Rabu, 23 Maret 2011

Misi Solidaritas Untuk Mindanao

Agustus lalu, tepatnya tanggal 22-31 Agustus 2008 alhamdulillah saya menjadi salah seorang partisipan internasional dalam misi solidaritas internacional untuk Mindanao, Philipina. Saya hadir mewakili Dewan Pimpinan Pusat Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh). Selama 9 hari berada di Philipina, saya bertemu dengan beragam elemen masyarakat dan mengunjungi wilayah konflik dan zona perang. Berikut ini saya coba tulis celoteh perjalanan untuk pembaca. Semoga bermanfaat.

Saya diundang oleh sebuah organisasi sipil pro demokrasi, perdamaian dan HAM yaitu Initiative for International Dialoque (IID) yang berpusat di Davou City, Philipina. IID ini dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1988 dan kini sudah berumur 20 tahun. Mereka selain konsen dalam mendukung penegakan nilai-nilai demokrasi, perdamaian dan HAM di Philipina, juga dalam isu tersebut telah banyak bekerja dan berandil di beberapa negara lain di dunia dalam mendorong perdamaian dan mengakhiri konflik. Mereka memiliki program seperti di Rwanda, Timur-Timur, Burma, Thailand, Srilangka, Nepal, dan lain-lain. Pada periode 1993-1995 mereka juga pernah membangun solidaritas untuk terciptanya damai di Aceh.

Dalam misi ini kami bergabung dengan World Forum For Democratization in Asia (WFDA). Dan IID adalah anggota steering commitee WFDA di Philipina. WFDA sendiri adalah jaringan dan platform internasional untuk advokasi demokrasi di regional Asia. Forum ini berkomitmen pada perdamaian, mempromosikan demokrasi, melakukan kerja-kerja advokasi serta memperjuangkan nilai dan hak-hak yang universal dan mendasar bagi seluruh warga dan orang-orang di regional Asia. Selain itu, juga berkomitmen terus menerus mendorong pemberdayaan masyarakat dan perdamaian di dunia.

Nah, misi tersebut secara umum bertujuan memperkenalkan WFDA bagi para pihak dan stakeholder yang terlibat dalam proses damai, mendorong dan membantu keterlibatan masyarakat sipil secara terus menerus dalam berkontribusi bagi proses damai, termasuk apa yang bisa dilakukan oleh jaringan WFDA, serta berkontribusi akan perlunya respon dan perhatian dunia internasional bagi perwujudan situasi damai abadi di Mindanau. Sehingga, rakyat Mindanao tidak merasa sendiri, ada solidaritas dan kesetiakawanan dari bangsa-bangsa lain di dunia untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan damai abadi di Mindanao.

Misi ini diikuti oleh 11 orang partisipan Internasional yang berasal dari 9 negara. Yaitu dari Thailand, Mongolia, German, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Venezuela, dan Saya dari Aceh. Ditambah 8 orang dari Philiipina. Mereka terdiri dari para Profesor dan Doktor di bidangnya. Dari Mongolia misalnya, Ms. Zanaa Jurmed, ia adalah kandidat Perdana Menteri Mongolia . Sungguh mereka memiliki jam terbang dan pengalaman luar biasa. Plus umur yang lumayan jauh dari saya. 8 orang dari Philipinapun adalah orang-orang hebat, kuat, berpengalaman, dan pemberani.

Dalam meluncurkan misi ini WFDA juga bekerjasasama dengan the Global Partnership for Prevention of Armed Conflict (GPPAC). Kami dibagi menjadi 2 tim yang turun langsung ke wilayah-wilayah konflik. Dan bertemu langsung dengan banyak pihak yang berkompeten di Philipina. Mulai dari pemerintah, MILF, MNLF, tentara, civil society, lembaga HAM, partai politik, lembaga perempuan/anak, komisi pemilihan umum, media, dan bahkan mengunjungi para pengungsi di pusat evakuasi pengungsi.

-----------------
Saya tiba di Manila Hari Sabtu, 23 Agustus pukul 11.15 melalui Bandara Clark International. Setelah semalam tidur di Kuala Lumpur . Bandara Clark ini adalah bekas Pangkalan Militer Amerika Serikat. Dulu tidak ada penerbangan sipil di Bandara ini. Setelah Amerika hengkang, bandara inipun dipakai untuk militer. Saya dengar baru 1-3 tahun terakhir di pakai untuk penerbangan sipil. Mengingat, bandara Ninoi (bandara pusat) sudah terlalu padat. Dari Clark saya naik Bus Piltrancho menuju Pasay City sekitar 2 jam perjalanan. Lalu naik Taxi menuju Bandara Ninoi di pusat kota . Dalam perjalanan dengan bus dan taxi saya melihat sekilas tentang kota Manila. Kotanya tidak terlalu bagus, bangunannya biasa saja. Cat bangunan juga seperti sudah pada pudar. Saya beranggapan layaknya kota tua. Sebab, jembatan, pertokoan, trotoar, dan lain-lain seperti sudah zaman.

Tidak tahu juga persisnya. Sebab ini kali pertama saya ke Manila. Mungkin jalur yang saya lewati saja. Pukul 18.00 saya berangkat ke Davou City. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, Pukul 20.00 saya sampai di Davou City. Davou adalah sebuah kota metropolitan di Philipina, dan ia masuk dalam wilayah Mindanao. Sesampai di Bandara di Davou City, saya sudah ditunggu seorang relawan dari IID. Kami langsung menuju restauran untuk makan malam, sekitar 45 menit dari bandara. Rupanya, disana sudah ada partisipan lain yang sudah duluan sampai.

Setelah perkenalan, kami masing-masing kembali ke hotel untuk istirahat, kira-kira sudah jam 23.45. Besok pagi, setelah sarapan, jam 10.00 kami menuju pusat kota di Jalan San Pedro. Kami menyaksikan perayaan Kadayawan. Semisal festival dan pawai kalau kita di Aceh. Banyak sekali orang yang menyaksikan event budaya dan seni tahunan ini. Kadayawan ini sebuah perayaan tentang kehidupan, syukuran akan alam yang elok, akan hasil panenan, dan ungkapan sukacita tentang kehidupan. Festival ini sebagai warisan budaya yang menggambarkan sejarah, budaya, dan heroik sebuah kota. Ada juga kesamaan dengan PKA-nya kita. Tak jauh di sana kami juga mengunjungi meseum.

Setelah itu kami kembali ke Waterfront Insular Hotel. Kira-kira pukul 14.00 siang. Kami berdiskusi tentang situasi mutakhir di Mindanao. Sebab, sehari sebelum saya tiba, baru saja terjadi peperangan antara MILF dengan tentara pemerintah yang menewaskan puluhan orang. Tepatnya di daerah Cotabato, di Central Mindanao. Jadi, hari saya tiba semua media di Philipina memuat kejadian dan perang itu sebagai headline-nya. Karena perang atau kontak tembak ini banyak jatuh korban sampai puluhan orang.

Disamping itu kami juga di briefing dan berdiskusi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Maklum, kami akan mengunjungi langsung wilayah-wilayah konflik, melihat pengungsi, dan para pihak yang bertikai. Misalnya, di wilayah muslim, yang non muslim harus menghormati dengan memakai Jilbab, dan sebagainya. Serta beberapa adat yang sudah melekat di masyarakat. Sementara hal-hal kecil urus sendiri selama terjun ke medan misi.

Malam hari sambil makan malam kami bertemu dengan para aktivis dari organisasi sipil di Davou City, termasuk pula para pemuka agama. Kami berbagi pengetahuan dari berbagai perpekstif tentang konflik di Mindanao. Banyak hal yang kami peroleh. Ini menjadi pemetaan dan modal awal untuk menggali lebih banyak lagi tentang konflik di Mindanao. Misalnya, sebab muncul konflik, pola penyelasaian, nasib korban, juga peran dan fungsi komponen sipil di dalam konflik tersebut.

Setelah makan malam, kami kemudian membentuk 2 (dua) tim. Tim ini akan terjun melihat dan bertemu langsung dengan para pihak bertikai. Satu Tim ditugaskan ke Zamboanga dan Sulu dan satu Tim lainnya ke Cotabato, di Central Mindanau. Yang di Cotabato bertemu dengan MILF dan juga melihat nasib pengungsi di pusat evakuasi. Selain itu, juga berjumpa dengan tokoh pemuda, organisasi massa, aktivis anak/perempuan, media, dan masyarakat sipil.

Sementara 1 (satu) Tim lagi yang ke Zamboanga dan Sulu berjumlah 8 orang. Saya kebetulan adalah tim yang ke Sulu dan Zamboanga. Jadi, kami berpisah tanggal 25 dan akan bertemu lagi tanggal 27 di Davou City.

Misi ke Sulu

Kami berangkat ke Zamboanga kira-kira hampir 2 jam perjalanan dengan pesawat. Di Zamboanga kami bertemu dengan Walikota Labregat. Zamboanga ini adalah jajahan Spanyol. Banyak bangunan peninggalan sejarah masih utuh. Dan Zamboanga ini mayoritasnya adalah orang Kristen. Zamboanga ini dikenal dengan sebutan kota latin Asia. Bahasanyapun mirip bahasa Spanyol.

Di Zamboanga kami juga ketemu dengan masyarakat sipil dan media. Pegiat HAM, intelektual kampus tak pula kami lewatkan. Sore harinya kami menuju ke Sulu. Sulu adalah sebuah provinsi di Philipina Selatan. Untuk pergi ke wilayah Sulu, kita harus naik kapal. Ya, seperti kapal penyeberangan ke Sabang. Kita butuh waktu 8 jam untuk bisa sampai ke Sulu. Sulu adalah salah satu daerah paling berbahaya di Philipina. Di Sulu lah tempat bersemayamnya Abu Sayyaf dan bala tentaranya. Sehingga, misi ke Sulu ini adalah misi yang sangat meneganggkan..

Sebelum kami pergi ke Sulu, seperti biasa kami makan malam dan berdiksusi, tentang banyak hal. Sebab, biasanya malam sambil evaluasi dan membuat laporan aktivitas seharian. Tapi kali ini diskusi sedikit memanas, dan tak habisnya. Sampai kami menuju pelabuhan untuk naik kapal. Yaitu ketika kami diskusi tentang keamanan. Apalagi, baru saja terjadi penculikan terhadap orang asing. Tidak ada yang bisa menjamin keamanan kami disana. Panitiapun tidak berani menjamin. Padahal, kami sudah sampai di pelabuhan, dan sudah disuguhi tiket. Namun, tak juga satupun yang turun menuju kapal. Prof Paul dan Christian ketua rombongan, masih saja mempersolkan keamanan disana. Sehingga, kami pada posisi pergi atau kembali pulang.

Lalu, kami saling menulis no kontak masing-masing dan saling berbagi satu sama lain. Takut bila diculik, atau terjadi kontak senjata atau terpisah, kami tahu siapa yang harus kami hubungi. Panitia juga menelpon semua pihak yang bisa memberi pertolongan pada kami bila terjadi sesuatu. Suasana tambah tegang, karena skenario terburuk bisa saja terjadi sesuatu dalam kapal atau dilaut. Kami belum juga turun dari angkot. Padahal kapal/boat akan segera berangkat. Akhirnya kita pasrah dan mengambil sikap pergi Ke Sulu. Memang, ada juga yang sudah menelpon keluarga untuk minta di doakan. Ada pula usulan kami harus dikawal militer selama di sana untuk menjamin keamanan. Tapi, ada juga dari tim menganggap itu mengundang ”perang”.

Akhirnya, kami nekat ke propinsi Abu Sayaf. Kami ingin melihat dan mendengar langsung apa yang dialami masyarakat disana. Sekitar pukul 08.00 malam kami menuju Sulu dan sampai Shubuh disana.

Kami langsung disambut Prof Okta. Beliau muslim dan seorang militer. Seorang tokoh di propinsi itu. Di Shubuh buta itu, kami disambut dengan bentangan spanduk yang menjadi pusat perhatian para penumpang kapal. Spanduk itu kira-kira maksudnya, bahwa kami duta dunia untuk solidaritas buat rakyat Sulu. Ingin sama-sama merasa apa yang dirasa oleh rakyat Mindanao, dan Sulu khususnya.

Dari pelabuhan, kami dikawal oleh tentara dan langsung menuju basecamp tentara. Seperti asrama begitu. Setelah sarapan dan mandi, kami bergegas melihat masyarakat di sana. Tapi, sebelum itu kami bertemu wakil gubernur Sulu. Dia seorang perempuan, Ladi Ann Sahidalla namanya. Kebetulan Gubernur sedang tak ada.

Alam Sulu, mirip-mirip dengan alam pegunungan di Aceh. Memang cocok untuk tempat ”bergerilya”. Dan, yang membanggakan adalah penduduk Sulu 98 persen Muslim. Kebetulan dalam rombongan saya seorang muslim. Disana banyak mesjid, tapi kecil-kecil. Mungkin seperti halnya di sebagian kampung-kampung pedalaman di Aceh. Masyarakatnya sangat ramah, sungguh tidak seperti diberitakan. Di Sulu juga banyak becak. Masyarakatnya ada petani, pedagang dan banyak juga nelayan.

Tapi kami tetap saja dikawal. Bahkan kemana-mana kami ada satu jip polisi dan intel yang menjaga kami. Selain itu kami juga bertemu walikota Hulu. Rupanya dia juga pernah ke Aceh dan Timur-Timur. Dulu dia ke Aceh pada masa Jeda kemanusiaan. Kira-kira tahun 2003. Sebelum tsunami. Lalu, kami bertemu dengan para pejuang perempuan, pegiat HAM, OKP/Ormas dan lembaga-lembaga sipil di sebuah kampus. Menariknya pula, mereka mayoritas adalah kaum perempuan. Jadi gerakan sipil di Sulu, motornya kaum perempuan. Para aktivis di Sulu meyakinkan bahwa Sulu adalah tempat yang damai, walaupun citra di luar Sulu adalah sangat mengerikan. Memang, seharian kami disana kesannya aman-aman saja. Saat itu, pasar-pasarnya juga penuh, karena masyarakatnya menyiapkan diri menyambut Ramadhan.

Banyak hal yang kami dapat dari perjalanan ini, dan kemudian kami buatkan catatan-catatan. Sebab, apa yang kami peroleh akan disusun menjadi pernyataan dari misi ini. Dan akan direkomendasikan kepada para pihak dan dunia internasional. Malam sekitar jam 08 kami bertolak ke Zamboanga untuk kembali ke Davou. Jadi, kami tak merasakan bagaimana bermalam di Sulu.

---------
Tanggal 27 kami sudah di Davou City. Malam langsung kami inventarisir temuan-temuan dan hal-hal penting yang akan dimasukkan dalam pernyataan misi. Seperti kondisi riil, harapan dan terobosan yang bisa dilakukan. Sebab, besoknya, kami akan melakukan konfrensi pers. Sebelum Konfrensi Pers, paginya saya, partisipan dari Mongolia, Taiwan, Jepang, dan Direktur IID diundang untuk Talkshow di Ukay Radio di pusat kota.

Tanggal 30 kami kembali ke Manila. Sekali lagi, kami membuat Konferensi Pers di sebuah hotel di Manila sore hari. Konferensi Pers ini banyak dihadiri oleh media cetak dan elektronik. Sebelumnya, kami mempresentasikan temuan-temuan kami dengan tokoh masyarakat, politikus, agamawan, aktivis, dan lembaga-lembaga pro demokrasi dan perdamaian yang bermarkas di Manila. Paginya, kami juga bertemu dengan Komisi pemilihan umum pemilu Philipina.

Karena misi ini juga mendorong terwujudnya pemilu damai dan bermartabat di Philipina 2010 mendatang. Terutama di Kepulauan Mindanao. Dan, mereka akan menggunakan mesin untuk pemilu 2010. Jadi, tak lagi memakai kertas suara.

Setelah meeting dengan multistakeholder dan konferensi Pers hari itu, ternyata ada seseorang menfasilitasi kami bertemu tokoh politik Prof Dr Nurmisuari di sebebuah rumah di Manila. Dan akhirnya, kami bertemu dengan Prof Dr Nurmisuari, President Moro National Liberation Front. Dia sangat sederhana dan santun. Dengan menggunakan pakaian kemeja petak-petak warna merah. Dia bicara kata perkata dengan teratur. Patutlah ia seorang profesor. Dia juga banyak menguasai tentang sejarah. Terutama tentang sejarah Kesultanan Melayu. Awalnya, Prof hanya punya sedikit waktu, tapi karena diskusi menarik, kami menghabiskannya hampir 3 jam. Diskusi yang sangat menarik. Berbagai pertanyaan dijawabnnya dengan lantang. Termasuk hubungannya dengan MILF.

Bertemu Nurmisuari menjadi kesan tersendiri dalam international solidaritas misi ini. Sebab, sulit bertemu Prof. Di rumahnya banyak pengawal. Di pintu masuk ada perintah untuk tidak membawa masuk kamera, alat elektronik, sepatu dan handphone. Tapi, alhamdulillah dia izinkan kami, sehingga kami dapat mengabadikan pertemuan itu. Dan Nurmisuari sangat berwibawa. Pertemuan dan diskusi dengannya berlangsung dengan khitmat.

Salah satu hasil lain dari Misi ini, kita juga mempertemukan para pihak yang bertikai dalam diskusi panel yang melibatkan multistakeholder. Kita juga mendorong penghentian kekerasan dan kembali ke meja perundingan. Terutama dalam bulan Ramadhan. Ya, ada semacam gencatatan senjata. Walau demikian, tentu konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini tidaklah mungkin selesai begitu mudah. Perlu usaha dan kerja keras semua pihak untuk lebih mementingkan rakyatnya daripada kepentingan politiknya.

Konflik Mindanau
Sebenarnya, konflik di Mindanao sudah terjadi ratusan tahun. Orang-orang mindanao menyebut dirinya bangsa Moro. Bangsa Moro mayoritas Muslim. Dulu mereka memiliki kerajaan Islam. Tahun 1380 Kerajaan Muslim beserta raja/datuknya itu berakhir. Lalu, Spanyol menjajah Filiphina dan mengkristenkan penduduk Islam. Setelah berperang lebih kurang 375 tahun, akhirnya kerajaan Islam Mindanao-Sulu takluk pada tahun 1876. Tapi, warga muslim tidak semua takluk. Spanyol mengalihkan kolonial pada Amerika dan Jepang. 1946 Filiphina merdeka. Tapi, kebijakan terhadap Bangsamoro masih meneruskan sisa-sisa penjajah. Malah, tahun 1936, pemerintah membuat undang-undang yang menyatakan tanah Mindanao adalah milik negara. Sehingga, tanah-tanah muslim ini dibeli dengan harga sangat murah oleh orang-orang katolik. Pada saat Ferdinand Marcus jadi presiden, perampasan tanah ini menjadi halal lewat kebijakan Land Reform -a pada tahun 1971. Tidak hanya itu, kapal-kapal dan sendi-sendi ekonomi juga dirampas. Hingga, tahun 1972, lahirlah organisasi perjuangan kemerdekaan Bangsamoro yaitu Moro National Liberation Front (MNLF). Karena perbedaan ideologi, watak, garis perjuangan kemudian MNLF ini pecah. Munculllah. MILF dan kemudian muncul lagi Abu Sayyaf.

----------
Malam hari, kami merayakan ulang tahun ke 20 International for Initiative Dialogue. IID lahir 30 Agustus 1988. Kami refleksikan perjuangan IID dalam menjalankan misi damai di dunia. Kami juga berdoa bersama untuk terciptanya damai bagi saudara-saudara di belahan dunia lain yang masih berkonflik. Kita juga saling berbagi pengalaman tentang konflik-konflik di regional Asia dan di dunia. Para hadirin sangat bersimpati dengan apa yang terjadi di Aceh. Mereka ingin belajar tentang Post Disaster dan Post Konflik di Aceh.

Mereka juga tanya tentang pemuka agama di Aceh. Saya katakan kami menyebutnya ulama. Mereka adalah ibarat guru besar bagi Aceh. Sejarah dan peradaban Aceh yang gilang gemilang tak lepas dari andil besar ulama. Mereka sebagai penyeimbang dan teladan di masyarakat. Kami sangat hormat pada mereka. Ulama di aceh tidak identik dengan jenggot yang panjang dan sosok yang menyeramkan. Mereka hidup ditengah masyarakat. Menjadi penggerak, dan sangat kharismatik . Begitupun pasca tsunami, ulama-ulamalah salah satu inspirator rakyat Aceh untuk bangkit.

Banyak pula dari mereka yang belajar di bangku universitas atau institute, malah ada yang menjadi doktor dan professor. Selain itu, ulama di Aceh juga memiliki dayah yang memiliki banyak murid/santri.Tapi, pada saat konflik banyak ulama yang dibunuh dan dibantai. Ada yang difitnah, hingga diculik saat ceramah. Ada pula yang dituduh pemberontak dan lain-lain. Malah ada dayah yang dibakar.

Dan, konflik di Aceh adalah konflik antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Konflik tentang keadilan. Di Aceh tidak ada konflik agama, etnis atau antar suku. Tak pula ketinggalan mereka tanya tentang partai politik lokal di Aceh sebagai instrumen perjuangan. Saya bilang ada 6 parlok di Aceh yang akan bersiap menyongsong pemilu parlemen 2009. Salah satunya adalah Partai SIRA. SIRA ini awalnya adalah sebuah gerakan sosial, lalu manjadi partai politik lokal untuk melanjutkan cita-cita Aceh yang lebih baik di masa mendatang.

---------
Misi ini penuh tantangan, melelahkan dan sangat berbahaya, taruhannya adalah kematian, atau hal buruk lain. Misalnya ditangkap atau disandera! Tapi, Misi ini bukan saja penting, tapi saya juga merasa ada tanggungjawab kemanusiaan untuk perdamaian dimanapun dan kapanpun. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa orang Aceh mau juga berkorban untuk perdamaian dunia. Meski agenda-agenda damai kita di Aceh masih banyak. Sebab, dulu banyak orang lain telah berkorban untuk mewujudkan damai bagi aceh kita. Sehingga, rahmat damai itu kita rasakan sekarang ini. Walau damai di Aceh terjadi juga tak dapat dipisahkan dari tragedi tsunami.

Dan sungguh apa yang terjadi di Mindanao hari ini sama persisnya situasi masa lalu kita. Dibeberapa wilayah, terjadi penculikan, kontak senjata, penganiayaan, intimidasi, dan sebagainya. Suasananya sangat mencekam. Dan suasana itu sebenarnya bukan saja di daerah seperti Sulu dan Cotabato. Tapi juga akses menuju ke sana. Berbagai pemeriksaan ketat, kecurigaan senantiasa dialamatkan pada pendatang dan sesama. Fitnah merajalela, dan sebagainya. Maka wajarlah, bila damai itu sangat mahal harganya. Dan wajar pulalah bila kita berusaha dan berjuang sekuat tenaga menjaga dan mempertahankan damai. Karena semua kita adalah bersaudara. Kekerasaan hanya akan melukai kita semua. Damailah Mindanao, damai selalu Acehku!

*)catatan Perjalanana Azwir Nazar,
tulisan ini pernah dimuat di tabloid sipil Aceh dan Sumber Post Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar