Rabu, 23 Maret 2011

Damai Aceh sebagai Referensi Dunia

Laporan dari Qwangju International Peace Camp 2006, Korea 16-18 Mei 2006
Senin(15/5) jam 06.30 kami tiba di Bandara Internasional Incheon, Soeul Korea. Setelah sekitar 6.35 menit dalam pesawat dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Dari Incheon naik bus menuju Gwangju sekitar 4 jam 45 menit. Gwangju adalah salah satu kota besar di Korea dengan penduduk sekitar 1,4 Juta jiwa.

Setelah sampai di Gwangju kami langsung dijemput oleh para relawan dari The May 18 Memorial Foundation. Para relawan ini juga berasal dari berbagai negara yang magang di NGO ketiga terbesar di Korea itu. Kami langsung menuju ketempat penginapan di hotel Prado di pusat kota. Qwangju adalah kota yang sangat indah, bersih dan teratur. Disana tidak ada pencuri, sehingga sulit sekali mencari polisi dijalan. Masyarakatnya juga sangat ramah dan santun. Walau kebanyakan mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Malahan, hampir semua bangunan dan toko tertulis dengan bahasa Korea.

Pagi hari, (16/5) kita bertolak ke gedung serba guna 518 memorial Foundation untuk memulai konferensi.

--------
The May 18 Memorial Foundaion adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 30 Agustus 1994. Organisasi ini diprakarsai oleh para korban yang selamat dari tragedi demokrasi Gwangju 1980 beserta rakyat Gwangju. Lembaga ini didedikasikan untuk mengenang dan melanjutkan spirit perjuangan dan patriotisme rakyat Gwangju dan Korea pada umumnya dalam perjuangan demokrasi di negera itu. Sekaligus, dapat berkontribusi dalam penegakkan nilai-nilai perdamaian, HAM dan demokrasi di belahan dunia lain.

Sehingga kegiatan-kegiatannyapun mendorong dan menciptakan pedamaian, perhargaan terhadap HAM, dan juga demokratisasi. Selain membangun solidaritas internasional, memberikan beasiswa, mengadakan event-event dengan melibatkan NGO seluruh dunia, juga memberikan penghargaan bagi aktivis HAM.

The Gwangju International Peace Camp adalah event tahunan yang diselenggarakan untuk membangun kekuatan solidaritas internasional antara aktivis local dan internasional, untuk peningkatan dan promosi demokrasi, HAM dan perdamamaian dunia.

Untuk itu, tahun ini diberi thema : “Conflict in Asian Region and Peace Making by NGOs”. Jadi, dalam forum ini, didiskusikan kasus-kasus berbeda dari wakil 6 negara yang diundang seperti : Nepal, Thailand, Sri Lanka, Indonesia (Aceh), Philippines, and East Timor. Disamping juga hadir partisipan dari Autralia, Jepang, Malaysia, Palestina, Amerika Serikat, Hongkong dan Rumania. Ditambah dengan peserta dari NGO local dan media. Acara tersebut dibagi menjadi beberapa sesi. Mulai dari Shering, diskusi, pleno, sampai press conference.

Sharing experience I pembicaranya dari Philipina, Aceh (Indonesia) dan Timur Leste. Dengan topic the present condition of peace settlement post-conflict. Pengantar makalah awal disampaikan oleh Park Lae Goon, seorang aktivis Korea dengan tema “ Standing Activist of Srangbang Group for Human Right”. Dan dilanjutkan dengan presentasi seputar fenomena actual dan isu-isu dari pengalaman masing-masing dari tiga Negara.

Kebetulan dari Aceh (Indonesia) saya dari ACSTF bersama Aguswandi BR dari Persaudaraan Aceh. Agus berbicara tentang isu actual di Aceh dan proses perdamaian di Aceh. Menurutnya Tsunami juga mempengaruhi kebijakan politik di Aceh. Sehingga telah menyeret para pihak yang sudah lama bertikai untuk berunding.

Saya menyambung apa yang disampaikan Aguswandi bahwa perdamaian Aceh merupakan perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi, perdamaian bagi rakyat Aceh adalah sebuah kemerdekaan untuk melangsungkan hidup. Layaknya seperti bangsa-bangsa lain di dunia. Dan juga memakan korban yang tidak sedikit. Saya juga menyinggung tentang peran civil society dalam perdamaian Aceh. Termasuk juga tentang RUUPA yang aspiratif, damai dan sesuai MoU Helsinki. Meski ada perbedaan pendapat kecil antara kami dalam merespon pertanyaan peserta konnferensi tapi kami sepakat bahwa perdamaian Aceh belum berakhir. Masih harus dikawal dan dijaga. Termasuk solidaritas internasional.

Para partisipan yang berjumlah sekitar 100 orang itu sangat bersimpati dengan apa yang terjadi di Aceh selama ini. Bila proses perdamaian dan demokrasi yang indah di Aceh tersebut sukses, mereka akan menjadikannya referensi untuk mendamaikan Asia dan dunia.

Sesi II diberikan kesempatan kepada perwakilan Srilangka, Nepal dan Thailand.
Dilanjutkan dengan diskusi tentang kasus, pelajaran dan pengalaman yang ada pada shering I dan II. Diskusi ini difasilitasi oleh Fernand De varennes dari Asian Pacific Journal on Human Rights and the Law. Sehingga, dengan diskusi ini menghasilkan banyak point-point penting sebagai draf rekomendasi deklarasi Qwangju. Juga ikut berandil dan berkontribusi Dr. Kamarulzaman Askandar dari Southeast Asia Coalition on Conflict Studies Network.

Gwangju Internasional Peace Camp 2006 ini menghasilkan beberepa rekomendasi penting dengan mempertimbangkan berbagai ragam konflik dan perjuangan panjang penegakan HAM, demokrasi dan perdamaian di kawasan Asia dan dunia. Dan mendukung sepenuhnya rakyat Aceh, Mindanau, Nepal, Srilangka, Southern Thailand, dan Timur Leste beserta korban konflik dan korban ketidakadilan terhadap perjuangan demokrasi, HAM dan perdamaian.

Adapun rekomendasinya adalah; pertama, bahwa nilai-nilai dasar dan universal dari HAM haruslah dihargai dan dijunjung tinggi oleh semua orang dalam situasi konflik. Kedua, perlu adanya inisiasi dan kerterlibatan aktif civil society dalam peacemaking dan peacebuilding, termasuk proses monitoring dan penguatan dukungan secara timbal balik antara peacemakers dan peacebuilders. Ketiga, Nilai-nilai, adapt dan budaya local harus menjadi pondasi dasar dalam proses peacebuilding dan peacemaking. Keempat, Perlu dibentuk yayasan demokrasi dan perdamaian di Asia untuk mempromosikan dan memperkuat budaya perdamaian, keadilan, HAM dan demokrasi di kawasan Asia. Dan Kelima, pemerintah dan institusi pendidikan harus mempromosikan perdamaian dan pendidikan HAM sebagai komponen yang menyatu dengan pendidikan formal dan informal di kawasan Asia.

Selain itu, kami juga mengikuti Festival diiringi dengan pawai keliling kota yang dihadiri puluhan ribu orang. Pawai ini menggambarkan refleksi dari sejarah panjang rakyat Gwangju untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Human Rights dan perdamaian. Bahkan paginya (18/5) mengunjungi monument bersejarah untuk mengenang tragedy Gwangju dan mengikuti upacara kenegaraan bersama presiden Korea.

Acara ditutup dengan penganugerahan The Gwangju Peace Prize for Human Rights awarding kepada Malalai Joya dari Afganistan dan Anghana Neelaphaijit dari Thailand. Kedua perempuan ini dianggap layak mendapatkan penghargaan tersebut atas dedikasi dan semangat perjuangannya dalam penegakan HAM, demokrasi dan perdamaian di Negara mereka.


Oleh : Azwir Nazar*
*salah satu pembicara dari Indonesia utusan Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Aceh dengan makalah “The Long Road Towards Peace in Aceh”.

(tulisan ini pernah di muat di tabloid kontras, mei 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar