Jumat, 24 Juni 2011

Menyoal Objektifitas Media

Oleh Azwir Nazar
Sesekali menarik juga menulis tentang media. Karena media adalah cermin dari sebuah masyarakat dan perubahan sosial. Media memiliki fungsi kontrol yang kuat dalam masyarakat. Sehingga keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seringkali, media menjadi referensi sekaligus “peunutoh” beragam masalah yang timbul di tengah-tengah kehidupan sosial.

Banyak agenda setting media kemudian menjadi agenda publik dan mempengaruhi kebijakan. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media dalam menggiring opini publik dan menekan penguasa. Di Aceh, ada istilah kupi sikhan, rukok sibak, koran sion, njan kabereh sebagai sarapan pagi. Bacaan koran itu lalu jadi bahan “debat” sengit di sudut-sudut warung kopi di Aceh sepanjang hari. Begitu pentingnya media, seperti kebutuhan primer saja. Maka, bisa dibayangkan bila suguhan informasi itu tidak akurat atau tidak objektif, betapa banyak masyarakat yang sesat karenanya.

Dalam dunia politik sekalipun, media dianggap sebagai salah satu kekuatan politik. Dalam arti sebagai kekuatan sosial yang sanggup mempengaruhi kebijakan negara dan publik. Thomas Jefferson mantan Presiden Amerika pernah mengucapkan “Saya harus menentukan pemerintahan tanpa surat kabar, atau surat kabar tanpa pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa media yang tidak bertanggung jawab terhadap moral yang berlaku bisa mengancam kestabilan sebuah negara. Terlebih lagi kemajuan teknologi telah membuat semakin banyak dan semakin cepatnya informasi untuk tersebar.

Menjamurnya media, baik itu media cetak dan elektronik pasca era reformasi adalah sebuah keniscayaan. Sekaligus menjadi indikator tumbuh dan berkembangnya iklim demokrasi di Indonesia. Bila dibanding dengan era orde baru yang justru mengekang kebebasan media dan hak berekspresi. Ini juga diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan kehausan informasi yang benar dan bermutu. Tapi, tidak sedikit pula media justru kebablasan memahami kebebasan itu sendiri.

Ada tiga ilustrusi sederhana dalam konteks keindonesiaan yang dapat kita perhatikan. Pertama, banyak media dalam penyajian berita/peristiwa sering sekali tidak relevan bagi masyarakat. Berita tentang kerusuhan atau anarkisme misalnya, tanpa sadar yang di shoot kebanyakan adalah kerusuhan itu sendiri. Bukan mendidik masyarakat untuk melihat dampak bahaya dari sebuah kerusuhan, tindakan intimidasi, dan kekerasan.

Kedua, media sering kali justru menjadi provokator konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pada kasus tertentu media seperti menyajikan berita berupa “pesan sponsor” dengan intervensi politik dan kepentingan kelompok tertentu. Ketiga, banyak media yang mendramatisir suatu berita yang sebenarnya tidak sesuai dengan publik, tapi dibesar-besarkan seolah-olah itu penting. Seperti aib pribadi dibuka besar-besar menjadi konsumsi publik. Ada pula media seolah-olah menjadi hakim padahal belum ada keputusan pengadilan terhadap seseorang terdakwa dalam sebuah kasus. Dan lain-lain.

Objektivitas Media

Disinilah letak, mengapa media dituntut harus objektif. Ini penting sehingga tidak lantas meredusir fungsi kontrol media dalam masyarakat tadi. Media harus menyediakan persediaan komprehensif atas berita yang relevan dan latar belakang informasi yang objektif dalam arti yang akurat, jujur, cukup lengkap dan sesuai kenyataan, serta terpercaya memisahkan antara kenyataan dan opini. Tidaklah mudah membuat kriteria mengenai sebuah pemberitaan yang objektif atau sebaliknya.

Menurut Westerstahl (1983), mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan. Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman insane media sendiri.

Kalau informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa dampak sosial serta manfaatnya.

Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Ianya terbagi dua, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok tertentu.

Dua aspek itu menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara ‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang kekuasaan (Morissan: 2009). Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi media dalam era keterbukaan dan kebebasan. Sekaligus mempertaruhkan dan memposisikan seberapa berkualitas dan credible-nya sebuah media.

Idealnya media memiliki tanggung jawab untuk menemukan suatu informasi yang benar dan disampaikan dengan cara yang benar. Proses menghasilkan produk dan jasa yang merupakan hasil akhir media haruslah terhindar dari kepentingan politik dengan menghalalkan suatu kebenaran fakta dengan cara menyembunyikan, membohongi, ataupun menjadikan wacana lebih kompleks. Tapi, terkadang memang sulit bagi media untuk sepenuhnya menyampaikan kebenaran dikarenakan harus dihadapkan dengan faktor lain. Seperti, bahaya yang mengancam, menghindari regulasi industri dan bahkan sistem pers yang berlaku.

Walau demikian, kita tetap optimis bahwa dengan dunia yang terus berkembang, sumber daya manusia yang maju, iklim demokrasi yang lebih baik, media akan terus berbenah menuju kepatutan sebagai sebuah sumber informasi yang mendidik masyarakat dengan nilai-nilai objektivitas yang melekat padanya.

Akhirnya, sepatutnya media, baik itu cetak, elektronik, maupun new media menjadi cermin (mirror) bagi masyarakat. Untuk terus menginformasikan peristiwa/berita sesuai fakta. Bukan justru mengaburkannya (blurred) dan menciptakan kebingungan dalam masyarakat. Hingga media benar-benar jadi referensi akurat dan “peunutoh” bagi kita semua. Terutama dalam hal kebutuhan publik untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang objektif dan berkualitas. Semoga!

Azwir Nazar | Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia

Tulisan ini dimuat di aceh institute, 17 Mei 2011
bisa diunduh http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=529:menyoal-objektivitas-media&catid=77:humaniora&Itemid=127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar