Rabu, 23 Maret 2011

Komitmen Yang Tergilas

(Surat dan Bungoeng Jaroe Wisudawan Untuk Rektor IAIN Ar-Raniry )
Hari ini, Senin (3/9) adalah hari bahagia. Hari wisuda bagi saya, dan juga teman mahasiswa lain di IAIN Ar-Raniry. Tentunya yang akan di wisuda. Secara status,setelah wisuda kami bukan lagi mahasiswa. Sarjanalah tepatnya. Bahagia juga karena sudah melewati satu fase penting dalam hidup menuju masa mendatang. Walau, bukan jaminan menjadi orang berhasil dalam hidup kelak. Karena tak dapat dipungkiri banyak juga orang berhasil, tapi bukan sarjana. Atau tidak sekolah.

Adapula bagi orang-orang tertentu, siap kuliah, apalagi S1 biasa-biasa saja.Namun, bagi sebagian lain momentum ini sangat dirindukan dan istimewa.Berbondong-bondong para orang tua dan orang kampung khusus datang ke Banda melihat wisuda anak dan saudaranya. Terlepas nanti mau jadi apa. Yang penting sudah siap kuliah dulu, kata mereka.

Sisi lain, menjadi sarjana, menambah tanggung jawab dan amanah. Baik sebagai individu, maupun secara sosial. Tentu dalam hal mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. Menyeru pada kebaikan dan mencegah keburukan. Berani berkata benar, walau itu pahit. Nah, alasan terakhir inilah saya menulis celoteh ini. Saya sebutnya surat untuk rektor IAIN Ar-Raniry, Yang terhormat, Prof Yusny Saby.Barangkali untuk semua kita. Anggap saja ini surat harapan. Sebuah unek-unek.Mohon maaf bila khilaf kata melukai, semoga andapun berbahagia dan menerima ini sebagai bungoeng jaroe terindah dan bermanfaat di hari bahagia ini.

Refleksi
Saya masih ingat, Rabu (20/4/2005) saat Yusny Saby terpilih menjadi rektor IAIN Ar-Raniry masa bakti lima tahun mendatang. Yusny berhasil menyisihkan Warul Walidin, Rusjdi Ali Muhammad (Rektor sebelumnya), dan Daniel Djuned. Dari 281 pemilih, Yusni memperoleh 110 suara, Warul 87, Rusjdi 60 dan Daniel Djuned 4 suara. Yang abstain 19 orang, 1 orang tidak hadir. Lantas, Yusny tidak juga mulus untuk dilantik, harus melalui jalan berliku. Karena suhu politik IAIN Ar-Raniry masih panas, ada pihak-pihak yang masih ingin menang. Tapi, akhirnya dilantik juga oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada kamis (7/7) di Jakarta. Bersama beberapa rektor lain.

Sejak terpilihnya Yusny Saby, secercah harapan terbuka untuk perubahan. Tidak berlebih bila sebagian besar aktivis di kampus menyebut; kita memasuki babak baru. Ya, era baru IAIN Ar-Raniry, layaknya orang menyebut era baru Aceh di bawah bang Irwandi-Nazar pasca kemenangan dalam Pilkada Desember silam. Begitu kira-kira. Apalagi Yusny Saby dalam visi misinya dengan sangat meyakinkan menulis judul “ke DEPAN yang LEBIH BAIK”. Memang, saat itu beliau belum menjadi Ketua Badan Reintegrasi Aceh. Kondisi kita juga baru terkena Tsunami, dan kampus IAIN Ar-Raniry saat itu sebagian besar juga dihantam Tsunami.

Waktu itu, banyak orang menganggap adagium IAIN Ar-Raniry sebagai jantong hate masyarakat sudah tak ada. Kalaupun ada, mungkin dalam berkas di laci. Dunia akademis dan pondasi intelektual runtuh akibat tirani penguasa yang tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak benar. Hingga, kaum akademisi dan intelektual kehilangan identitas sekaligus moralitas. Ada identitas baru, seperti pencuri, koruptor, preman dan mafia.
Disamping itu, terjadi pengebirian terhadap civitas akademika pada hak dan kedaulatan mereka. Rektor hanya dipilih oleh senat. Pemilihan senatpun tidak akomodatif menyerap aspirasi civitas akademika. Senat berdasarkan pengangkatan, jadi anggota senat bisa didekte oleh rektor. Terus terjadi lepas kontrol, acuh tak acuh dan penyelewengan. Yang bersuara di luar senat akan terisolasi dan dianggap pemberontak. Akhirnya, “kejahatan kaum akademis” merajalela. Korupsi justru terlindungi. IAIN Ar-Raniry hanya menjadi gerobak sampah. Terseok pada rumput dan ilalang yang makin panjang, jalan-jalan bocor, pustaka yang kumuh, dan kondisi mengenaskan lain. Belum lagi dampak Tsunami tadi.

Dengan kondisi seperti itu, kita mendamba sosok rektor yang dapat membawa IAIN Ar-Raniry keluar dari situasi buruk tersebut. Kita bermimpi akan ada rektor seperti Ayahanda Prof Safwan Idris. Yang bisa menyejukkan dan menyatukan semua komponen di IAIN Ar-Raniry. Yang ikhlas berbuat untuk kemajuan IAIN Ar-Raniry.

Untuk maksud itu, berbagai upayapun dilakukan, termasuk membentuk forum silaturahmi yang dimotori Ayahanda A Rahman Kaoy. Singkat kata, saat itu, Yusny Saby dianggap mendekati sosok itu. Ia diyakini oleh banyak orang mampu mempertaruhkan nilai-nilai kebenaran, keterpercayaan, dan kejujuran. Ia dianggap memiliki modal intelektual, modal kultural dan modal simbolik, berupa status dan prestise yang baik di tengah asyarakat. Apalagi sosoknya sebagai ustadz. Itu selalu dibanggakannya dulu saat mengajar, berceramah dan berorasi ilmiah. Dulu.

Menurut saya, karena itulah Yusny Saby Menang. Menjadi rektor. Tentu dengan tanggung jawab yang begitu besar. Maka, wajar tekadnya untuk menjadikan IAIN Ar-Raniry ke depan yang lebih baik harus di dukung kala itu. Sebab, menurut Yusny, ada tiga pondasi membangun IAIN ke depan; pertama, pencapaian kualitas yang tinggi, kedua, terbinanya akhlak yang mulia, dan ketiga, siapnya civitas akademika menjadi pelopor dalam berbuat. Untuk itu, tambah Pak rektor perlu disusun sebuah program kerja yang andal, feasible, rasional, dan bermartabat.

Dengan demikian, IAIN Ar-Raniry harus menjadi pelopor yang bermartabat sebagai pusat kajian keislaman, yang mengakomodir dinamika budaya bangsa, yang berwawasan global dengan landasan akhlak mulia. Pak rektor yang mulia. Kami masih ingat pula janji anda dengan seabrek konsep dan langkah-langkah yang anda rencanakan. Seperti; janji, perbaikan sistim, akademik, kesejahteraan, penelitian, pengabdian masyarakat, tata ruang, hubungan antar lembaga, dan pemberdayaan. Plus didukung oleh banyak orang pintar. Profesor, Doktor, dan tokoh intelek lain. Dalam perbaikan sistem, misalnya yang paling menarik bagi saya adalah anda menjadikan sumpah jabatan, benar-benar sumpah, sehingga ia diharapkan dapat berfungsi sebagai ruh bagi tindakan setiap pejabat yang diamanahkan jabatan. Malah, anda berharap sumpah jabatan itu sendiri dilakukan dalam prosedur sakral, lebih dari sekedar upacara. Begitu kira-kira. Peningkatan status IAIN sebagai Universitas, ketua senat bukan rektor, dan sebagainya.

Evaluasi
Melihat realitas IAIN Ar-Raniry sekarang, pasca 2 tahun kepemimpinan Yusny Saby sungguh mengecewakan. IAIN bukan malah lebih baik, tapi lebih amburadul. Konflik suksesi 2 tahun lalu makin mengental. Diperparah dengan konflik struktural antara pihak fakultas dan biro rektor. Akibatnya, terjadi saling acuh dan saling menyalahkan. Wibawa seorang rektor melemah, nayaris tak ada. Institusi intelektual tersebut menjadi keropos. Iklim sehat untuk belajar, tercemar oleh fitnah yang bergentayangan di sudut-sudut kampus. Para dosen banyak aktif di luar, dibanding mengajar. Tetap saja IAIN seperti gerobak sampah, pagar-pagar roboh, lembu-lembu mondar mandir di depan ruang kuliah, rumput dan ilalang yang tetap panjang, bahkan kreativitas mahasiswa dipasung oleh kebijakan sepihak rektorat.
Kolega yang mendukung Yusny juga satu-satu menjauh. Mereka lebih memilih mengumpul pundi-pundi uang ketimbang mengabdi penuh untuk IAIN. Dengan bekerja di lembaga-lembaga beruang lain. Alasannya sederhana, kesejahteraan. Barangkali, mereka tak bisa serta merta disalahkan. Karena rektor juga lumayan aktif di luar. Jadi, logikanya ikan itu busuk di kepalanya. Jadi, mana ada yang mau patuh. Sangat sulit menemukan yang benar-benar peduli kampus. Sama sulitnya mencari perawan di sarang pelacur.

Sementara kabinet Yusny Saby yang lain kabanyakan konsep, mungkin karena orang bergelar. Tapi, tidak menjadi pelopor dalam berbuat. No action, talk only. Singkat kata, tidak ada yang bisa dibanggakan dari IAIN Ar-Raniry di bawah kepemimpinan Yusny Saby. Memang ada sedikit perubahan, sangat sedikit. Jauh dari harapan. Pak Rektor menjadi lebih sibuk dan terkenal di publik. Beliau sohor secara pribadi, sama halnya seperti Dek Yusniar. Tapi sohornya tidak membawa pengaruh signifikan bagi kemajuan IAIN Ar-Raniry. Kenyataan demikian telah menempatkan Yusny Saby jauh dari komitmen awal membangun IAIN Ar-Raniry ke depan, yang lebih baik.

Komitmen Yusny dan koleganya telah tergilas oleh uang dan jabatan yang melenakan. Apalagi, Aceh banjir uang pada masa rehab rekon. Rehab rekon memang penting untuk Aceh pasca Konflik dan Tsunami. Tapi, menyiapkan sumber daya manusia yang capable dan moralis jauh lebih penting dari rehab rekon itu sendiri. Sebab, tanpa moral dan nilai-nilai agama yang tertanam hanya akan menjadikan manusia pengemban amanah rehab rekon itu menjadi drakula-drakula penghisap air mata darah pengungsi dan masyarakat korban.

Karena itu, seharusnya Pak Yusny menjadi sosok teladan, pelopor dalam berbuat, di tengah gerahnya masyarakat akan hadirnya seorang intelektual pemimpin yang memiliki uswah hasanah. Yang bisa menjadi guru besar masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat konflik dan Tsunami. Kalau di kampus yang menjadi jantong hate masyarakat sudah tidak ada lagi keteladanan, atau di IAIN para kaum cendikia sudah busuk, sama siapa lagi masyarakat berharap. Bukankah kampus adalah miniatur negara? Lalu, apa artinya semua yang anda ajarkan kepada kami akan sebuah keteladanan?

Untuk itu, bila ingin berubah banyak hal yang bisa dilakukan. Saya sarankan diantaranya, Pertama, Yusny Saby bersama senat harus melakukan evaluasi menyeluruh 2 tahun kepemimpinannya. Dengan melibatkan semua komponen di kampus. Melihat lebih jujur dan lebih dalam apa yang telah dilakukan selama 2 tahun. Melakukan otokritik. Termasuk melihat kinerja Pembantu Rektor, Kepala Biro dan kabinet lain. Bila anda berani, lakukan reshufule pada pejabat yang tidak layak dan tidak mampu mengemban tanggung jawab di posisinya. Kedua, Pak Yusny dalam sisa masa jabatannya harus sungguh-sungguh menfokuskan diri membangun IAIN ke arah yang lebih baik sebagaimana janjinya. Anda harus meninggalkan semua jabatan di luar kampus, dan memberi keteladanan dengan memikirkan dan membangun kampus.

Sesuai komitmen awal. Sehingga, berani bertindak tegas atas para dosen yang bekerja di luar, dan mengabaikan mengajar. Kita sudah tertinggal jauh, dari kampus tetangga, Unsyiah. Jadi, jangan lagi asik alan-jalan. Ketiga, lakukakan rekonsiliasi. Rangkul semua potensi dan
kekuatan-kekuatan di kampus. Mulai dari dosen, mahasiswa dan komponen lain. Dengan satu tujuan membangun kampus dengan ikhlas untuk ummat. Semua pihak yang punya keinginan membangun IAIN yang lebih baik harus ikhlas menanggalkan ego masing-masing demi kemajuan IAIN.
Mahasiswa dan lembaga-lembaga mahasiswa harus menjadi pengontrol dan penyeimbang di kampus. Harus berani. Jangan menjadi sumpalan orang, dan kepentingan politik tertentu. Ingat, gerakan kita adalah gerakan moral. Kita tempuh juga dengan jalan-jalan bermoral. Keempat, bila anda sudah tidak sanggup lagi mengemban amanah membangun IAIN Ar-Raniry, mundur saja pak. Itu lebih terhormat. Karena anda dikenang sebagai ksatria. Dari pada anda di akhir jabatan, harus turun dengan kepala tertunduk.

Pak rektor yang terhormat. Terlepas dari itu semua, kami tetap juga mengucapkan terima kasih, pak. Kepada semua dekan, para dosen dan civitas akademika, juga kawan-kawan mahasiswa. Kami menyadari karena anda kami bisa menjadi sarjana. Kami tidak akan lupa di hari bahagia ini budi baik yang telah anda semua tanam pada diri kami. Melalui surat ini, kami ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas bifa khilaf selama kuliah. Sebagai penutup surat ini, saya ucapkan selamat Wisuda untuk kita semua. Jazakallahu khairan jazila, Wallahu a’lam.

Azwir Nazar
*) Penulis adalah Alumni Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh. (Arsip 3 September, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar