Minggu, 01 Januari 2012

“Kuliah dan Ulang Tahun di Udara”

Friday, 30 December 2011 at 10:10
Catatan Akhir Tahun (Bag 1)
oleh : Azwir Nazar
Catatan ini sengaja ditulis untuk membuka lembaran perjalanan setahun 2011. Untuk mengingat cerita dan apa yang terjadi secara umum. Saya menuliskannya dalam bentuk serial, di saat ada waktu luang. Mencoba mengingat semuanya dan menuliskannya dalam dua hari. Ada keberhasilan, ada juga kegagalan yang menjadi catatan penting menyambut tahun 2012. Tentu tidak semua saya tulis. Ada wilayah privasi dan samaran tokoh dalam kisah ini.

Tahun ini berlalu begitu cepat. Masih teringat dulu, setahun lalu memilih merayakan tahun baru dirumah saja. Meski, dentuman mercon memagari kawasan Salemba dan kota Metropolitan Jakarta. Setelah, sore hari sebelum matahari terbenam, berlama-lama menghabiskan waktu di karpet merah Istiqlal. Ya, ini tahun pertama di Jakarta. Masih kebiasaan lama, saat masa-masa indah di Baiturrahman.

Awal tahun adalah masa-masa sulit sekali. Menghabiskan malam-malam kecemasan yang menggelora. Tiada yang mengerti cerita ini. Ada satu orang kawan yang jauh, tak pernahpun berjumpa, tapi sangat menginspirasi. Pesona dirinya yang kuat dan kokoh, kadang menemani curhat penuh makna. Tapi dirinya hanya salah satu dari kawan-kawan yang luar biasa. Cuma, dia tidak tahu persis, keutuhan cerita itu. Dia seorang dokter yang taat.

Ada banyak rencana di 2011. Salah satunya adalah bisa kuliah lagi. Pasca tragedi Tsunami, banyak waktu dihabiskan di Aceh. Bersama manusia-manusia hebat yang bangkit dari titik nol. Mereka seperti pejuang yang sangat sabar dan terus melanjutkna hidup. Meskipun harus kehilangan semuanya dari Tsunami. 6 tahun kita bersama. Menyisir pantai-pantai yang disapu gelombang. Memahat lagi harapan yang pupus dan rencana yang hancur akibat air bah. Tentang cerita ini akan saya tulis dengan istimewa. Mulai gempa, air surut, jadup, karena bunda, tenda, malaikat yang menggendong, jodoh tsunami, dan beberapa cuplikan penting kehidupan saya.
……
Alhamdulillah, akhirnya Juli 2010 bisa kuliah di UI. Target awal kuliah S2 itu Februari 2011. Tapi alhamdulillah, lebih cepat dari target sedikit. Walau sebelumnya, juga lulus di IIUM Malaya. Sempat juga mendaftar di University of Peace, sebuah kampus di Costa Rica yang dimandatkan oleh PBB, kuliahnya di dua kampus, kata kepala akademiknya. 6 bulan di Ataneo University Philiphine. Program Asia Leader. Kebetulan saya pernah melihat kampus tua di kota Manila, saat akhir 2008 mengunjungi kota-kota penting di negeri Aroyyo itu. Namun, saya pulang lagi ke Aceh. Karena menyongsong masa transisi Aceh, dari konflik ke proses politik. Beberapa teman, dari 13 negara menyarankan untuk ikut terlibat menjadi aktor perubahan dan sejarah Aceh itu. Apapun hasilnya. Bukan saja penonton. Akhirnya, ikut proses politik, sampai akhirnya memperngaruhi pilihan kuliah. Jadi suatu saat, anda bisa ceritakan apa yang terjadi di tanah anda, 10-20 tahun lagi. Begitu kira-kira.

Januari, liburan semester pertama. Setelah menikmati kuliah dengan “lugu” dan tanpa bandel sedikitpun. Datang dengan cepat, pakaian rapi, wangi juga tentunya. Tapi pulang kuliah ‘nangkring’ di Seven. Maklum, tempat paling dekat dengan kampus dan kostan. Bertemu dengan teman-teman kuliah yang sangat kompak. Para pendekar pekerja keras. Pintar-pintar sangat dan penuh canda tawa. Kami kuliah seperti keluarga, pulang kuliah makan bareng, foto-foto, dan belajar bersama.

Lalu, tibalah masa liburan. Ini liburan pertama, lumayan lama juga, hampir sebulan lebih. Itulah salah satu kelebihan UI, semuanya bisa online. Jadi kita hanya perlu tahu kapan kuliah tatap muka pertama dengan dosen. Jadi kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mengejar dosen atau meminta tanda tangan persetujuan KRS. Maka, waktu libur jadi lebih lama.

Ulang tahun di udara
4 Januari, ulang tahun, sudah 28 tahun. Sudah tua. Tapi kalau dilihat ya masih kecil, karena makan tidak banyak, yang banyak cuma bicara. Hehe. Akhirnya, Selasa pagi tersebut pulang ke Aceh. Sandinya “ulang tahun di udara”. Ada-ada saja idenya. Hingga memutuskan kenapa 4 Januari pulang ke Aceh. Ingin merasakan bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memanjangkan umur lewat teropong udara.

Sebuah moment yang mengharu biru, mengingat perjalanan hidup seorang hamba, dengan berbagai rasa. Waktu kecil, masa-masa indah di Pondok sampai selamat dari Tsunami. Seperti melihat dari atas, sudah sejauh mana perjalanan ini. Impian, harapan, suka, cita, kekurangan, kelebihan, waktu yang terbuang, orang-orang yang berjasa, guru-guru yang memesona, teman-teman setia, dan orang tua yang sempurna. Semua itu tergambar kuat, terhujam dalam-dalam di perjalanan hampir 3 jam ke Banda Aceh. Setelah transit di Medan 20 menit.

Bisa dikatakan, bagi saya inilah salah satu refleksi ulang tahun yang menarik. Di Banda Aceh, sebenarnya saya ingin ketemu seseorang yang 4 Januari tahun lalu kami gagal bertemu. Memang akhirnya kami ketemu, 3 Maret 2010. Pukul 9.33. sampai pukul 10 kurang 3 menit. Masih juga teringat cara ia minum teh. (edisi Gadis Pelempar Jumrah). Sayangnya, kami tidak bertemu, karena sahabat saya ini super sibuk. Tapi 24 Januari di sebuah pernikahan teman, Gadis Pelempar Jumrah itu sempat terlihat, menggunakan camera hp ingin foto, pakaian warna biru, dan kerudung biru.

Anehnya, saat melihat saya, mukanya berubah dan langsung kabur. Seperti ‘ngambek’ begitu. Mungkin juga saya jadi orang paling menyebalkan dan mengganggu hidupnya. Any way, ini sangat mengesankan. Dia membuat saya benar-benar jatuh cinta, sepertinya. Cuma dia 'isunya' sudah ada yang punya. Dia menolak saya mentah-mentah. Saya juga pernah bersalah, meremove’a di fb, tanpa alasan. Akhirnya, setelah 8 bulan saya minta maaf, gadis cantik dan lembut itu memaafkannya.

Misi penting lain liburan itu adalah niat shalat dan mengunjungi 40 mesjid di Aceh. Suka saja saya shalat di mesjid-mesjid yang berbeda. Terutama di mesjid-mesjid yang selamat dari Tsunami. Mulai dari mesjid di Desa saya, Baiturrahman, dan sebagainya. Alhamdulillah target ini tercapai karena kami mengunjungi lebih dari 50 mesjid untuk shalat dengan seorang sahabat setia, Zamzami. Ada banyak hikmah penting, lalu menjadi lonjakan dan titian dahsyat dalam perjalanan spritual. Selain, berbagai aspek yang terekam dirumah Allah.

Mulai kebersihan, muazin, imam, jamaah dan hal unik lain. Indahnya, pada setiap mesjid yang saya kunjungi, selalu ada seseorang yang saya kenal, atau mengenal saya, lalu kami bercerita satu sama lain. Beberapa mesjid terasa aura yang mendebarkan, seperti gemuruh suara malaikat dan para syuhada yang membaca hikayat cinta dari syurga. Saya menandai beberapa mesjid itu, dan mendoakan supaya dapat mengunjunginya lagi.

9 Februari kembali ke Jakarta. Memulai kuliah lagi. Semester ini lebih berat. Karena ada 15 SKS. Cukup menyiksa, apalagi bila musim tugas dan ujian datang. Berhari-hari kita menghabiskan waktu di kamar. Sekali lagi, teman kuliah sungguh luar biasa. Tugas-tugas kami selesaikan dengan berdiskusi bersama, di sela waktu-waktu kosong mereka. Ada banyak pilihan tempat di Jakarta, ini unggulnya Jakarta.

Akhir Februari saya ke Jogja, melanjutkan liburan. Belum puas kayaknya keliling di Aceh. Awalnya, ada 8 orang mahasiswa pascasarjana Aceh yang sedang kuliah di Jogja datang ke Jakarta. Katanya ada teman walimahan. Hari itu saya sengaja ke FOBA, asrama mahasiswa Aceh di kawasan elit Jakarta. Tujuan saya bermain bola, olahraga sorelah. Tanpa sengaja, kami ketemu dan saya mengantarkan mereka pulang ke Jogja. Setelah mendayu-dayu dan menikmati bintang di kota Kembang Bandung.

Ternyata di Jogja ada banyak yang saya kenal. Mereka sangat kompak. Sering bertemu dan masak bareng. Maka, bila anda kuliah di Jogja, anda bisa tiap minggu makan makanan Aceh ala mahasiswa. Kota Jogja tidak terlalu besar, maka memudahkan untuk beraktivitas di luar kuliah. Tidak ada macet dan makanan sangat murah. Kota ideal dan penuh kesejukan untuk belajar. Dan melihat masyarakat yang unik, berbudaya, dan penuh senyum. Awalnya, saya merencanakan dua malam di Jogja, karena harus kuliah. Tapi pesona jogja, dan magnet kemesraan bersama teman-teman pasca disana memaksa saya dengan seorang teman seminggu disana.

Dulu, oktober 2002, saya pernah ke Jogja untuk pertama sekali. Saya ikut program Pertukaran Pemuda Antar Propinsi (PPAP), kebetulan kami ditempatkan di Jogja bersama 4 propinsi lain, Banten, Kalbar, Jambi, Aceh dan Maluku. Kami tinggal di daerah pedalaman, yaitu di Purwodadi, Tepus, Wonosari. Sebuah daerah terpencil di Laut Selatan Jogja. Air bersih tidak ada disana, tanahnya tandus dan sangat memprihatinkan. Cuma, mereka rajin bekerja, ramah terhadap pendatang dan memuliakan tamu. Kami tinggal di sebuah rumah orang tua angkat. Namanya, pak Dardi dan Ibu Sumarni.

Kita kehilangan komunikasi dan tidak pernah bertemu sejak 2002. Saya selalu teringat sama mereka, orang-orang desa yang sangat baik. Pekerja keras, sangat ramah dan berbudaya. Par Darli ini, memiliki koleksi buku yang sangat banyak. Foto-foto dari masa kecilnya kakeknya disimpan dengan rapi dalam album, lengkap dengan keterangannya. Rumahnya sangat sederhana, alasnya masih tanah, tapi menawan. Ada kedamaian disini. Ketentraman dan alam yang asri.

Karena sudah lama tak bertemu, mungkin mereka pikir kami juga sudah terkena musibah tsunami. Ada satu teman saya, yang tinggal di rumah ini, hilang saat Tsunami. Namanya Suryadi, tinggal di Peukan Bada, Aceh Besar. Meski tidak bertemu lama, selalu terngiang wajah mereka di mata. Maka, saya memutuskan akan mengunjungi mereka. Apakah masih hidup atau sudah tiada.

Setelah saya meyakinkan, teman-teman Jogja, akhirnya kami, Anwar, Ramzi, Ihsan, Muttaqin, Fauzan, Akmal, Tgk Don, Syukri mengunjungi ‘Ibu’ Jogja saya. Saya coba memutar memori, 9 tahun lalu. Saya lupa-lupa ingat nama ibu Sumarni apalagi desa dan rumahnya. Tapi terus memaksa diri untuk ke Tepus. Berharap bertemu dengan orang-orang baik. Mereka yang tulus mengabdi untuk orang lain dan negeri. Sehari-hari mereka memulai kehidupan dengan menyapu halaman, bekerja, mencari rizki, dan menolong orang lain.

Orang-orang desa di Jogja ini sungguh agung. Tiada dusta diantara mereka. Dalam perjalanan, kebetulan kami berangkat dengan mobil pribadi dan menyaksi pemandangan yang indah dan jalan panjang yang berkelok-kelok. Akhirnya, setelah dua jam perjalanan kami tiba di tujuan. Saya masih ragu, apakah nantinya ibu atau bapak ingat. Soalnya sudah 8-9 tahun. Tanpa komunikasi. Tapi di desa itu ada tiga bangunan yang saya ingat persis, pertama sebelah kiri ada SD, disitu dulu kami mengajarkan tari Saman bagi siswa sebagai pertukaran dan pengenalan budaya. Sebelah kanan, ada lapangan bola, tempat sore menendang bola, dan malam hari menonton layar lebar, yang sebulan sekali ada. Masih sangat tradisional. Lalu, jalan masuk ke rumah Ibu ada mesjid kecil. Di Mesjid ini, seorang remaja penjaga mesjid, sempat memaksa saya untuk merekam suara mengaji juz 30, lalu setiap sore menjelang azan, rekaman itu diputarkan. Saya baru tahu itu setelah beberapa hari sampai ke Aceh, ada berita dari seorang dari DInasi Pendidikan Jogja, pak Ponidi. Tapi mereka itu sekarang sudah kehilangan kontak.

Sekira-kira jam 11.00 WIB, kami sampai di rumah. Ibu Sumarni masih terlihat, menyapu halaman. saya yakin inilah rumah 9 tahun lalu saya tinggal 20 hari disini. Disamping rumah Ibu Sumarni, ada rumah Ibu Henny, dan rumash Sih, seorang pelatih nari di desa itu. Kalau ke Rumah Ibu atau Pak Darli kita melewati rumah Ibu Henny dan Sih, yang persis bersebelahan.

Ibu henny punya kios kecil di depan rumah, saya samperin dan bertanya, "salam, ibu Henny ya? apa itu rumah pak Darli, sambil menunjuk kekanan. Ia, katanya, mas Aswir ya? Azwir bu, saya betulkan ejaannya. sementara teman-teman lain asik melihat-lihat sekeliling. Menikmati permandangan. Iya bu, alhamdulillah dalam hati saya, mereka masih ingat. Akhirnya, saya minta izin untuk kerumah Ibu.

"Assalamu'alaikum, Bu" dengan Pede saya langsung mendekati Ibu Suamarni. "masih ingat saya, Bu' tanya saya sambil menjulurkan tangan bersalaman. Ibu itu menantap saya dengan tajam, mungkin dia mengingat-ingat. lalu..."gaaakk", kata ibu itu. Saya tersentak, dan kawan-kawan nyengar nyengir, ada juga yang berbahasa Aceh. Saya masih merayu ibu itu dan akhirnya kami masuk kerumah, Sih lalu membantu Ibu membuatkan teh dan kami bercerita. Bapak tidak dirumah, ternyata sekarang sudah mengajar, anaknyapun sudah bekerja. Ibu tinggal dirumah.

Lalu, kami berangkat ke Saung di laut Selatan, disana tempat berkumpul nelayan, ada kelompok-kelompok nelayan. Kebetulan Pak Darli ini salah satu yang ditetuakan. Alhamdulillah setelah shalat, kami makan ikan bakar seperti di rumah sendiri. Romantisme 9 tahun lalu, dan kerindungan akan tanah para pekerja keras dan orang-orang tulus itu terbayar sudah. Meski bapak dan anaknya tidak berjumpa, alhamdulillah komunikasi dan silaturahmi terjalin lagi. Kami pamitan dan titip salam sama Bapak dan warga disana. Setelah sempat juga ketemu dan melihat-lihat sambil foto-foto di laut selatan itu. Beberapa kali kita telponan sampai sekarang, anaknya Agus, dan Henny sekarang juga punya Fb.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar