Rabu, 23 Maret 2011

Remaja-Remaja Galau

Oleh Azwir Nazar
Awal Maret yang lalu, seorang teman melalui akun facebook menanyakan saya informasi mengenai isu berkembangnya aliran sesat di Banda Aceh. Saya katakan, saya belum dengar. Lalu, Gufran bin Yasa’, mengatakan dia mendengar ada aktivitas meresahkan dan mencurigakan yang dimotori mahasiswa mulai masuk kampus. Dan mereka itu adalah remaja-remaja Aceh. Orang tuanya Aceh, juga lahir dan berkampus di Aceh. Modus operandinya adalah kajian, halaqah, dan sejenisnya. Seperti layaknya pengajian, tapi gaya “gaul”. Begitulah kira-kira.

Sepintas, diskusi itu berlangsung dingin dan berlalu. Karena saya memang tidak memiliki informasi yang memadai mengenai isu itu. Beberapa hari kemudian, saya mulai mendapat pertanyaan dari beberapa teman tentang aliran sesat di Aceh, dan khususnya di Banda Aceh. Mereka bermaksud mengkonfirmasikan, seberapa jauh keshahihan informasi itu. Sejak itu, saya pikir ini isu serius dan sensitif di Aceh. Jadi, saya harus mencari tahu perihal kebenaran isu tersebut. Minimal, benar ada, atau tidak. Ya, kalau memang ada, tinggal dicarikan info yang lebih detail.

Dalam waktu yang tidak lama, kita menyaksi ternyata isu tersebut makin hari makin senter dibicarakan. Terutama di jejaring social pertemanan facebook dan twitter. Melalui tehnologi new media itu bagai tanpa batas mengaliri informasi yang begitu cepat dan beragam. Termasuk, isu aliran sesat tersebut. Banyak status pengguna akun FB dan twitter menulis tentangnya. Lambat laun, isu tersebut menghangat di dunia maya. Dan menjadi bahan diksusi yang panjang. Memang, aktivitas pendangkalan aqidah di Indonesia bukanlah hal baru. Sebut saja, Ahmadiyah, Lia Eden, dan LDII Al Qiyadah Islamiyah. Di Aceh sendiri, di penghujung tahun lalu, Oktober 2010, kita dihebohkan aliran Millah Abraham (MA) yang berkembang di Peusangan Bieureun. Tapi, MA ini berhasil dibubarkan dengan tertib oleh masyarakat, perangkat desa dan pihak kepolisian.

Selain itu saya juga mendapat beberapa sms dari teman tentang aktivitas aliran yang dianggap sesat itu. Isinya supaya kita jangan terpengaruh, karena mereka juga menyebar buku-buku yang isinya diselewengkan. Ada beberapa judul, tapi saya tidak menulis disini, karena saya belum melihat sendiri. Menurut sumber tersebut, targetnya bukan saja Banda Aceh, tapi seluruh Aceh. Setelah mengikuti perkembangan, Kamis siang (10/3), seorang teman mengirimkan saya list nama-nama remaja Aceh yang telah ikut aliran tersebut. Yang kemudian saya ketahui bernama “Mukmin Muballigh”. Ketika saya tanyakan, dimana dapat nama-nama itu. Teman itu bilang dari wall facebook yang di tag oleh teman lain. Dan, tidak tahu siapa pertama yang meng-post¬--kannya. Tidak hanya itu, juga beredar foto-foto mereka dalam bentuk power point. Kebetulan saya juga dapat kiriman via email.

Ketika mengupdate status tentang aliran ini di akun facebook saya, ada yang menyarankan supaya di crosscheck (tabayyun) dulu kebenarannya. Sebuah saran yang bijaksana. Dan teman yang mengirimkan saya nama-nama itu juga menghapus di wal¬l-nya. Sore hari, kebetulan saya baru pindah ke Wisma mahasiswa Aceh FOBA, di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. Seorang mahasiswa S1 asal Aceh yang sedang PKL di Jakarta dan tinggal sekamar dengan saya, tiba-tiba menceritakan ada beberapa temannya mulai mengikuti kajian-kajian aneh di Kampus. Dia juga sering diajak, tapi tidak terpengaruh. Celakanya, justru teman-teman kelasnya di Kampus kawasan Pango Raya itu, dari 25 orang jumlah mahasiswa di kelas, 20 orang terpengaruh untuk ikut kajian ala “gaul” itu.

Yang membuat saya terkejut adalah, dia katakan seseorang yang menyebarkannya (da’i), dengan cara menjadi pemateri pada kajian-kajian itu juga tinggal di FOBA. Tapi, dalam 2 hari ini tidak pulang, karena dia telah mengetahui, bahwa nama dia itu masuk dalam “list” nama-nama pengikut aliran sesat yang terlanjur beredar luas di jejaring sosial. Dan, ada satu lagi temannya sudah “taubat”. Juga tinggal satu asrama dengan saya. Meski ini malam pertama saya di FOBA. Tapi, besok shubuh, Jumat(11/3) mereka akan segera pulang ke Aceh, karena masa PKL nya sudah berakhir. Tiba-tiba menjelang sore, sang “dai” itu muncul, sepertinya ia ingin membereskan barang-barang, karena besok akan bertolak ke banda Aceh. Lalu, teman sekamar saya yang juga target gagal sang dai itu, menunjuk, itu orangnya!

Setelah Magrib saya masuk kuliah. Tapi, pikiran saya terus teringat “dai” dan mahasiswa yang sudah taubat tadi. Saya juga khawatir, kalau anak-anak asrama lain tahu, ini akan fatal. Lalu saya pastikan, Zul, untuk tidak dulu menceritakan sama orang lain. Saya berpikir perlu meng-crosscheck- isu ini dengan langsung sumbernya. Terlebih dahulu saya cocokkan namanya dengan data yang sudah saya miliki. Jangan sampai salah orang.

Singkat cerita, saya “menculik” dai itu untuk keluar dari asrama. Melalui pengurus asrama, Bashir, yang mengajaknya untuk ngopi. Kemudian, anak muda yang berpakaian jeans dan kaos oblong itu keluar, dan kami berjalan bersama. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ditemani Zul, teman sekamar saya, juga teman sekelas dia. Dalam perjalanan, saya katakan kita ke Mesjid saja sebentar. Kebetulan mesjid itu masih di kawasan Setia Budi. Kami duduk berempat. Setelah bersalaman, saya perkenalkan diri dan saya bilang saya ini saudara anda seiman. Saya ingin berdiskusi empat mata dan dari hati ke hati dengan anda, kalau boleh. Tapi kalau tidak, kita berbicara berempat saja. Tanpa pikir panjang, mahasiswa berkulit putih itu menjawab, empat mata saja bang! Anak pintar dalam hati saya. Sorot matanya tajam, dan patuh saja ketika saya ajak berdiskusi berdua di dalam masjid alBayyinah tersebut. Tapi kelihatan ia sangat shock koq saya bisa tahu.

Saya dingin saja, dan memposisikan dia sebagai teman diskusi yang bersahaja. Sebab, saya sadar benar, kalau saya emosi atau tidak terkontrol, teman lain akan tahu dan keadaanya akan berbeda. Awalnya, memang dia sangat tertutup, dan mengelak. Tapi, lama-lama dia merasa nyaman untuk terbuka dan jujur. Dia katakan mengenal aliran Mukmin Muballigh dari seorang teman, awalnya mereka hanya sharing biasa saja, seperti layaknya mahasiswa. Kadang mereka bertiga sampai berlima. Di Jakarta, ia sudah 6 bulan dan masuk pertama sekali sekira-kira 2 bulan sebelum PKL. Remaja ini memang fasih bacaan alQuran nya, ketika dia membaca beberapa ayat alQuran kepada saya.

Saya juga minta tolong untuk diyakinkan, kenapa dia memilih masuk MM itu. Menurutnya, ia melihat dunia ini sudah sangat semberaut. Seharusnya kita tidak begini, ada yang salah yang kita lakukan selama ini. Orang-orang sudah tidak lagi taat pada al-Quran. Mulai tampak, dia memang seorang pendoktrin muda yang bertalenta. Setelah panjang lebar, dia cerita, saya katakan, kegalauan anda itu sangatlah wajar, yang kamu katakan itu benar. Tapi kita menuju Allah itu tidak bisa sendiri. Ada AlQuran dan Sunnah yang harus kita pedomani. Mencari kebenaran itu harus terbimbing. Masih banyak di Aceh, ulama, abu-abu, teungku dan guru-guru kita yang dapat membimbing kita kepada jalan yang benar. Sesuai tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasul Insja Allah.

Kita harus memperdalam pengetahuan untuk menjadi penafsir alQuran. Anda masih sangat muda, dan semangat anda ini sepatutnya diarahkan pada jalan yang benar. Kalau kita tidak terbimbing, takutnya kita kehilangan orientasi dan ikut hawa nafsu. Saya juga bilang, saya tidak punya kuasa untuk mengklaim bahwa anda sesat. Sebab, sebuah aliran dikatakan sesat jika ada prinsip-prinsip pokok dan inti ajaran dalam agama bersangkutan dipahami menyimpang. Maka, perlunya kajian para ulama dan faqih untuk memastikan apakah aliran itu sesat atau tidak sesat. Alhamdulillah MPU Aceh telah mengeluarkan kriteria yang bisa dikategorikan aliran sesat (baca: serambi indonesia, sabtu, 12/3).

Dia mengatakan sejak namanya beredar dia gusar dan tidak bisa tidur. Dia tidak banyak tahu lagi, aktivitas rekan-rekannya di Banda Aceh sejak dia di Jakarta. Termasuk, mengenai adanya “nabi” di kalangan mereka. Tentang itu, saya tidak tahu dia berbohong atau tidak. Di akhir diskusi tengah malam selama 2 jam itu, dan saat saya sarankan supaya dia minta maaf dan jujur dengan orang tuanya sejauh mana sudah dia terlibat dalam aliran MM ini, matanya berkaca-kaca, dan Alhamdulillah dia ingin bertaubat.

Tulisan ini saya tulis, bukan untuk menyudutkan mereka yang sudah terlibat. Tapi sebagai pembelajaran bagi kita semua. Bisa saja, remaja kita ini juga dijebak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebab, menurut cerita temannya yang sudah “taubat”. Di awal-awal hanya kajian biasa. Pertemuan pertama, hanya bicara topik-topik umum tentang keislaman. Lalu, memperdalamnya di pertemuan kedua. Pertemuan ketiga, ikut bergabung, jadi anggotalah. Ditanyai identitas, hobi, tempat tgl lahir dan lain-lain. Pertemuan 4-5 baru bicara tentang kenabian, selanjutnya, fase siang malam perjalanan nabi, nah disitu baru terjadi pembelokan-pembelokan. Maka, Edo (nama samaran) mahasiswa yang kost di kawasan Lambhuk ini tidak lagi aktif. Begitu ceritanya, setelah saya konfrontir dengan cerita si dai yang di mesjid tadi.

Mukmin Muballigh
Kasus aliran Mukmin Muballigh (MM) ini pernah terjadi di Desa Modo, Lamongan, Surabaya, dan Trenggalek pada Desember 2006 silam. Salah satu da’i- nya bernama Rusdianto, berusia 27 tahun, Alumni sebuah Madrasah Aliyah di Lamongan. Ia berhasil menghimpun 150 pengikut dalam waktu empat bulan. Ia fasih membaca al Quran dan menafsirnya sesuka hati. Ia mengatakan shalat sehari semalam cukup satu waktu, dan cuma malam saja. Tanpa harus berwudhu’. Puasa juga dianggap tidak wajib, dan puasa kapan sreg. Pajan mangat teumon bu. Malah Rusdi mensejajarkan dirinya dengan Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.

Tapi, akhirnya Rusdi yang berambut gondrong itu ditangkap polisi Lamongan, September 2010. Pengikutnya, dilepas dan bertaubat. Ciri lain MM ini adalah pola “dakwahnya” berpindah-pindah dan tidak tetap. Pakaiannya tidak mengenakan surban, baju koko atau sarung seperti santri. Sumber lain juga menyebut mereka itu berpakaian necis (gaul). Layaknya remaja atau mahasiswa biasa. Celana jeans atau baju kaos. Saya tidak tahu persis, apakah remaja dan mahasiswa yang terlibat di Aceh, juga telah sejauh itu. Dan kalau memang setelah di investigasi oleh tim yang dibentuk pemko, di dapatkan bukti yang cukup dan adanya penyimpangan, maka sebagai masyarakat awam kita mendukung pembasmian aliran sesat ini di Aceh. Termasuk membina kembali remaja kita yang terlanjur ikut di dalam aliran Mukmin Muballigh itu.

Menurut saya, para remaja dan mahasiwa ini sesungguhnya sedang galau. Galau, mulai dari kekaburan emosi, bercampur semuanya. Baik emosi yang positif maupun yang negatif, namun lebih didominasi oleh emosi negatif. Sampai galau dalam memilih jalan hidup. Jalan mencari kebenaran. Remaja ini kehilangan ketauladanan, dari mereka yang seharusnya memberi tauladan. Sehingga, karena tidak terbimbing, pikirannya kacau dan tidak karuan. Mereka resah melihat realitas social yang tidak sesuai dengan harapannya, Tanpa terkontrol mereka mencari jalan sendiri untuk mencapai “langit”. Padahal, semuanya butuh pengetahuan dan bimbingan. Pada fase ini, mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh. Tidak ada yang membina dan mengayomi. Maka, tidak pantas rasanya kesalahan ditimpakan seluruhnya pada mereka. Sikap cuek, apatis, merasa diri paling benar, dan pola kehidupan kita yang egois dan materialis, juga ikut berkontribusi pada pembentukan moral generasi ini.

Pelajaran Berharga
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini, Diantaranya, pertama, kita semakin tersadar bahwa bahaya pendangkalan aqidah benar ada di Aceh. Para remaja kita sangat rentan untuk terpengaruh. Terutama di usia yang masih labil. Masa-masa mencari jati diri. Dan bisa terjadi dimana saja, termasuk di bangku kuliah. Ini menjadi catatan untuk para orang tua supaya lebih peduli dengan perkembangan anaknya. Lebih terbuka dan lebih dalam mengenal sang anak. Sering kali kita terjebak pada penilaian bahwa kebutuhan remaja ini hanya materi, tapi jiwanya kita biarkan kosong dari tuntunan agama. Baru kita “gabuk” setelah kejadian. Kedua, para pemuka agama, ulama, teungku, guru, lembaga pendidikan, lembaga dakwah, OKP/Ormas harus punya komitmen membina generasi muda. Salah satu caranya adalah memberikan keteladan. Sekaligus, menjadi mitra yang bisa mengayomi dan membimbing. Intensitas program atau kegiatan selama ini (mungkin) perlu kita evaluasi bersama, dimana dan apa masalahnya, koq justru banyak generasi muda menjauh. Mulai dari metode, sampai isinya.

Ketiga, pemerintah mulai level provinsi sampai tingkat gampong bersama aparaturnya, harus membuat aturan yang ketat, dan pencegahan dini terhadap muncul dan berkembangnya aliran sesat di Aceh. Jangan hanya bereaksi sesaat ketika terjadi sebuah kasus. Harus ada tindak lanjut dan dikuti program yang berkelanjutan yang bisa menjawab persoalan. Termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang mendidik. Pendidikan dan penyadaran menjadi penting. Keempat, kepada masyarakat supaya lebih waspada, dan bila ada indikasi yang mencurigakan tentang adanya aliran sesat di lingkungannya supaya melapor kepada pihak terkait, dan menghindari sikap anarkis dan main hakim sendiri.

Akhirnya, kita memohon ampunan Allah Swt dan senantiasa selalu berharap ditambahkan hidayah dalam menjalani kehidupan. Aliran sesat atau apapun namanya, semoga tidak lagi berulang di tanah kita. Tapi, sekaligus menjadi tantangan bagi masyarakat Aceh untuk meningkatkan kualitas beragama, bukan hanya sebatas ritual, atau rutinitas belaka. Di segala level, kita perlu mengevaluasi diri. Sehingga, kita menjadi mirror bagi generasi setelah kita yang kita dambakan lebih baik dari kita. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar