Minggu, 04 Maret 2012

Film Bagus Pemilukada

Oleh Azwir Nazar
Istillah ‘film bagus’ ini pertama sekali dilontarkan Wagub Muhammad Nazar, salah satu-kandidat Gubernur Aceh menanggapi putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon baik Gubernur/wakil maupun 17 Bupati/walikota di Aceh. Harapan Nazar pemilukada ini lebih baik dan berkualitas di banding pemilu 2006 dan pemlilu legislatif 2009, (17/1).

Nazar menukilkan Pilkada Aceh seperti film saja. Dan makin banyak yang bermain, akan makin bagus filmnya. Lain Nazar lain pula Irwandi Yusuf. Irwandi menganggap dirinya orang biasa dalam pertarungan Pemilukada ini. Padahal sebenarnya memegang peran penting sebagai Gubernur. Dalam sebuah media online (25/1) ia mengatakan bila masyarakat Aceh ingin memilih dari kalangan perjuangan, pilih Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Jika ingin dari kalangan Profesor pilih Darni Daud. Jika ingin dari kalangan ulama pilih Abi Lampisang. Jika mau dari kalangan bangsawan pilih Muhammad Nazar. Dan, jika masyarakat ingin Gubernur dari kalangan biasa saja, pilih saya. Begitu kira-kira Pernyataan Bang Wandi.

Sebelumnya, Zaini Abdullah pernah juga melontarkan sebuah pernyataan menarik di media saat konferensi pers usai mendaftar di KIP Aceh (20/1). Mantan Mentroe Kesehatan GAM ini mengatakan ada masa kita mundur, ada pula masa kita maju. Menurut mantan Juru runding GAM ini, bukan soal maju atau mudurnya, tapi ini adalah win-win solution untuk kepentingan kelanjutan perdamaian. Politik adalah sesuatu yang tak bisa diprediksi. Terkadang di satu waktu harus ada langkah mundur dan di waktu yang lain perlu maju. Jawabnya sangat diplomatis menjawab pertanyan wartawan karena sebelum keputusan sela MK kedua, PA tidak mendaftar.

Prof Darni Daud juga tidak mau ketinggalan, ia melontarkan pernyataannya mengejutkan publik ketika mengatakan dirinya mendaftar agar Pilkada ditunda.Saya tidak dipilih oleh rakyat Aceh juga tidak apa-apa, yang penting pilkada bisa berjalan damai sesuai aturan. Dengan saya maju, saya harus dites kesehatan dan diuji membaca Alquran, itu membutuhkan waktu agar pilkada ditunda, kata pak Darni dalam sebuah forum diskusi (13/11).

Pemain baru, Hendra Fadli maupun Zulfahrulsyah Mega belum berkata-kata. Awalnya karena mungkin mereka merasa belum ‘aman’. Sebab, belum diverifikasi faktual fotokopy KTP dukungan oleh KIP. Walau dalam test mengaji, Zulfinar, calon wakil dari Zulfahrulsyah Mega meraih pemuncak satu. Tapi, akhirnya mereka gagal menjadi calon karena tidak mencukupi syarat. Saya mendengar salah satu pasangan akan menggugat KIP. Sementara Abi Lampisang kelihatan slow. Dan cukup senang dengan pilihan jatuh no 1. Kubu Abi tidak terlalu banyak tampil di media.

Dan, ternyata tidak saja para kandidat yang angkat bicara. Kita mencatat Abdul Salam Poroh, ketua KIP pun megancam mundur bila Pemilukada ditunda (7/1). KIP memang sangat direpotkan dalam ‘film’ pemilukada ini. Bayangkan sudah 4 kali penundaan. Mulai Oktober, 14 November, 24 Desember, 16 Februari dan 9 April.

Pemilukada Aceh memang ibarat drama. Bukan saja para para kandidat yang bersahut-sahutan di media. Namun, juga proses panjang tarik ulur Pilkada ini sendiri. Bahkan menjadi kisruh antar elit yang memicu memanasnya situasi Aceh sebulan lalu. Kita belum tahu apakah perang urat saraf ini akan berlanjut atau justru berakhir dengan putusan MK, Jumat (27/1).

Kisruh Pilkada berawal ketika MK mengabulkan uji materi pasal 256 UUPA tentang calon perseorangan. DPRA yang mayoritas PA tidak mengakuinya. Lalu menolak semua tahapan pemilukada. KIP dituding ‘melangkahi’ DPRA sebagai representatif wakil rakyat. Sementara eksekutif sebaliknya menuduh DPRA mengulur waktu dengan tidak membahas raqan qanun Pemilukada. Kemudian KIP merujuk Qanun no. 7 tahun 2006 dengan mengakomodasi calon perseorangan. Kateganganpun dimulai. Sampai ada collingdown sebulan selama Ramadhan.

Film ini kemudian berlanjut pada aksi gugat menggugat ke MK. Situasi Aceh membara. Penembakan buruh dan warga sipil dengan etnis tertentupun berlangsung. Isu Aceh kemudian menjadi ‘hot’ dan top topik berbagai media nasional. Putusan sela MK pertama (3/11), memunculkan calon baru. Waktu Pemilukadapun bergeser. Mendagri lalu menggugat KPU dan KIP ke MK, sampai putusan sela MK kedua dan putusan akhir MK yang memutuskan penundaan Pilkada paling telat 9 April mendatang.

Teori Drama/FIlm
Dalam ilmu komunikasi, istilah drama atau film bukan hal asing. Apalagi dalam panggung politik. Dalam kampanye Presiden di Amerika sekalipun dipakai. BIla kita telusuri, ada istilah Dramatism. sebuah aliran yang menganggap bahwa politik adalah panggung sandiwara. Aliran ini dikenalkan oleh Kenneth Burke seorang kritikus pertunjukan drama dan pemerhati komunikasi pada akhir abad ke 19. Alat yang dia pakai untuk menganilisis dikenal dengan dramatic pentad. Metode singkat mengetahui ‘talk about their talk about’.

Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Everyday Life juga memperkenalkan tentang dramaturgi. Sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Individu dapat dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, tapi impresi orang akan berbeda-beda. Di panggung politik, politisi menciptakan image terhadap penampilannya, tapi itu berbeda dengan realitas sebenarnya. Fokus pendekatan ini bukan apa, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Prilaku ekspresif inilah disebut bersifat dramatik. Karena ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya.

Sejenak, film atau drama pemilukada ini memang jeda. Sepertinya alur sudah mulai menurun. Situasi Acehpun sudah lebih baik. Putusan akhir MK yang memutuskan Pemilukada 9 April dianggap sangat rasional. KIP pun tidak mungkin memaksakan hari pencoblosan 16 Februari, apalagi dengan munculnya calon perseorangan. Film bagus pemilukada ini akan berakhir atau justru baru memulai episode berikutnya, kita pantas saksikan bersama.

Hanya saja, kita berharap film bagus pemilukada Aceh ini jangan sampai orang lain sutradara dan produsernya. Elit Aceh lalu jadi pelakon saja. Rakyat Aceh penonton budiman. Lalu bertepuk tanganlah mereka yang ada di negeri lain. Karena melihat kita asik bertengkar!

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI dan Alumni Bahasa Arab IAIN Ar Raniry.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar