Jabodetabek, juga ada anak Betawi, warga sekitar. Selain belajar agama, mereka juga belajar ketrampilan dan seni budaya, seperti melukis, kaligrafi dan grop Rapai dan Saman. Bersama masyarakat, santri yang umumnya berasal dari anak kurang mampu/yatim ini juga ikut kerja bakti, tabligh, serta perayaan hari-hari besar bersama masyarakat. Tidak ketinggalan mereka bahasa Inggris dan Bahasa Arab .
Dulunya kampung ini sangat terbelakang. Jalanan berlumpur, masyarakat masih percaya sesajen. Saya juga tidak tahu persis kenapa Waled memilih kampung ini untuk Dayah, yang kalau dibayang-bayang, 20 tahun lalu, pastilah seperti hutan dan rawa belantara. Tapi itulah Waled, jejak dan komitmennya menyebar kebaikan, menebar cahaya tauhid tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sama halnya, para ‘endatu’ kita Walisongo yang menyampaikan Islam sampai ke pelosok Nusantara.

Bagi orang-orang yang pernah di dayah, maka suasana kerinduan dan ketenangan itu adalah moment paling indah. Kadang, kenangan itu sulit dimengerti bagi mereka yang tidak pernah menghabiskan waktu dibilik-bilik atau asrama itu. Kekeluargaan, kemandirian, rasa suka duka, perjuangan semasa menuntut, sampai cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa.

Tentu, bila anda berkunjung ke Jakarta, tidak salahnya menyedia waktu untuk bersilaturahmi ke dayah ini. Sebagai perjalanan spritual. Kira-kira hanya 1 jam dari terminal Kp. Rambutan. Kondisi dayah sekarang memang sedikit menurun, santri juga berkurang, karena Waled beberapa bulan ini sedang sakit. Saat saya berkunjung pertamapun, beliau masih berobat di Aceh. Tapi, semangatnya membangun dayah ini sungguh luar biasa.
----
Usai shalat shubuh saya menyapa seorang pemuda yang baru saja selesai dengan wirid dan doanya yang khusu’ di dalam Mesjid. Beliau adalah seorang pengajar, Tgk Azhardi. Saat saya tanyakan kenapa memilih tinggal dan mengabdi di dayah, apalagi ini Jakarta dengan pesona kota metropolitan. Mahasiswa di sebuah Universitas Swasta di Jakarta ini menjawab, saya ingin mengabdi dan mengejar ketertinggalan dalam belajar agama. Ujar pemuda yang sudah 11 tahun mengabdi itu dengan mantap. Mata saya berkaca-kaca mendengarnya di tengah fajar yang mulai menyingsing, petanda terang menyelimuti hari itu.
Sahabat saya, Tgk Fadhil yang juga mengabdi disana, memberi tanda bahwa kami harus segera kembali ke ibukota. Menyibukkan diri dengan aktivitas biasa sebagai mahasiswa. Saya bertekad dan berdoa untuk bisa menyisakan waktu weekend dengan bersilaturahmi ke dayah-dayah lain di tanah Jawa.

Semoga kita bisa belajar dari Dayah Aceh di tanah Betawi ini, dan terus bertekad untuk berkontribusi serta bermanfaat bagi orang lain. Maka, mulialah orang-orang yang memilih tinggal di dayah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan demi membina dan menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik. Doapun kita haturkan pada para guru kita dimanapun mereka berada. Amin.


Penulis adalah alumni Ponpes Darul Ulum Banda Aceh, mantan Sekjen PB Ikatan Mahasiswa Alumni Dayah Aceh (PB IMADA). Email : azwir.nazar@yahoo.com

Tulisan ini dimuat di citizen reporter serambi indonesia, sabtu, 21 Januari 2012. Ini bentuk asli dan lengkap.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar