Rabu, 23 Maret 2011

Aceh Rindu Damai

Oleh Azwir Nazar*)

Kisah sedih di hari Minggu, 26 Desember 2004 lalu masih menyisakan duka dalam bagi semua orang. Bukan saja yang tertimpa musibah, tapi juga seluruh bangsa yang memiliki nurani kemanusiaan. Sehingga, gempa bumi dan gelombang Tsunami tersebut juga mengundang banyak bangsa menjenguk Aceh. Ibarat orang sakit, Aceh kebanjiran ?pelayat? dari seluruh dunia. Tentu pula dengan beragam corak dan aneka cara. Semuanya dengan alasan solidaritas dan nurani kemanusiaan. Mulai dari masa emergensi, rehabilitasi dan rekontruksi bule-bule itu masih berada di Aceh.

Beberapa hari kita sempat cemas, karena kerusakan akibat tsunami begitu dahsyat. Roda ekonomi dan pemerintahan semeraut. Pendidikan sebagai penyangga masa depanpun memprihatinkan. Kita cemas karena takut kelaparan dan nasib yang tak menentu pasca tsunami. Maklum, Aceh juga daerah yang sudah lama dirundung konflik. Tapi, tsunami justru menjadikan Aceh free zone bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Jadilah Aceh sangat popular di belahan dunia lain.

Memang tsunami membuat kita kehilangan sanak famili, merengut seluruh harta benda, meluluhlantakkan rumah dan pertokoan, menjungkirbalik pepohonan dan tiang-tiang, semua rata dengan tanah. Semua menjadi nol. Tanpa apa-apa. Pejabat, rakyat jelata, orang kaya, si miskin, PNS, buruh, tentara, pedagang, semua adalah makhluk tak berdaya. Kecuali mesjid yang berdiri kokoh hampir di semua daerah musibah.

Tapi, peristiwa Tsunami pula yang mengetuk pintu nurani kemanusiaan pemerintah RI dan GAM untuk berdamai. Menyelesaikan konflik melalui jalur politik. . Walau sebelumnya jalur damai juga sudah ditempuh. Ya, penandatanganan perundingan Helsinki 15 Agustus lalu adalah momentum Aceh baru. Setelah hampir 30 tahun bersengketa, akhirnya pemerintah RI dan GAM sepakat mengakhiri konflik. Konflik bersenjata berkepanjangan tersebut juga menelan korban yang tidak sedikit. Pro dan kontra Helsinki Meeting masih saja menjadi buah bibir dan berita utama media massa selama beberapa bulan terakhir. Baik lokal maupun nasional.

Kalangan kontra berpendapat bahwa pemerintah menyerah kepada GAM dengan mengikuti kemauannya, kekhawatiran internasionalisasi masalah Aceh, juga isu partai lokal tawaran GAM dianggap sebagai pintu belakang menuju kemerdekaan. Isu terakhir ini menjadi pembicaraan hangat menyangkut undang-undang baru bagi pemerintahan di Aceh, syarat partai lokal, dan sebagainya. Bahkan ada yang lebih ekstrim menganggap pemerintah SBY-Kalla inskontitusional. Malah, ada gerakan-gerakan baru mengatasnamakan untuk membela tanah air. Sementara bagi GAM, menurunkan hasrat merdeka kepada self government karena menurut mereka yang terpenting adalah rakyat Aceh.

Sementara kalangan yang pro menyarankan SBY-Kalla justru diberi hadiah nobel perdamaian. Alasannya karena SBY-Kalla berhasil mempertemukan kedua pihak untuk duduk di meja perundingan dan kembali kepangkuan Ibu pertiwi. Walaupun harga yang di bayar sangat mahal. Pertama, memang biaya jalur militer lebih besar dibanding melalui meja perundingan. Kedua, dikatakan lebih mahal karena menyangkut masalah kedaulatan bangsa Indonesia. Sebab, banyak dari poin-poin kesepakatan masih terlalu longgar untuk dapat ditafsir. Sangat memungkinkan versi GAM dan pemerintah RI bisa berbeda. Jadi, ada yang menyarankan ada semacam ?pejabat senior? dari kedua pihak untuk meluruskan atau sinkronisasi tafsiran dari masing-masing pihak. Hal ini menjadi penting dalam hal implementasi dan sosialisasi di lapangan. Ada juga yang berpendapat bahwa janganlah melihat pohonnya, tapi lihatlah hutan seluruhnya.

Semua asumsi, ulasan, dan pendapat semua orang tentang Aceh adalah sah-sah saja.Tapi semua harus dibangun berdasarkan fakta dan realita di Aceh. Alangkah lebih bijak bila masalah Aceh ditanyakan langsung pada rakyat Aceh. Jakarta dan siapapun jangan sok tahu masalah Aceh. Sehingga, penyelesaiannyapun jangan sesuka hati. Acuh tak acuh sebagian rakyat Aceh terhadap penandatanganan perundingan Helsinki lebih dikarenakan karena rakyat sudah jenuh. Rakyat hanya selalu menjadi korban dari setiap konflik berlangsung. Semua mengaku berjuang untuk rakyat, tapi justru menyengsarakan rakyat. Tafsir penyelesaian masalah Aceh harus dilandasi semangat keikhlasan menerima kenyataan oleh kedua belah pihak untuk selalu berpikir jalan-jalan yang terbaik.

Satu hal yang membuat banyak orang lupa bahwa sesungguhnya Aceh bukanlah milik pemerintah dan GAM saja, tapi seluruh rakyat Aceh memiliki hak atas tanah Aceh. Walau sejengkal tanah, rakyat jelata dan komponen sipil harus dihargai dan dimanusiakan. Nyawa rakyat bukan seperti nyawa sapi yang begitu mudah tergadai oleh peluru panas karena berbeda pendapat. Pembungkaman, pengusiran, teror, intimidasi, penculikan ataupun namanya terhadap rakyat tidak dapat dibenarkan.

Apapun bentuk perundingan, dimanapun berunding bagi rakyat hanya satu. Damai. Titik. Damai adalah kemerdekaan. Rakyat ingin hidup wajar dan dapat menjadi dirinya. Bisa ke sawah dan ke ladang. Melaut, berdagang tanpa ada penodongan senjata. Sama seperti di daerah dan di dunia yang lain. Cota tanyakan saja mereka yang hidup terlunta-lunta di gubuk nun pelosok disana. Coba tanyakan mereka yang terseok-seok di tenda pengungsian. Atau mereka yang terhimpit panas di barak-barak pengungsian.

Padahal disadari atau tidak rakyat dan komponen sipil memiliki potensi besar untuk menjadi jalur tengah penyelesaian masalah Aceh. Atau mungkin bahkan ditangan rakyat dan komponen sipillah Aceh akan hidup sejahtera dan damai. Sebab, merekalah yang lebih tahu apa yang mereka inginkan. Merekalah yang mengalami tiap hari. Logikanya, kedua pihak seharusnya menarik simpati rakyat kalau ingin mendapat tempat di hati rakyat. Sebab, masalah Aceh tidak akan cukup diakhiri sebatas perundingan oleh kalangan petinggi manapun di negeri nun jauh disana. Di tanah Aceh menanti kerja besar untuk mengimplementasikan kesepakatan itu. Kesepakatan damai mesti dikawal dengan upaya membangun kepercayaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Implementasi adalah pertaruhan apakah satu pihak berani mempercayai pihak lain yang selama ini menjadi lawan. Bukan teken saja.

Untuk itu, dengan realitas diatas kita tersadar akan pentingnya kehidupan damai di Aceh. Terlepas dari kepentingan politik semua orang, persoalan Aceh hanya akan selesai dengan jalur damai. Karena kekerasan hanya melukai setiap orang. Perundingan Helsinki adalah starting point untuk menuju pintu damai di Aceh. Jadi bukan final. Bukan dengan penandatanganan berakhirlah semua masalah.

Cornelis Lay dan Kustanto Anggoro justru mewanti-wanti agar jangan berharap muluk-muluk dulu. Menurutnya, setiap negara majemuk dan bangunannya dilandasi masyarakat yang sangat tua memang dihadapkan pada persoalan regional yang tidak mudah. Aceh itu persoalan regional yang serius bagi indonesia karena berkait dengan pergulatan soal identitas.

Kalau soal ketidakpuasan ekonomi dan ketidakpuasan politik seperti tuntutan DI/TII, model-model penyelesaian negosiasi dan model seperti ini menjadi model final. Namun, karena ada persoalan identitas kesukuan dan agama, maka akan tetap menjadi pertanyaan tidak mudah segera diselesaikan. Ia khawatir harapan politik para negosiator dan pemerintah serta para pengambil kebijakan bahwa negoisasi di Helsinki ini sebuah usaha politik maksimum terakhir dan semua masalah sudah menjadi selesai.

Peristiwa ini hanya transformasi bertahap dari penggunaan metode kekerasan menjadi metode politik. Jadi, fungsi negoisasi ini bukan untuk menyelesaikan persoalan regional, tetapi untuk meminimalisasi instrumen kekerasan dan militer. Pekerjaan panjang jauh lebih berat dari negoisasi politik yang parsial ini dan tidak mungkin berhenti dalam waktu dekat. Meski demikian, hasil negoisasi yang menyetujui penghentian kekerasan ini harus dicatat sebagai prestasi besar karena pembeda fundamental peradaban politik yang baik dengan politik barbarian adalah kemampuan mencegah penggunaan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian. MoU Helsinki harus dipahami sebagai bukan sebagai one for all formula. Itu bukan formula akhir yang menyelesaikan segalanya. Para perunding harus melihat betul sejarah bahwa gejolak di Aceh belum bisa diselesaikan dalam waktu 70 tahun sampai hari ini. Bangsa ini harus belajar bahwa ada masalah regional yang tak bisa diselesaikan dengan perundingan dan produk pertemuan politik sebagus apapun bukan jaminan akhir penyelesaian. Masih tetap membutuhkan proses negoisasi yang panjang.

Kunci utama dalam proses panjang itu adalah bagaimana mengambil kepercayaan masyarakat. Mengembalikan sharing identity, yaitu bagaimana Indonesia memasukkan Aceh sebagai bagian identitas. Dan sangat bersamaan NAD juga berproses menerima Indonesia dan bagian-bagian lain sebagai identitasnya. (Kompas, 23 Juli 2005).

Karenanya, sikap GAM yang tidak mematok lagi harga merdeka dan turun gunung adalah sebuah prestasi. Prestasi bagi GAM dan juga bangsa Indonesia. Karena sama-sama memikirkan rakyat Aceh. Sebab itu, semua kita juga harus komitmen cinta kedamaian. Mou Helsinki adalah ibarat bayi. Seorang bayi harus kita jaga bersama, kita pelihara dan kawal bersama. ?Bayi harampun? dalam agama tidak disuruh bunuh, karena ia tidak berdosa. Kitalah para pendosa yang manatap orang lain dengan penuh murka dan selalu menganggap diri paling benar. Semua kita.

Kita memang berdoa semoga tidak lagi ada gelombang tsunami. Tapi, mari juga berdoa semoga tak juga ada ?tsunami lain?. Tsunami pembunuhan. Tsunami penculikan. Dan Tsunami kekhawatiran. Terakhir, bilapun ada airmata yang tertumpah di tanah ini, maka itu adalah airmata haru gembira karena anak negeri hidup rukun damai bahagia. Bukan lagi, airmata kebencian dan kepedihan yang saban hari hanya akan melukai semua kita. Berlebihankah kami rindu damai?. Wallahua?lam. Mohon maaf bila khilaf tulisan saya.

Ini tulisan pernah dimuat di web.acstf.org, sebuah lembaga dan jaringan sipil di Aceh yang komitmen atas usaha-usaha damai untuk Aceh
Wednesday, 07/09/2005 - 10:03 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar