Rabu, 09 November 2011

Kampanye Tanpa Wali

Oleh Azwir Nazar
Kampanye dengan menggunakan simbol tokoh bukanlah hal baru dalam dunia politik. Terutama di Indonesia. Sebut saja, Seokarno, Presiden pertama Indonesia. Ia menjadi simbol, atribut sekaligus isu kampanye PDI Perjuangan. Sampai sekarang Soekarno masih dikenang dan di-‘dewa’-kan bagi sebagian masyarakat di Jawa. Gusdur bagi kalangan Nahdiyyin dengan Partai PKB-nya juga mendapat tempat istimewa. Bahkan, Soeharto yang dihujat sekalipun, menjadi ikon Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Begitupun SBY, menjadi lokomotif dan faktor penting kemenangan Demokrat pemilu 2009 lalu.

Personalisasi tokoh bagi masyarakat yang menginginkan adanya seorang tokoh akan sangat berpengaruh dalam perolehan suara. Partai atau kandidat akan lebih mudah berkampanye. Tak dapat dipungkiri, ada pula partai yang mengandalkan ideologi dan jaringan. Apalagi, umumnya Partai politik hanya melakukan kerja dan aktivitas politik menjelang pemilu atau pilkada saja. Maka, disinilah peran seorang tokoh menjadi penting dan menentukan dalam isu kampanye. Meski sudah wafat, sosok tersebut akan menjadi simbol spirit dan cita-cita perjuangan. Ia terus hidup sepanjang perjalanan sebuah partai atau sebuah masyarakat yang mengaguminya.

Sosok Hasan Tiro sebagai ikon perjuangan Aceh akan ‘dipertaruhkan’ dalam Pilkada mendatang. Kemenangan besar Partai Aceh (PA) dalam pemilu legislatif 2009 di Aceh tidak terlepas dari ‘jualan’ sosok Hasan Tiro. Begitupun, pilkada 2006 yang memenangkan Irwandi Nazar. Foto dengan Hasan Tiro saat itu, sangat ‘laku’ di masyarakat Aceh kala itu.

Pemilihan isu ini tidak hanya menyangkut semata urusan coblos mencoblos. Lebih dari itu adalah bagaimana menghadirkan romantisme perjuangan. Ketidakikutan PA dalam Pilkada ini juga telah ‘membunuh’ Wali, atau memperpendek usia perjuangannya. Apalagi bila tiada kandidat yang menjadikannya sebagai simbol, atribut atau isu kampanye. Saya yakin kisruh politik ini tidak terjadi bila “peunuetoh Wali” masih ada.

Maka, isu kampanye yang akan diangkat kandidat menjadi hal menarik untuk dikaji. Apa yang diperjuangkan oleh ketiga kandidat dalam meraup dukungan demi mensejahteraan rakyat. Lalu, bagaimana membangun diferensiasi antar ketiganya. Sehingga rakyat layak menggantungkan harapan perubahan dan mata rantai perjuangan Aceh?

Dalam hal isu yang diperjuangkan harus diakui memang PA lebih jelas dan tegas. Baik secara ideologis maupun cita-cita politik. Terlepas, apapun penilaian publik, PA berhasil menjadikan diri mereka berbeda dengan yang lain. Namun, apa yang akan diperjuangkan oleh Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, maupun Abi Lampisang? Atau calon ¬new comer pasca perpanjangan waktu putusan MK. Isu kampanye yang diusung calon gubernur akan mempengaruhi masyarakat di Aceh untuk datang ke TPS dan memilih pasangan calon. Tanpa isu yang menarik banyak orang enggan datang ke bilik pemungutan suara. Apalagi PA tidak mendaftar. Sebagian masyarakat lebih memilih aman di rumah, dibanding berjalan ke bilik pemungutan suara, bila kondisi politik tidak kondusif untuk memilih.

Isu tunda atau boikot pilkada justru lebih kentara di masyarakat.
Mengenang spirit Wali menjadi penting. Ijtihad politik yang dilakukannya dalam usaha meningkatkan martabat Aceh perlu dicontoh dan diteruskan. Sama halnya, sosok Soekarno yang selalu hidup dalam setiap kampanye politik di Indonesia. Foto Soekarno tidak pernah sepi dalam iklan kampanye. Selalu ada, mungkin sampai anak cucu kita. Itu juga bagian dari komunikasi politik PDI Perjuangan untuk melagendakan seorang tokoh.

Komunikasi Politik
Dalam komunikasi politik dikenal 3 macam iklan kampanye. Pertama, Iklan advokasi kandidat, yaitu memuji-muji (kualifikasi) seorang calon. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan retrospective policy-satisfaction (pujian atas prestasi masa lalu kandidat), atau benevolent-leader appeals (kandidat memang bermaksud baik, bisa dipercaya, dan mengidentifikasi diri selalu bersama/menjadi bagian dari masyarakat pemilih).

Kedua, Iklan advokasi isu. Biasanya dipasang, oleh pihak independen untuk menyampaikan isu-isu penting (lingkungan hidup, pengangguran, korupsi, kesehatan, dll) yang diarahkan pada satu atau beberapa iklan atau ungkapan-ungkapan kampanye dari satu atau beberapa kandidat. Kedua iklan ini dapat digunakan oleh calon “incumbent”. Sejauhmana klaim program mereka ini akan menjadi isu sentral kampanyenya. Atau bagaimana misalnya sebuah program Pemerintah Aceh yang berjalan bisa dipahami oleh masyarakat luas bahwa itu program Irwandi semata. Atau ide dasar dari seorang Nazar.

Ketiga, Iklan menyerang atau disebut attacking, yakni berfokus pada kegagalan dan masa lalu yang jelek dari kompetitor. Pendekatannya bisa ritualistic (mengikuti alur permainan lawannya, ketika diserang, akan balik menyerang). Ini bisa digunakan oleh new comer seperti Abi Lampisang untuk menjelaskan dirinya berbeda dan layak dipilih pada pilkada Desember 2011.
Dalam budaya Timur, kadang memang attacking itu kurang digunakan. Sebab, menyerang seseorang secara vulgar dianggap tidak atau kurang etis. Maka, muncul teori baru oleh beberapa pakar seperti Effendi Ghazali dengan menambah satu opsi (macam) lagi, yaitu contrasting (memperbandingkan), menyerang tapi dengan memperbandingkan data tentang kualitas, rekam jejak, dan proposal antar-kandidat

Semoga para kandidat memiliki kemampuan untuk membentuk atau menggunakan model iklan kampanye tersebut. Bila itu dikonsep secara matang dan baik, akan sangat mempengaruhi publik untuk memilih. Dan kehadiran sosok Hasan Tiro baik dalam isu, atribut maupun simbol kampanye akan sangat menarik dalam perjalanan sejarah politik Aceh. Lalu, siapa yang berhak menggunakan HT diantara ketiga pasangan itu. Jangan-jangan Pilkada kali ini tanpa kehadiran sang Wali.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar